Pesan yang disampaikan orang tua baik hati di pompa bensin yang menolong ketika wiper mobil saya rusak itu terus terngiang-ngiang di telinga. Setelah tekanan angin/pressure ban dicek, air radiator diganti dan kaca mobil dibersihkan, penjaga di pompa bensin itu menyuruh untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Sebelumnya dia sempat bertanya apakah saya tahu akan ada badai salju/snow storm? Badai itulah yang menyebabkan jalanan sepi karena orang tidak berani keluar. Saya menjawab jika tahu, tetapi saya harus tiba di Sheppard Air Force Base (AFB), pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat/United States Air Force (USAF). Di Sheppard AFB, saya harus tiba untuk melapor pada hari yang sama yaitu Minggu, 5 Februari 1978. Jadi meskipun hujan badai turun, saya harus tetap melanjutkan perjalanan darat/road trip dari San Antonio Texas.
Sheppard AFB berada di perbatasan Negara Bagian Texas dengan Oklahoma, tepatnya lima mil di utara distrik pusat Wichita Falls, Wichita County, Texas, Amerika Serikat (AS). Berada di bawah Wing Pelatihan USAF ke-82 yang memiliki misi menjadikan Sheppard AFB sebagai pangkalan pelatihan paling lengkap dan beragam di Komando Pelatihan Pendidikan Angkatan Udara AS.
Baca juga:
Rasa penasaran semakin berkecamuk di dalam kepala seiring dengan kian dekatnya tujuan yang akan dicapai. Namun sama seperti air yang perlahan berubah menjadi butiran es halus yang menempel di kaca mobil bagian depan sehingga membuat wiper tidak bisa bekerja, begitu juga jalan menuju ke Sekolah Penerbang (Sekbang). Meskipun secara kasat mata yang terlihat adalah jalan aspal berwarna hitam dengan garis kuning sebagai median yang memisahkan badan jalan, namun ternyata di atas jalanan aspal itu ada lapisan es tipis.
Jika di Indonesia ada air yang menggenang di jalan, dilewati mobil akan muncrat atau terpercik ke bahu jalan, di AS ketika musim dingin tiba, air hujan yang turun dari langit akan membeku dan berubah menjadi es. Pada awalnya saya tidak sadar jika ban Pontiac, mobil pertama yang sangat saya banggakan berjalan di atas lapisan es tipis. Saya baru menyadarinya ketika berjalan, laju mobil berwarna cokelat di jalan aspal yang mulus terasa licin sekali.
Ban mobil bermesin 4000 cc itu memang mulai agak halus karena sudah tidak ada pola ulir/pattern atau kembangannya. Masalahnya ketika berjalan melalui jalan menurun yang curam, sebagai pengemudi saya harus melepas gas karena ada minimum Revolutions Per Minutes (RPM)-nya, kalau tidak salah 800. Wajar saja, Pontiac merupakan salah satu mobil berotot/muscle car buatan AS yang memiliki kapasitas mesin cukup besar.
Baca juga:
Tentu saja saya tidak bisa lagi mengurangi/reduce RPM-nya. Walaupun gas sudah dilepas, RPM minimal tetap menyentuh angka 800. Apalagi ketika melaju di jalan menurun yang tajam, maka persneling mobil harus tetap on drive, karena jika dinetralkan, dapat dipastikan laju kecepatan mobil bermesin automatic itu akan bertambah kencang. Masalahnya jika mobil melaju terlalu cepat kemudian pengemudi/driver mencoba untuk mengurangi kecepatan dengan menginjak rem kaki maupun menarik rem tangan, bodi mobil akan terbanting.
Jadi selama perjalanan, driver harus berusaha keras untuk mengendalikan atau harus fight dengan setir mobil buatan tahun 1970 itu. Setelah melalui jalan menurun yang curam kemudian hendak menanjak naik, sebelum selesai jalan turun, mobil harus digenjot agar bisa naik melalui jalan yang menanjak. Bagaimana caranya agar mobil tidak kembali turun itulah yang cukup membuat saya sebagai driver cukup stres.
Ternyata tidak mudah mengemudikan mobil yang sudah berusia delapan tahun di tengah badai salju. Seorang diri, saya harus bisa mengemudi dengan teknik khusus agar di jalan menurun tidak terlalu kencang dan ketika jalan menanjak harus bisa mencari gas terlebih dahulu agar bisa melaluinya sampai di atas. Itulah yang membuat saya terus menerus berjuang keras menyetir, kalau tanjakannya tidak terlalu curam tidak apa-apa, tetapi kalau tanjakannya panjang pasti akan timbul masalah.
Namun sejenak semua masalah itu seakan tuntas ketika tiba di sebuah padang terbuka setelah melewati sebuah kota besar yaitu Dallas-Fort Worth. Hingga hari ini, hampir 47 tahun kemudian, saya masih mengingat dengan baik hamparan salju berwarna putih yang begitu indah di depan mata. Sebagai seorang pemuda yang baru saja merayakan ulang tahun ke-22, saya begitu terpesona; “Oh, ini yang namanya salju.”
Ya sudah, untuk merayakannya, saya menepi di bahu jalan setelah garis kuning yang sama sekali tidak dilewati orang. Mobil saya parkir, kunci kontak saya putar sehingga mesin mobil mati. Saya duduk di kap mobil yang cukup besar, pantat saya terasa hangat. Tidak hanya itu, momentum pertama kali melihat salju itu juga saya rayakan dengan merokok untuk menghangatkan badan yang kedinginan selama perjalanan.
Sebatang rokok bermerek “Camel” yang saya beli di pom ketika mengisi bensin terasa benar-benar nikmat. Rasanya benar-benar nyaman. Kalau sekarang mungkin sudah selfie menggunakan kamera di telepon pintar/smartphone. Namun karena pada waktu itu adalah tahun 1978 dan saya tidak membawa kamera, maka saya hanya bisa bersyukur diberi kesempatan untuk melihat salju yang mungkin tidak dialami oleh orang lain yang tinggal di negara tropis. Setelah kurang lebih sepuluh menit beristirahat dan menikmati pemandangan, perjalanan harus kembali dilanjutkan karena saya harus tiba di Sheppard AFB untuk memulai pendidikan sebagai kadet di Sekbang.{}