Pesawat Tempur F-16 Fighting Falcon Angkatan Udara AS Foto: Instagram United States Air Force.
Tiga Perwira Muda Indonesia Memasak Bergiliran di Pangkalan Udara Sheppard, Texas-USA

Date

Artikel berikut ini merupakan kontribusi dari kolega dalam rangka HUT ke-70 Marsekal Madya (Purn.) Eris Herryanto

Terus terang saya kaget pertama kali mendengar pintu apartemen diketuk kurang lebih pada pukul 07.00 malam waktu setempat. Di musim salju, apalagi pada hari itu, Minggu, 5 Februari 1978, seharian terjadi badai salju di area sekitar Sheppard Air Force Base (AFB) yang terletak di perbatasan negara bagian Texas dengan Oklahoma, Amerika Serikat (AS).

Tak hanya saya, teman sekamar/roommate yaitu Kapten Harry Mulyono, senior saya di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Udara juga bertanya-tanya siapa yang mengetuk pintu apartemen kami malam itu? Setelah dibuka, kejutan muncul di depan pintu, ternyata dia adalah Eris Herryanto.

Saya dan Eris adalah teman satu angkatan di AKABRI Udara, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) angkatan 1976. Jadi kami berdua ketika itu sama-sama berpangkat Letnan Dua (Letda) dan baru berusia 22 tahun. Sementara Kapten Harry adalah senior kami berdua dari angkatan/letting ‘69.

Baca juga:

Kami bertiga langsung tertawa terbahak-bahak dan mempersilakan Eris untuk masuk ke dalam kamar. Dua ranjang bertingkat tempat saya dan Kapten Harry tidur masih tertata rapi. Di antara kamar kami dan kamar sebelah ada pintu penghubung/connecting door, di tengah dua kamar itulah ada sebuah kamar mandi dan dapur yang selalu digunakan bersama dengan penghuni kamar sebelah. 

Saya terkejut untuk kedua kalinya ketika Eris mengatakan dia berangkat dari San Antonio, Texas menyetir sendiri mobil Pontiac yang ternyata dibeli menggunakan uang saku yang diberikan Pemerintah Indonesia. Kami kemudian melanjutkan cerita tentang Eris yang ketika lulus dari Akabri Udara tidak bisa nyetir. Saya masih ingat pertama kali mengajari mengemudikan mobil di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Di Halim, saya mengajarinya nyetir memakai Toyota Corolla buatan tahun 1972. Pertama kali yang penting bagi pengemudi pemula seperti Eris adalah menyeimbangkan gas dengan kopling/cluctch mobil dan mengendalikan setir/kemudi mobil manual buatan Jepang itu.

Baca juga:

Jadi wajar saja jika saya cukup kaget ketika dia memutuskan untuk membeli mobil padahal belum begitu lihai menyetir. Di Halim, saya baru sempat mengajari beberapa kali karena harus berangkat ke AS terlebih dahulu untuk menjadi kadet di Sekolah Penerbang (Sekbang). Jadi Eris belum begitu mahir menyetir di jalan raya yang ramai karena dia baru beberapa kali belajar di  wilayah Lanud Halim yang pada waktu itu masih sangat sepi lalu lintas kendaraannya.   

Menarik sekali mendengar ceritanya yang nyetir sendirian dari Lackland AFB di San Antonio, Texas, menuju Sheppard AFB. Apalagi ketika dia menunjukkan Surat Izin Mengemudi (SIM)/Driving Licence yang diperoleh setelah lulus mengikuti ujian di Texas. Pada waktu itu saya serta merta membuka dompet dan juga menunjukkan dua SIM yang saya miliki, satu SIM Indonesia dan satu lagi diterbitkan oleh Kepolisian AS. Begitu juga dengan Kapten Harry yang juga menunjukkan dua SIM yang dimilikinya. Akhirnya, kami bertiga tertawa bersama di dalam kamar yang berukuran kurang lebih empat kali empat atau enam belas meter persegi itu.

Usai tertawa terbahak-bahak, saya mengatakan kepada Eris untuk mengecek kembali kota tempat dia dilahirkan dan kemudian dibesarkan. Saya tahu dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat dan dibesarkan di Kudus, Jawa Tengah, namun saya curiga dia dilahirkan dan dibesarkan di Surabaya, Jawa Timur.

