Rasa bangga itu muncul karena keberhasilan menjalankan amanah pada saat diberi mandat dalam proses pengadaan pesawat tempur legendaris yang dijuluki Rajawali Tempur/Fighting Falcon untuk Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).
Pada 2012, ketika saya diberi amanah untuk menjalankan tugas sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan-RI), TNI-AU hanya memiliki sepuluh unit F-16. Kesepuluh F-16 tersebut ditempatkan di Skadron 3 Buru Sergap Pangkalan TNI-AU (Lanud) Iswahjudi, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Di Lanud yang dikenal sebagai jantung pertahanan udara Indonesia itu, F-16 yang merupakan pesawat tempur/fighter aircraft generasi keempat menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung/backbone pertahanan udara nasional.
Sebagai tulang punggung yang harus selalu siap beroperasi setiap saat, kualitas maupun kuantitas F-16 harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Satu skadron yang terdiri dari sepuluh unit pesawat dengan kemampuan blok 15 tentu tidak akan mampu beroperasi secara optimal untuk menjaga kedaulatan negara di udara.
Baca juga:
Di kantor Kemhan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, kami memutar otak dan berpikir keras. Diskusi panjang terjadi intensif antara Menteri Pertahanan (Menhan), Purnomo Yusgiantoro, Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Letnan Jenderal Purnawirawan (Letjen Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin, dan saya sebagai Sekjen.
Kepada Menhan dan Wamenhan, saya memaparkan dengan panjang lebar keunggulan F-16 beserta reputasinya yang telah teruji di berbagai medan pertempuran/battle proven. Sebagai penerbang tempur/fighter pilot yang mengantongi 500 jam terbang di kokpit F-16, saya juga menceritakan pengalaman saya selama menerbangkan fighting falcon. Tidak hanya itu, kami juga mengkalkulasi dan mengkomparasikan F-16 dengan pesawat-pesawat tempur lain yang dioperasikan TNI AU; mulai dari Hawk 100/200 buatan Inggris hingga Sukhoi 27/30 buatan Rusia.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Di bawah kepemimpinan Presiden Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan pergerakan yang sangat positif. Dikutip dari situs Sekretariat Kabinet (Sekkab), meskipun perekonomian global masih lesu akibat jebakan utang yang menjerat negara-negara di Uni Eropa, dan perekonomian Amerika Serikat (AS) masih belum pulih sepenuhnya dari krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dikatakan cukup baik.
Baca juga:
Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan terhadap anggaran pertahanan nasional. Oleh sebab itu, Kemhan harus dapat merumuskan kebijakan terutama yang terkait dengan pengadaan alat utama sistem senjata (Alutsista) untuk TNI-Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) maupun AU dengan penuh kehati-hatian.
Setelah mencermati dengan teliti anggaran yang dialokasikan untuk TNI-AU, terutama yang terkait erat dengan pengadaan Alutsista, dalam hal ini pengadaan pesawat tempur; akhirnya setelah diskusi komprehensif dengan seluruh pemangku kepentingan, diputuskan untuk membeli 24 unit F-16 A model blok 15. Keputusan diambil setelah mempelajari program pengadaan F-16 dengan alokasi anggaran sekitar 660juta dolar AS/United States Dolar (USD).
Ada dua pilihan yang tersedia. Pertama, anggaran yang dialokasikan dipergunakan untuk membeli pesawat tempur baru. Apabila pilihan pertama yang diambil, maka kurang lebih hanya sekitar enam unit Fighting Falcon akan diperoleh untuk memperkuat TNI-AU.
Baca juga:
Kedua, dengan mengikuti program Excess Defense Article (EDA). EDA merupakan program hibah dari pemerintah AS kepada Negara-negara lain termasuk Indonesia untuk mentransfer aset-aset militer yang tidak lagi dioperasikan. Salah satu contohnya adalah F-16 yang tidak lagi dioperasikan oleh Angkatan Udara AS/United States Air Force (USAF).
Akhirnya, dengan pertimbangan tingkat kesiapan/readiness F-16 TNI-AU yang rendah, maka diputuskan oleh Kemhan-RI untuk mengambil pilihan kedua. Sebanyak 24 unit F-16 diperoleh, dengan harga per unit sebesar 17,5 juta dolar AS/USD. Satu catatan penting yang perlu ditekankan, seluruh unit yang diperoleh masih dapat dioperasikan oleh TNI-AU minimum 20 tahun.
