Ilustrasi penerbang tempur/fighter pilot. Foto: www.pixabay.com
Eris Herryanto, Sang Penerbang Pesawat Tempur dari Kudus

Date

Setiap taruna, dari angkatan berapapun pasti memiliki cerita unik di Magelang.

Wajahnya pertama kali saya lihat pada waktu seleksi Calon Taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Udara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketika itu, di pertengahan November 1972, sebelum pengumuman kelulusan dari Sekolah Menengah Atas, saya mendaftar taruna dari Jakarta, sementara Eris mendaftar dari Kudus, Jawa Tengah. Karena mendaftar dari luar kota yang jaraknya cukup jauh, saya memperoleh fasilitas berupa asrama di Yogyakarta, sedangkan Eris setelah menjalani tes langsung pulang ke kota asalnya.

Setelah dinyatakan lulus tes, kami berdua bersama dengan para taruna Akabri Udara lainnya, mulai menjalani pendidikan di Akabri Umum yang berada di Magelang, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kami belum begitu akrab satu sama lain karena ditempatkan di batalyon yang berbeda. Kalau tidak salah Mas Eris di Batalyon Remaja 2 kompi 2, sementara saya di Taruna Remaja 3, Kompi 1, Peleton 1.

Setiap taruna, dari angkatan berapapun pasti memiliki cerita unik di Magelang. Selama tiga bulan pertama menjalani pendidikan awal di Magelang, berat badan saya turun 30 Kilogram (Kg), dari 68 ke 38 kg. Pada waktu ibu saya menjenguk, beliau menangis melihat badan anaknya yang seperti tahanan Holocaust NAZI pada era Perang Dunia Kedua.

Baca juga:

Selama menjalani pendidikan, sebenarnya asupan makanan yang diberikan memang normal, namun latihan fisik yang diberikan oleh para instruktur sangat berat. Oleh sebab itu para taruna yang mengikuti latihan membutuhkan energi yang banyak dan gizi yang tinggi, namun tidak ada makanan tambahan yang diberikan. Jadi jika diibaratkan tanah, tubuh para taruna adalah sebidang tanah yang sangat kering, disiram air sebanyak apapun, pasti akan langsung terserap habis.

Setelah menjalani pendidikan di Akabri Umum selama satu tahun dan dinyatakan lulus, kami naik ke tingkat dua. Pangkat di pundak juga telah berganti dari Kopral Taruna menjadi Sersan Taruna. Seluruh taruna Akabri Udara yang dinyatakan lulus dari Magelang hijrah ke Yogya. Di Yogya, Eris masuk jurusan Teknik dan saya di Administrasi.

Pada waktu menjalani pendidikan di Yogya, kami berdua mulai akrab. Ketika makan bersama dan menjalani kegiatan apel, baik pagi pada saat upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih maupun sore hari pada saat penurunan bendera, kami selalu berbaur baik dengan teman-teman taruna seangkatan maupun dengan para senior. Di tingkat dua, Mas Eris diberi kepercayaan mewakili teman-teman seangkatan dalam Dewan Musyawarah Taruna (Demustar).

Baca juga:

Saya rasa itu memang wajar mengingat dia adalah taruna yang pantas untuk memimpin teman-teman seangkatannya. Kepemimpinannya berlanjut hingga ke tingkat tiga ketika saya dan teman-teman seangkatan sudah berpangkat Sersan Mayor Dua Taruna (Sermadatar), Eris melanjutkan kepemimpinannya.

Kemudian di tingkat empat, dia diberi amanah sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna karena leadershipnya menonjol. Sementara saya ditunjuk sebagai Komandan Batalyon yang membawahi kompi dan peleton. Oh ya, di Yogya, olahraga yang dilakukan Eris adalah lari lintas alam/cross country, jadi dia berlari sambil memakai ransel dan membawa senjata. Di mata saya pribadi, dia adalah seorang taruna yang tenang dan baik. 

Menjelang kelulusan dari AKABRI Udara yang kini bernama Akademi Angkatan Udara (AAU), pada akhir 1976, kami menjalani seleksi untuk masuk ke Sekolah Penerbang (Sekbang). Sebelum dilantik menjadi Perwira dengan pangkat Letnan Dua, 30 orang taruna dinyatakan lolos seleksi.

Baca juga:

Di Sekbang yang berada di Pangkalan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) Adisutjipto, Yogya, setelah belajar dan berlatih selama dua bulan, saya berhasil terbang solo menggunakan pesawat T-34 Alfa Mentor. Saya dinyatakan lolos seorang diri pada waktu itu. Namun Eris sebagai seorang pembelajar cepat/quick learner segera menyusul saya terbang solo dengan pesawat yang sama.