Baca juga:

Mengapa demikian? Karena keputusannya nyetir sendirian, apalagi di tengah badai salju/snow storm tidak jauh berbeda bahkan hampir sama dengan perilaku pendukung/suporter Tim Persatuan Sepak Bola Surabaya (Persebaya) yang dikenal dengan akronim Bonek atau Bondho Nekat yang dalam bahasa Indonesia berarti Modal Nekat.

Bagaimana tidak? Meskipun telah memiliki SIM, pengalaman mengemudikan mobil hampir nol/zero driven hours, apalagi nyetir antar kota atau jarak jauh. Belum lagi harus menembus cuaca buruk sepanjang perjalanan, meski menggunakan mobil otomatis/matic yang tentu saja lebih mudah dikemudikan dibanding mobil manual yang pernah saya ajarkan di Lanud Halim. Apalagi modalnya kalau bukan nekat?

Mendengar lelucon itu, Eris dan Kapten Mulyono kembali tertawa. Mungkin karena terlalu banyak tertawa, kami bertiga yang memang belum makan malam merasakan perut mulai lapar. Kebetulan malam itu nasi baru selesai dimasak. Akhirnya malam itu kami bertiga makan malam dengan menu sup dan perkedel.

Baca juga:

Eris yang belum makan nasi seharian karena hanya sempat menyantap makanan ringan/snack dan roti di mobil selama perjalanan terlihat lahap sekali menghabiskan nasi dengan sup panas berlauk perkedel itu. Saya dan Captain/Capt. Harry juga tidak mau kalah, menu apa yang lebih nikmat selain sup ayam berlauk perkedel di seusai badai salju yang terjadi sehari penuh?

Mulai malam itu, seusai makan malam, kami bertiga sepakat dengan pembagian tugas memasak setiap hari. Pada hari tertentu ada sup Surya Dharma, keesokan harinya semur Eris dan lusa giliran Capt. Harry yang menentukan menu. Selama setahun di AS, kami bergiliran memasak. Kalau tidak direbus, makanan dikukus. Namun sesekali ada juga yang digoreng seperti ayam.

Kami bertiga sangat beruntung. Di Sheppard AFB yang pada tahun 1978, di tengah kecamuk perang dingin yang terjadi antara Blok Barat dengan negara-negara sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization (NATO) dengan Blok Timur ketika itu, fasilitas pendukung di AFB sangat lengkap.

Baca juga:

Di Sheppard ada toko kelontong/grocery store yang menjual berbagai kebutuhan para siswa Sekbang seperti sabun hingga pasta dan sikat gigi serta pakaian dalam. Tak hanya grocery store, di Pangkalan NATO itu juga ada pasar/market yang menjual berbagai macam bahan makanan, mulai dari sayur mayur seperti kentang serta daging sapi maupun ayam termasuk telur hingga beras. Jika tidak ada beras, tentu perut kami; tiga orang siswa Sekbang dari Indonesia, tidak akan merasakan kenyang setelah makan. Tidak mungkin setiap hari kami harus menyantap roti seperti orang-orang AS.

Artikel singkat ini harus diakhiri disini, terima kasih telah diberi kesempatan sekaligus kepercayaan sebagai penulis tamu/guest writer di personal website erisherryanto.com. Jika kembali diberi kepercayaan, saya akan kembali menulis artikel yang sekaligus akan saya persembahkan sebagai hadiah untuk Mas Eris yang pada 5 Januari 2025 genap berusia 70 tahun.

Semoga tidak hanya saya, namun teman-teman yang lain juga berkenan memberikan hadiah berupa artikel singkat untuk Eris yang telah memasuki usia kepala tujuh. Bukankan melalui tulisan, kita dapat saling mengingatkan satu sama lain sambil kembali menjalin tali silaturahmi agar tidak terputus di tengah jalan?

Baca juga:

Pada alinea terakhir, tiba-tiba saya teringat sebuah peribahasa dalam Bahasa Latin yaitu: ““Scripta manent, verba volant”,  yang dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berarti: “Yang tertulis akan abadi, sementara ucapan/kata-kata lisan menguap seiring waktu.”{}


Profil Penulis
Marsekal Muda (Purn.) Surya Dharma Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).

Tenaga Profesional bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) sejak 2010 hingga sekarang. Alumni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bagian Udara 1976. Lulus Sekolah Penerbang di Sheppard Air Force Base, Amerika Serikat pada 1978.

Share this

Baca
Artikel Lainnya