Seperti dikutip dari kompas.com, di akun twitter yang kini bernama X, Zelensky, mengemukakan jika perisai udara Ukraina telah diperkuat. Selain itu dia juga mengucapkan terima kasih kepada Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, atas dukungan yang berkelanjutan.
Sebagai negara produsen F-16, Amerika Serikat (AS) pada musim panas 2023 telah mengizinkan negara-negara sekutunya di NATO untuk memasok F-16 ke Ukraina. Selain Fighting Falcon, yang merupakan julukan yang diberikan untuk F-16, negara-negara NATO yang merupakan sekutu AS juga membantu Ukraina melatih para penerbang tempur/fighter pilot dan teknisinya.
Namun meski memberikan dukungan total ke Ukraina, laporan media-media Barat dan analisis para pakar telah mengingatkan jika Fighting Falcon tidak akan menjadi pengubah permainan/game changer. Konflik antara Rusia dengan Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 1000 hari telah menunjukkan kepada dunia jika superioritas udara/air superiority masih didominasi Rusia yang mampu memproduksi pesawat-pesawat tempur/fighter aircraft di dalam negeri. Independensi Rusia dalam memproduksi pesawat tempur seperti Sukhoi tentu sangat menentukan dalam meraih air superiority di medan perang.
Otoritas Rusia di Moskow juga mengecam pengiriman senjata yang dilakukan oleh AS dan negara-negara Barat yang merupakan anggota NATO. Moskow memperingatkan pasokan senjata hingga pesawat tempur seperti F-16 hanya akan memperpanjang konflik tanpa mengubah hasilnya dan hanya akan meningkatkan eskalasi permusuhan.
Pengiriman gelombang kedua F-16 Fighting Falcon oleh Denmark ke Ukraina dapat dimaknai sebagai bagian dari dinamika geopolitik dan strategi militer Barat untuk mendukung Kyiv dalam melawan invasi Rusia. Meskipun F-16 merupakan pesawat yang sudah teruji di berbagai medan pertempuran/battle proven, berbagai aspek perlu dipertimbangkan, mulai dari strategi militer, tantangan teknis serta operasional pesawat, hingga dampak geopolitik.
Pernyataan yang juga merupakan harapan dari Presiden Ukraina jika F-16 akan memperkuat perisai udara hingga kemampuan serangnya ke Rusia perlu dielaborasi dengan seksama mengingat jumlah pesawat yang sangat terbatas. Komitmen negara-negara anggota NATO seperti Denmark untuk memasok 19 unit dan rencana total pengiriman sekitar 80 pesawat Fighting Falcon memang terlihat cukup signifikan di atas kertas.
Namun, dalam konteks konflik berskala besar/high intensity conflict seperti dalam perang Ukraina melawan Rusia, 19 bahkan 80 Fighting Falcon masih jauh dari cukup untuk menciptakan air superiority. Selain jumlah atau kuantitas, Ukraina masih harus menghadapi tantangan dalam mengoperasikan F-16.
Sebagai salah satu penerbang Fighting Falcon Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), saya tahu benar pelatihan penerbang maupun teknisi/ground crew dalam waktu yang singkat tidak akan mampu menjadikan F-16 sebagai senjata yang efektif maupun efisien di medan tempur.
Eksistensi atau operasi penerbangan Fighting Falcon membutuhkan dukungan/support yang terorganisir dan terencana dengan baik/well organized and well planned. Tanpa dukungan infrastruktur, logistik hingga teknologi tinggi yang terus menerus mengalami kemajuan, mustahil sebuah misi tempur dapat dijalankan sesuai target yang telah ditetapkan.
Sebelum lepas landas/take off dari pangkalan, integrasi sistem senjata dengan radar yang merupakan bagian dari pertahanan udara suatu negara serta komando dan kontrol/Command and Control harus dipastikan terlebih dahulu. Jika integrasi tidak maksimal, sebagai salah satu bagian yang alat utama sistem senjata (Alutsista) di garis depan, peran F-16 akan sangat terbatas. Selain itu juga perlu diingat tentang insiden jatuhnya satu unit F-16 Ukraina yang diduga kuat akibat terkena tembakan rudal Patriot yang juga buatan AS. Insiden itu menimbulkan teka-teki terkait koordinasi sistem senjata yang disuplai negara-negara NATO ke Ukraina.
Tak hanya itu, di medan tempur, F-16 juga masih harus menghadapi sistem pertahanan Rusia seperti S-400. Selain rudal dari darat ke udara/Surface to Air Missile (SAM),di udara F-16 yang merupakan pesawat tempur generasi keempat masih harus berhadapan dengan pesawat tempur generasi 4,5 hingga generasi kelima yang menggunakan teknologi siluman seperti Sukhoi(Su) 35 dan 57.
Implikasi dan Eskalasi
Otoritas Rusia di Moskow telah mengecam secara terbuka dan terang-terangan pasokan F-16 yang dilakukan oleh Negara-negara anggota NATO di Eropa seperti Denmark kepada Ukraina. Oleh sebab itu implikasi geopolitik lebih luas harus dipertimbangkan terkait dampak terhadap eskalasi dua negara yang sedang berperang.
Agresi Rusia ke Ukraina memang masih menyisakan berbagai polemik hingga hari ini. Namun kehadiran F-16 sangat berpotensi untuk memprovokasi Rusia meningkatkan agresinya. Di satu sisi, strategi militer berupa serangan udara/air attack terhadap logistik Ukraina sangat berpotensi untuk digelar oleh Rusia pada masa mendatang. Namun di sisi lain, pasokan F-16 juga dapat dimaknai sebagai sinyal solidaritas NATO kepada Ukraina. Denmark, yang mengirimkan F-16 kepada Ukraina setelah Belanda, mewakili dua negara NATO di Eropa telah memberikan dukungan untuk meningkatkan moral pasukan Ukraina. Jadi tidak berlebihan jika disimpulkan untuk sementara waktu jika F-16 merupakan simbol dukungan AS dan sekutunya yaitu Negara-negara anggota NATO kepada Ukraina yang hingga hari ini masih terus bertahan menghadapi agresi Rusia.{}