Industri Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA)/drone global, saat ini tengah memasuki tahap perkembangan yang sangat menentukan. Perkembangan itu perlu dicermati oleh seluruh penggiat dunia penerbangan/aviasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2025 telah merilis proposal regulasi baru bertajuk FAA Part 108.
Proposal tersebut berisi regulasi khusus tentang operasi drone Beyond Visual Line of Sight (BVLOS). Penerapan/implementasi BVLOS tidak jauh berbeda, bahkan sama persis dengan teknologi identifikasi yang dipergunakan di pesawat tempur/fighter aircraft. Operator tidak lagi dapat melihat drone secara langsung dengan mata telanjang. Hal itu tentu memungkinkan drone terbang lebih jauh secara otomatis untuk misi atau operasi jarak jauh.
BVLOS sangat bertolak belakang dengan Visual Line of Sight (VLOS) standar yang mewajibkan pilot selalu menjaga kontak mata dengan drone. Oleh sebab itu, implementasi BVLOS membutuhkan teknologi canggih, mulai dari Global Positioning System/GPS hingga sistem sensor onboard. Namun yang terpenting selain teknologi canggih adalah regulasi yang ketat disertai kepatuhan untuk memastikan keselamatan operasional seperti yang telah dirilis oleh FAA.
Baca juga:
Selain menandai era baru industri drone, BVLOS juga membuka beragam peluang baru yang amat sangat tertutup pada fase sebelumnya. Penggunaan drone dalam sektor logistik, pertanian dan pemetaan hingga operasi di sektor energi akan memasuki tahap baru. Namun di sisi lain, kemajuan yang akan terjadi juga membawa konsekuensi berupa tantangan yang signifikan.
Risiko keselamatan akan semakin meningkat jika kemajuan teknologi tidak berbanding lurus dengan regulasi yang ketat. Pada titik inilah peran FAA Part 108 menjadi regulasi yang penting, bahkan menginspirasi berbagai negara, tidak hanya untuk AS yang dijuluki negeri “Paman Sam”, tetapi juga bagi negara-negara lain di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Transparansi Regulasi
Kekuatansekaligus pelajaran yang diberikan oleh FAA, tidak hanya tentang peraturan yang baru saja dirilis. Mekanisme penyusunan regulasi yang sangat transparan dalam proses formulasinya juga banyak memberikan inspirasi. Melalui mekanisme Notice of Proposed Rulemaking (NPRM), FAA merilis draft/rancangan awal Part 108 untuk publik pada 6 Agustus 2025. Tenggat waktu/deadline diberikan hingga awal Oktober 2025. Semua pemangku kepentingan/stakeholder, mulai dari komunitas drone, para pelaku industri, para akademisi di berbagai universitas, hingga masyarakat umum berhak untuk memberikan masukan.
Baca juga:
Di negara maju seperti AS, transparansi dalam proses penyusunan regulasi memang selalu terjadi dan bukanlah hal baru. Siapapun presiden dan partai yang menjadi pemenang pemilihan umum (Pemilu), baik dari Partai Republik maupun Demokrat, sebagian besar, bahkan hampir semua regulasi yang berkaitan erat dengan sektor penerbangan selalu dirumuskan melalui mekanisme yang mengedepankan partisipasi publik.
Proses konsultasi terbuka yang memprioritaskan partisipasi publik memang bukan hal baru di AS. Hampir semua regulasi besar di sektor penerbangan disusun melalui mekanisme partisipatif. Model ini menjadikan aturan lebih adaptif, relevan dengan kondisi lapangan, dan memiliki legitimasi yang kuat.
Regulasi di Indonesia
Di Indonesia, regulasi drone diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 37 Tahun 2020 Tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Peraturan Menteri (Permen) mengatur batasan umum; mulai dari ketinggian terbang, zona larangan, hingga perizinan.
Baca Juga:
Namun Permen tersebut belum memuat regulasi tentang operasi BVLOS secara rutin. Sehingga BVLOS di tanah air masih terbatas pada izin khusus yang bersifat ad hoc. Pembina Federasi Drone Indonesia (FDI), Arya Dega, seperti dikutip dari detik.com, mengemukakan jika regulasi drone di Indonesia cenderung tertutup tanpa mekanisme konsultasi publik.