Sebagai pengguna yang akan mengoperasikan/end user, TNI-AU tentu saja menerima keputusan yang dirumuskan oleh Kemhan. Salah satu pertimbangan utama, F-16 telah memperkuat, bahkan menjadi tulang punggung kekuatan TNI-AU sejak 1989. Jadi selama kurang lebih selama 23 tahun, para penerbang tempur TNI-AU telah terlatih dalam menerbangkan Fighting Falcon.
Baca juga:
Tak hanya para penerbang di Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi, prajurit yang bertugas sebagai kru darat/ground crew maupun para personel yang bertugas di Skadron Teknik 042 di Lanud yang juga dikenal sebagai “Home of Fighters”, juga telah terbiasa menerbangkan dan merawat Fighting Falcon. Jadi tidak perlu lagi mengirim personel/kru ke negara produsen pesawat tempur, dalam hal ini AS untuk memperoleh pelatihan khusus. Sehingga efisiensi dapat dilakukan dalam membelanjakan uang negara yang dialokasikan untuk pembelian pesawat yang pada waktu itu nilainya adalah 23,8 juta dolar AS untuk 24 unit F-16.
Pertanyaan dari Parlemen
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS, setiap pembelian Alutsista oleh Kemhan RI harus dijelaskan secara komprehensif kepada anggota parlemen. Di India, panglima angkatan perang hingga menteri pertahanan harus dapat menjelaskan kepada anggota parlemen mengapa perlu mengakuisisi jet tempur buatan Dassault Rafale dari Prancis hingga Sukhoi produksi Rusia.
Sementara di AS, Menhan yang didampingi panglima kepala staf gabungan juga berkewajiban menjelaskan secara detail dan transparan kebijakan penjualan Alutsista, terutama pesawat tempur kepada anggota kongres. Pesawat-pesawat tempur produk AS, mulai dari generasi pertama hingga generasi terakhir, tidak bisa dijual sembarangan ke negara-negara lain. F-16 pesawat tempur unggulan produk Lockheed Martin, yang dikenal sebagai kontraktor pertahanan terbesar di dunia juga tidak bisa diakuisisi oleh negara lain tanpa persetujuan kongres AS.
Baca juga:
Dalam kondisi bekas sekalipun, penjualan F-16 harus melalui persyaratan yang ketat. Sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia yang tidak pernah menjadi negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization (NATO) pimpinan AS, tentu harus menjalani seleksi yang lebih ketat sebelum memperoleh persetujuan untuk mengakuisisi Fighting Falcon.
Berbagai problematika dan tantangan yang dihadapi seperti yang telah diutarakan di atas, saya jelaskan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia (DPR-RI). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) maupun Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi I DPR-RI yang menjadi mitra kerja Kemhan, saya menjelaskan secara komprehensif dan sistematis tentang rencana pembelian langsung 24 unit F-16 dari Pemerintah AS.
Karena menyangkut tentang pengadaan Alutsista yang merupakan bagian dari rahasia negara, maka RDP hingga Raker digelar secara tertutup. Di ruang rapat komisi I, saya memastikan jika anggaran yang dialokasikan untuk melakukan pembelian/akuisisi akan dipergunakan secara efisien. Efisiensi dilakukan dengan menggunakan pendekatan antar pemerintah/Goverment to Goverment (G to G). Jadi transaksi jual beli dilakukan langsung oleh Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia. Tidak ada pihak-pihak swasta yang memainkan peran sebagai middle man/broker dalam transaksi.
Baca juga:
Argumentasi pertama yang dikemukakan diterima dengan baik. Sebagian besar atau mayoritas anggota komisi dari berbagai fraksi menyetujui rencana pembelian. Persetujuan semakin bulat ketika mereka menerima dengan baik penjelasan bahwa meskipun dalam kondisi bekas, pesawat masih dapat dipergunakan selama kurang lebih 20 tahun, bahkan 30 tahun jika dirawat dengan baik.
Hal itu terbukti, pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2025 lalu, 12 dari 20 unit F-16 yang dibeli dari AS pada 2012 lalu mampu melakukan manuver dengan sempurna. Pesawat tempur kebanggaan TNI-AU yang tiba di tanah air pada 2015 itu hingga kini masih beroperasi di Skadron Udara 3 dan 14 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Roesmin Nurjadin di Pekanbaru, Riau.{}