Tidak lama kemudian, ada kabar baik dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Angkatan Udara AS/United States Air Force (USAF) menyediakan tiga slot bagi para penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia untuk menjadi siswa Sekbang di AS. Sekali lagi saya berhasil lolos seleksi bersama dengan Harry Mulyono. Pada 1976, Harry yang sudah berpangkat Kapten adalah senior saya dan Eris yang merupakan Abituren Akabri Udara 1969.  

Sekali lagi, Eris menunjukkan bahwa dia adalah seorang quick learner. Meskipun sempat mengalami keterlambatan untuk berangkat ke AS karena kendala bahasa, dia belajar Bahasa Inggris, baik secara umum/general language maupun khusus/specialist language dalam waktu yang cukup cepat. Dalam waktu yang cukup singkat, dia berhasil melampaui skor American English Comprehension Level (AECL) minimal yaitu 80 yang ditetapkan oleh Kedubes AS bagi calon siswa Sekbang.

Baca juga:

Hanya dalam waktu beberapa minggu, saya dan Kapten Harry yang tiba terlebih dahulu di Lackland Air Force Base (AFB) dikejutkan oleh kemunculan Eris yang muncul di ruang makan. Sejak saat itulah, kami berdua selalu menerbangkan berbagai pesawat yang sama; mulai dari T-34 Alfa Mentor di Lanud Adisutjipto, T-41 D Cessna di Lackland AFB, hingga T-37 Cessna di Sheppard AFB.

Tak hanya di AS, ketika pulang ke Indonesia, saya yang tiba di tanah air pada Agustus 1978, harus menunggu Eris pulang Sekbang terlebih dahulu untuk terbang transisi menggunakan T-34 Charlie. Pada transisi itu, kami berdua dinyatakan memenuhi kualifikasi/qualified sebagai penerbang Angkatan Udara. Usai transisi, lagi-lagi kami berdua masuk ke Skadron Udara 11 untuk menerbangkan T-33 T-Bird.

Pesawat hibah dari AS yang berhasil diperoleh Indonesia setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ketat itu kami terbangkan sebagai transisi dari pesawat latih ke pesawat tempur/fighter aircraft. Selanjutnya pesawat tempur pertama yang kami terbangkan adalah F-86. Dari sembilan penerbang yang diberi kepercayaan untuk menjadi pilot pesawat yang dijuluki Sabre itu, hanya saya dan Eris yang lulusan Sekbang di AS, tujuh orang lainnya adalah lulusan Sekbang di dalam negeri atau Lanud Adisutjipto, Yogya. Setelah F-86 Sabre, kami berdua kembali mengikuti seleksi penerbang F-5 Tiger dan dinyatakan lolos.

Baca juga:

Sayang sekali pada Maret 1980, setelah penugasan Latihan Gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Latgab ABRI), saya mengalami accident di Pekanbaru ketika menerbangkan F-86 Sabre. Bersama dengan beberapa orang penerbang, pesawat yang saya terbangkan masuk ke dalam badai petir/thunderstorm dan mengalami kerusakan yang cukup parah. Accident tersebut mengakibatkan performa saya menurun dari status kesehatan 1 turun menjadi Stakes 2.

Selanjutnya, berdasarkan rekomendasi dari Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto, sebuah institusi milik TNI-AU, saya dimutasi ke Skadron Angkut Berat 31 yang berpangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada  1986. Sejak accident pada 1980, saya tetap bertugas di Skadron Udara 14, Lanud Iswahjudi, Jawa Timur, yang dikenal sebagai jantung pertahanan udara Indonesia/Home of Fighters, menerbangkan F-5. Jadi efek accident itu baru terasa setelah enam tahun menerbangkan F5 sejak 1980 hingga 1986.

Masih banyak yang dapat saya ceritakan tentang Eris, yang setelah menerbangkan F-5 Tiger kemudian melanjutkan ke F-16 Fighting Falcon. Namun artikel singkat ini perlu diakhiri terlebih dahulu karena pada artikel selanjutnya kami berencana untuk menulis bersama tentang berbagai jenis pesawat yang pernah kami terbangkan satu persatu secara detail.

Baca juga:

Mengapa demikian? Tentu saja kami berdua sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Namun kami berharap mudah-mudahan artikel tersebut dapat dijadikan pertimbangan baik oleh TNI-AU maupun Markas Besar (Mabes) TNI dalam mendidik maupun melatih para penerbang. Baik penerbang TNI-AU, Penerbang TNI-AL/Penerbal hingga TNI-AD/Penerbad maupun para penerbang sipil.{}  


Profil Penulis
Marsekal Muda (Purn.) Surya Dharma Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).

Tenaga Profesional bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) sejak 2010 hingga sekarang. Alumni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bagian Udara 1976. Lulus Sekolah Penerbang di Sheppard Air Force Base, Amerika Serikat pada 1978.

Share this

Baca
Artikel Lainnya