Dari perspektif aviasi militer maupun sipil, ada tiga alasan mendasar mengapa transparansi regulasi menjadi krusial:
- Kualitas TeknisRegulasi yang terbuka memberi kesempatan bagi ahli dan praktisi untuk menguji keabsahan teknis aturan. Mulai dari standar detect-and-avoid, command and control link, hingga integrasi dengan sistem navigasi udara nasional.
- Legitimasi dan KepatuhanAturan yang disusun bersama akan lebih dihormati. Operator akan lebih patuh karena merasa memiliki kontribusi dalam proses perumusan regulasi.
- Dukungan terhadap InovasiDinamika di dunia drone bergerak cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Regulasi yang terbuka dan partisipatif memungkinkan aturan lebih fleksibel, sehingga dapat mengikuti atau berjalan seiring, bahkan bersinergi dengan perkembangan teknologi.
Strategi Pembaharuan
Belajar dari FAA, Indonesia perlu segera melakukan pembaharuan regulasi drone, khususnya untuk membuka jalan bagi operasi BVLOS. Beberapa langkah praktis yang dapat segera diterapkan adalah:
- Membuka Ruang Konsultasi Publik; Setiap rancangan regulasi baru wajib dipublikasikan untuk menerima masukan dari masyarakat, komunitas drone, akademisi, hingga pelaku industri.
- Memulai Uji Coba; Uji coba BVLOS di sektor pertanian, logistik kepulauan, atau inspeksi infrastruktur dengan pengawasan ketat. Data uji coba menjadi dasar pembentukan aturan permanen.
- Menetapkan Koridor BVLOS;Wilayah khusus dengan risiko rendah bisa dijadikan laboratorium hidup untuk integrasi drone ke ruang udara nasional.
- Kolaborasi Lintas Sektoral; Tata kelola ruang udara tidak bisa hanya dimonopoli oleh Kementerian Perhubungan (Kemhub). Perlu keterlibatan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), terutama yang terkait erat dengan aspek pertahanan udara nasional, AirNav Indonesia untuk navigasi, serta kementerian/lembaga lain terkait frekuensi, keamanan siber, serta riset dan teknologi.
Sebagai penjaga kedaulatan udara nasional, TNI-AU memiliki peran sentral dalam pertahanan negara di udara sekaligus memastikan ruang bagi inovasi. Dukungan TNI AU dalam penetapan zona uji coba BVLOS akan mempercepat integrasi drone di Indonesia. Sementara AirNav Indonesia, juga harus mempersiapkan sistem manajemen lalu lintas drone/Unmanned Traffic Management (UTM) yang terintegrasi dengan Air Traffic Management (ATM). Sinergi UTM dan ATM inilah yang akan menjamin keselamatan operasional drone dan pesawat berawak.
Baca Juga:
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kritik yang diutarakan FDI adalah ajakan untuk segera memperbaiki diri. Regulasi drone di Indonesia tidak boleh berhenti pada pendekatan tertutup yang menghambat inovasi. Dibutuhkan regulasi kolaboratif dari semua pihak yang transparan, partisipatif, dan adaptif.
Langit Indonesia adalah ruang bersama. Drone bukan hanya milik komunitas hobi, tetapi juga instrumen penting bagi industri dan pertahanan. Jika mampu membuka ruang dialog, membangun regulasi yang inklusif, dan belajar dari model FAA Part 108, maka bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan sekadar mengejar ketertinggalan.
Di masa depan, peluang untuk bisa menjadi pemimpin ekosistem drone di Asia Tenggara terbuka sangat lebar bagi Indonesia jika mampu menyusun regulasi yang diharapkan. Oleh sebab itu, di masa depan, kontrol yang dilakukan otoritas terkait selama drone beroperasi di wilayah udara Indonesia harus disesuaikan dan selalu adaptif terhadap perkembangan zaman. Perkembangan yang selalu diikuti dengan kemajuan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan pemutakhiran regulasi.{}




