Pada hari pertama masuk Sekolah Penerbang (Sekbang) di Sheppard Air Force Base (AFB), Amerika Serikat (AS), setelah tiba dan melapor di skadron pendidikan, saya berkenalan dengan teman-teman sekelas. Setelah pengarahan/briefing awal, tujuh siswa Sekbang dari Iran dan tujuh kadet dari Ekuador memperkenalkan diri. Usai perkenalan, saya baru sadar jika hanya saya satu-satunya kadet/the one and only yang berasal dari Indonesia.
Namun itu tidak menjadi masalah karena seluruh siswa berjumlah 15 kadet yang ada di kelas berangkat dari negaranya masing-masing yaitu Iran dan Ekuador dengan tujuan yang sama; yaitu belajar menerbangkan pesawat. Usai perkenalan, instruktur langsung melakukan penilaian/assesment terhadap seluruh siswa.
Materi assesment seingat saya ada tiga hal. Pertama adalah kesehatan, kedua, psikologi dan ketiga atau terakhir adalah akademik. Terkait materi pertama yaitu kesehatan, ada grade pertama, kedua dan ketiga. Untuk siswa Sekbang, semuanya harus masuk dalam kategori kelas 1. Mengenai materi penilaian kedua yaitu psikologi, dilakukan tes yang sangat ketat karena tes psikologi/psikotes sangat penting. Persentasenya mencapai 80 persen dari keseluruhan materi penilaian. Terakhir terkait dengan potensi akademik, seingat saya juga ada syarat minimum nilai tes Intelligence Quotient (IQ).
Baca juga:
Usai penilaian, 15 orang siswa dibagi menjadi lima kelompok. Satu orang instruktur penerbang/flight instructor melatih tiga orang siswa. Hingga hari ini, hampir 47 tahun kemudian, saya merasa sangat beruntung bisa menjadi kadet dan belajar terbang di AS. Mengapa demikian? Pembagian kelompok yang dilakukan pada 6 Februari 1978 itu dapat dilakukan karena jumlah pesawat latih di Sheppard AFB yang akan dipergunakan oleh para kadet untuk belajar terbang itu sangat banyak.
AS, sebagai salah satu negara produsen pesawat terbang di dunia memang memiliki banyak pesawat jet yang dapat digunakan untuk berlatih. Di negara-negara lain yang pada waktu itu hanya menjadi konsumen, tentu tidak akan memiliki pesawat latih bermesin jet sebanyak AS.
Pembagian satu flight instructor melatih tiga orang kadet tentu sangat menggembirakan. Pendidikan dan pelatihan pasti dapat diberikan dengan lebih intensif. Begitu juga dengan transfer ilmu pengetahuan/transfer of knowledge yang dilakukan pasti akan berjalan dengan lebih maksimal.
Baca juga:
Setelah kelas dibagi menjadi lima kelompok, saya sangat senang sekali bisa satu kelompok dengan satu orang kadet yang berasal dari Ekuador serta seorang siswa dari Iran. Setelah pembagian kelompok, kami bertiga dibagikan buku-buku manual. Pesawat latih yang akan kami terbangkan adalah Cessna T-37, sehingga buku-buku manual yang kami pelajari adalah tentang pesawat yang dijuluki Tweet itu.
Selain jumlah pesawat yang lebih banyak, apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, metode pendidikan siswa Sekbang di AS juga sangat berbeda. Di AS, termasuk Sheppard AFB, para kadet tidak diajarkan untuk menghafal, namun memahami. Contohnya pada saat pesawat mulai dinyalakan/start engine, apakah prosedur selanjutnya yang harus dilakukan?
Di negara lain, termasuk di Indonesia, penerbang yang berada di kokpit pesawat bekerja dengan cara menghafal prosedur. Namun di AS, para siswa diajarkan untuk menerbangkan pesawat dengan metode mengikuti check list dan didasari background knowledge. Contohnya setelah mesin pesawat dinyalakan/start engine, maka oli dan bahan bakar akan mulai mengalir ke mesin, sehingga yang harus dilakukan berikutnya adalah mengecek berbagai indikator di kokpit sebelum mengarahkan pesawat ke landasan/runway agar dapat segera tinggal landas/take off.
