Semuanya berawal dari Pangkalan TNI-AU (Lanud) Iswahjudi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Pada Kamis, 3 Juli 2003, empat penerbang tempur F-16 Fighting Falcon TNI-AU baru pulang dari Aceh. Pada 2003, provinsi yang terletak di ujung barat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).
Empat orang kapten penerbang (Pnb) itu adalah Fajar Adriyanto, Tony Harjono, Ian Fuadi dan Satrio Utomo. Fajar Adriyanto yang kini telah berpangkat Marsekal Pertama (Marsma) TNI menceritakan dengan detail bagaimana mereka berempat berada di Aceh selama berbulan-bulan dalam posisi siap siaga/stand by untuk melaksanakan kegiatan operasi.
Seperti disampaikan kepada BRIGADE Podcast, sebuah acara siniar kompas.com, Rabu 3 Juli 2024, Fajar mengungkapkan pada pagi hari tanggal 3 Juli 2003, mereka berempat memperoleh berita agar kembali ke markas/home base yaitu Lanud Iswahjudi untuk bergantian menjalankan tugas dengan penerbang tempur/fighter pilot yang lain.
Pesawat kemudian dipersiapkan untuk terbang, dan akhirnya mereka berempat lepas landas/take off dari Aceh dengan menggunakan dua pesawat F-16 pada siang hari. Sekitar pukul 16.00, mereka mendarat/landing dengan selamat di Iswahjudi, Lanud yang dikenal sebagai jantung pertahanan udara nasional Indonesia atau markas bagi para penerbang tempur/Home of Fighters.
Setelah berhasil mendarat dengan selamat, mereka berempat beres-beres kemudian pulang ke rumah dinas untuk bertemu keluarga. Namun ketika baru saja masuk rumah, pada saat hendak melepas rindu bersama keluarga, tiba-tiba telepon seluler Kapten Fajar berdering pada saat baru hendak melepas sepatu.
Ternyata yang menelepon adalah piket di markas yang memberikan instruksi agar segera kembali ke kantor. Tidak lama kemudian Komandan Skadron (Danskadron), Letnan Kolonel (Letkol) Pnb. Tatang Herliansyah juga menelpon, dia bilang;“Fajar, segera kembali, pimpin adik-adikmu. Ada pesawat tidak dikenal, laporan dari Komando Sektor II”. Tanpa berpikir panjang, seperti layaknya seorang prajurit yang menerima perintah dari atasannya, Fajar hanya menjawab dengan dua kata;”Siap, laksanakan.”
Namun 21 tahun kemudian, Fajar mengakui jika dia kembali ke skadron dengan perasaan dongkol. Bagaimana tidak? Setelah baru pulang dari operasi militer selama berbulan-bulan di Aceh, baru saja masuk rumah dan bertemu anak dan istri sudah kembali dipanggil. Fajar yang kini menjabat sebagai Asisten Potensi Dirgantara Markas Komando Operasi Udara Nasional (Aspotdirga Kaskoopsudnas) menceritakan pada waktu itu belum ada aplikasi WhatsApp (WA) seperti sekarang, Hand Phone (HP) saja harganya masih mahal, paling hanya bisa mengirim pesan pendek/short message service (SMS) untuk berkomunikasi dengan keluarga ketika dirinya berada di daerah operasi militer.
Meskipun masih kucel karena belum sempat mandi, Fajar segera menelepon ketiga perwira yang stand by yaitu Kapten (Pnb) Toni, Ian dan Satrio. Menurut Fajar, tugas setiap prajurit memang seperti itu, harus selalu siap 24 jam sehari. Perintah komandan skadron yang disampaikan Fajar kepada tiga orang juniornya adalah segera kembali ke kantor, ada pesawat tidak dikenal dan ada perintah untuk melakukan intercept.
Sasaran di Laut Jawa
Setelah dijemput mobil dan tiba di kantor kurang lebih 10 hingga 15 menit kemudian, Danskadron, Letkol (Pnb) Tatang, memberikan pengarahan/briefing singkat jika baru saja Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) TNI-AU, menelepon dan memberikan informasi jika ada sasaran tidak dikenal di Laut Jawa.
Data awal yang diterima adalah dua pesawat dengan kecepatan 300 hingga 500 knot. Dalam briefing di sebuah meja yang diikuti hanya oleh lima orang yaitu Danskadron dan empat orang penerbang, dapat disimpulkan, bahkan sudah jelas jika hanya pesawat jet yang dapat mencapai kecepatan di atas 300 knot. Namun mereka masih berpikir dan bertanya-tanya; kenapa pesawat kok hanya terbang berputar-putar di satu area? Akhirnya setelah pesawat dipersiapkan, diputuskan sambil terbang saja dilakukan identifikasi.
Setelah dipersilakan berangkat, Danskadron menyampaikan perintah kepada Fajar sebagai perwira penerbang yang paling senior; “Perhatikan ya, kalau terjadi sesuatu, jangan menembak dulu”. Lagi-lagi di dalam hatinya, Fajar mempertanyakan;”Gimana sih, kita sedang panas kok tidak boleh menembak?”
Menurut Fajar, situasi yang panas disebabkan karena masih berada dalam suasana operasi militer, ditambah lagi baru saja pulang dari bertugas, baru saja mau istirahat justru disuruh berangkat lagi. Dia mengakui terbang dengan penuh rasa dongkol sambil mempertanyakan; “Siapa sih yang masuk wilayah Indonesia tapi tidak izin?, bikin repot saja.”
Akhirnya dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon TNI-AU lepas landas/take off dari landasan/runway Lanud Iswahjudi. Kapten Fajar satu pesawat dengan Kapten Ian di Falcon 1. Sementara Kapten Toni yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) satu pesawat dengan Kapten Satrio di Falcon 2. Mereka berempat dengan menggunakan dua pesawat melakukan intercept terhadap sasaran yang terbang di atas perairan Laut Jawa. Sasaran yang ditarget yaitu dua unit pesawat tempur sudah terlihat. Namun dalam masa damai, intercept dilakukan setelah dilakukan identifikasi visual terlebih dahulu.
Identifikasi secara elektronik memang telah dilakukan oleh radar Komando Sektor (Kosek) dan Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Namun identifikasi elektronik yang dilakukan radar hanya ada pesawat yang melintas dengan kecepatan sekian, pada arah tertentu dengan ketinggian dalam ingatan Fajar yang ketika itu menjadi flight leader kalau tidak salah 15 ribu kaki.
Setelah dilakukan identifikasi visual, baru terungkap jika pesawat tempur yang melintas di wilayah kedaulatan udara NKRI adalah F-18 Hornet, pesawat tempur supersonik multiperan kebanggaan Angkatan Laut Amerika Serikat/United States (US) Navy. Barangkali, kebanggan itulah yang menjadi salah satu penyebab dijadikannya F-18 Hornet sebagai pesawat tempur yang ditampilkan kemampuan tempur sekaligus kehebatannya ketika menjalankan misi rahasia dalam film “Top Gun: Maverick”.
Banyak sekali pelajaran berharga dari peristiwa yang kemudian dikenal dengan “Insiden Bawean” itu. Pada artikel selanjutnya akan diuraikan secara detail atau satu per satu pelajaran apa saja yang dapat dijadikan catatan penting bagi TNI-AU, US Navy maupun seluruh pemangku kepentingan/stakeholder yang berkaitan erat dengan kedaulatan negara di udara.{}