Pesawat tempur F-16 Fighting Falcon. Foto: Pixabay.
F-16 Filipina, Dinamika Kawasan Asia Tenggara dan Eskalasi Konflik di Laut Cina Selatan

Date

Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah memberikan persetujuan untuk penjualan potensial 20 unit pesawat tempur F-16 ke Filipina, sebuah negara yang merupakan sekutu utama AS di kawasan Indo-Pasifik.

         Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, juga telah berjanji kepada Pemerintah Filipina untuk melawan sikap agresif Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di kawasan Laut Cina Selatan yang sudah cukup lama menjadi wilayah sengketa di Asia Tenggara.

         Badan Kerja Sama Pertahanan/Defense Security Cooperation Agency (DCSA) AS, seperti dikutip dari CNN, Rabu, 2 April 2025, mengumumkan usulan penjualan F-16 beserta peralatan terkait ke Filipina. Nilainya diperkirakan mencapai USD 5,58 miliar atau sekitar Rp93triliun. Dalam keterangan resminya, DCSA mengemukakan jika penjualan yang diusulkan akan mendukung kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS dengan membantu meningkatkan keamanan mitra strategis. Menurut keterangan tersebut, itu semua akan terus menjadi kekuatan penting bagi stabilitas politik, perdamaian dan kemajuan ekonomi di Asia Tenggara.  

         DCSA juga mengungkapkan jika Pemerintah Filipina meminta untuk membeli 16 unit F-16C yang bermesin dan berkursi tunggal serta empat unit F-16D berkursi ganda, yang biasanya dioperasikan untuk melatih para penerbang tempur. Jadi kurang lebih satu skadron F-16, yang dijuluki Rajawali Tempur/Fighting Falcon blok 70/72 akan segera memperkuat Angkatan Udara Filipina/Philippine Air Force (PAF)

Baca juga:

         Fighting Falcon merupakan pesawat tempur generasi keempat yang diproduksi oleh Lockheed Martin. Blok 70/72 yang akan diproduksi untuk PAF merupakan pesawat tempur generasi keempat terbaik di dunia. Lockheed Martin menjanjikan masa pakai struktural F-16 Fighting Falcon PAF akan memiliki masa pakai struktural lebih dari 12 ribu jam. Bersama dengan avionik, radar, dan persenjataan canggih yang disertakan dalam kesepakatan tersebut, Fighting Falcon diklaim Lockheed Martin akan memberikan peningkatan signifikan bagi pesawat tempur Angkatan Bersenjata Filipina.

Pada saat ini, di tengah intensitas konflik yang terus menerus meningkat dengan RRT di Laut Cina Selatan,  PAF hanya diperkuat 12 unit jet tempur FA-50 buatan Korea Selatan (Korsel). Pesawat tempur serang darat/air to ground attack itu merupakan pesawat latih ringan. Sekali lagi, pabrikan F-16, Lockheed Martin mengklaim jika kecepatan tertinggi Fighting Falcon mencapai lebih dari 1.500 mil per jam, lebih cepat 350 mile per hour (mph) dibandingkan FA-50.

         Akuisisi F-16 Blok 70/72 yang juga dikenal dengan Viper di atas kertas memang akan membuat Angkatan Bersenjata Filipina/Armed Forces of the Philippines (AFP) terutama angkatan udaranya/Philippine Air Force (PAF) akan semakin diperhitungkan di Kawasan Asia Tenggara. PAF yang selama ini hanya mengandalkan 12 unit jet latih tempur ringan FA-50 buatan Korsel akan mengalami lompatan besar bahkan jauh ke depan/quantum leap yang sangat signifikan. Dalam aspek daya jelajah, sistem avionik, sistem radar, hingga persenjataan, F-16 Viper tentu jauh lebih baik dibanding FA-50.  

Baca juga:

         Namun perubahan platform dari FA-50 ke F-16 Viper membutuhkan adaptasi dalam beberapa hal, yaitu; penyesuaian infrastruktur pangkalan udara, modernisasi sistem pemeliharaan, pelatihan awak, mulai dari penerbang tempur/fighter pilot hingga skadron teknik yang bertugas di darat/ground crew yang akan melakukan pemeliharaan/maintenance; interoperabilitas dan sistem komando dan kendali/command and control (C2).

Jika itu semua tidak dilakukan sesuai prosedur, lompatan teknologi pertahanan udara justru berisiko menghadirkan capability gap. Oleh sebab itu, konsekuensinya peningkatan sumber daya manusia/human resources dan sistem pendukung lainnya seperti logistik dan pemeliharaan juga harus dipersiapkan dengan layak.


         Dalam konteks strategis, persetujuan AS terkait dengan penjualan Viper harus dilihat tidak semata-mata sebagai transaksi komersial. Strategi geopolitik AS dalam memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Indo-Pasifik melalui Filipina yang telah menjadi sekutu tradisionalnya  yang terkuat perlu dicermati oleh negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nation (ASEAN); terutama dalam kaitannya yang bertali temali erat dengan agresivitas RRT di Laut Cina Selatan.

Baca juga:

         Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara juga harus mewaspadai eskalasi yang terjadi dengan penuh kehati-hatian. Sebagai negara yang memiliki kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Laut Natuna Utara, Indonesia harus segera melakukan percepatan modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista) terutama di laut dan udara. 

         Jadi tidak berlebihan jika penjualan Viper oleh AS ke Filipina diinterpretasikan oleh negara-negara Anggota ASEAN termasuk Indonesia sebagai upaya untuk melakukan pergeseran arsitektur pertahanan dan keamanan ASEAN dan Kawasan Indo-Pasifik. Jangan sampai Indonesia dan negara-negara lain di kawasan menjadi proxy atau terjebak dalam bipolaritas atau dua kutub yaitu pro-AS atau Pro-RRT.

Baca juga:

Sebagai negara terbesar, Indonesia harus dapat memberi contoh kepada negara-negara lain bagaimana menjaga kepentingan nasional dengan mengembangkan kekuatan pertahanannya tanpa terjebak dalam rivalitas dua kekuatan besar yaitu AS dan RRT yang tengah bersengketa di Laut Cina Selatan.{}

Share this

Baca
Artikel Lainnya