Baca juga:
Setelah mempelajari setumpuk buku-buku manual, selanjutnya kami belajar tentang prosedur operasi standar/standard operating procedure (SOP). Namun para siswa tidak hanya menghafalkan tetapi juga diberi pengertian mengapa penerbang di kokpit harus melakukan prosedur tertentu ketika menerbangkan pesawat.
Berbagai penilaian dan pelajaran yang diberikan pada hari pertama itu memang cukup memberikan inspirasi sekaligus pencerahan/enlightenment serta pengayaan/enrichment bagi kami. Teman-teman dari Iran dan Ekuador yang satu kelompok dengan saya memperhatikan dengan seksama penjelasan yang diberikan oleh instruktur. Kalau tidak mengerti, di negara demokratis seperti AS, kami dipersilakan untuk bertanya.
Kesempatan mengemukakan pertanyaan dimanfaatkan secara maksimal oleh kedua teman saya dalam satu kelompok. Mereka bertanya tentang banyak hal, mulai dari spesifikasi pesawat, jam terbang instruktur dan lain sebagainya. Saya yang sebelumnya telah menjalani pendidikan Latih Mula di Medina Air Force Base, San Antonio, Texas, mendengarkan dengan seksama jawaban-jawaban yang diberikan untuk menyegarkan pikiran dan membangkitkan ingatan.
Baca juga:
Pada saat sesi tanya jawab selesai dan kelas berakhir, saya kemudian menghampiri instruktur saya dan menceritakan jika pada awalnya ingin membawa mobil ke skadron. Dia bertanya kenapa? Kemudian saya jawab jika mobil tidak bisa keluar dari parkiran. Instruktur yang baik hati itu tanpa berpikir panjang langsung menawarkan bantuan.
Saya disuruh ikut mobilnya dan langsung menunjukkan tempat tinggal/mess tempat menginap semalam. Tiba di tujuan, dia langsung parkir dan menyalakan mobil saya, Pontiac berwarna cokelat produksi tahun 1970. Setelah dinyalakan, dia langsung memajukan dan memundurkan mobil bermesin 4000 cc itu ke depan dan belakang. Namun mobil tidak bergerak dan tetap berada di parkiran seperti semalam.
Akhirnya sang Instruktur menyarankan saya memanggil mobil derek. Ketika saya tanya berapa biayanya? Dia bilang kurang lebih 50 dolar AS. Duh, uang di kantong saya tinggal 125 dolar. Dia tersenyum sebelum kembali mencoba memaju-mundurkan mobil. Saya membantu dengan mencoba menggoyang dari belakang. “Coba di roda diberi karpet”, dia berteriak dari belakang setir. Oh, ternyata tekniknya sama pada saat mobil terjebak salju dalam perjalanan sehari sebelumnya. Alhamdulillah, setelah kurang lebih 30 menit dicoba, akhirnya mobil pertama kebanggan saya itu berhasil dikeluarkan dengan berjalan mundur.
Baca juga:
Instruktur saya geleng-geleng kepala, kemudian dia memberi tahu kalau semalam saya parkir di atas selokan. Sambil menahan tawa saya menjawab;“Mana saya tahu kalau ada selokan? Tadi malam semua tertutup salju”. Ternyata semalam area parkir mobil penuh dan tempat saya parkir di deretan paling akhir berada di atas selokan.
Mendengar jawaban beserta penjelasan saya, instruktur Angkatan Udara AS/United States Air Force(USAF) itu tersenyum, dia bilang jika kejadian itu adalah pengalaman buat saya. Namun yang terpenting buat saya; mobil bisa keluar dari selokan yang kebetulan sekali ukurannya selebar ban depan. Uang saku yang diberikan pemerintah Indonesia tidak berkurang karena tidak perlu memanggil mobil derek.{}