72 persen pengembangan Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA)/drone di Indonesia hanya berhenti di tahap purwarupa/prototipe tanpa berlanjut ke fase produksi massal. Data tersebut diungkapkan Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Curie Maharani, dalam talk show strategis bertajuk “From Global Trends to National Strategy: Integrating Emerging Tech into Indonesia’s Defence Landscape” pada ajang Indo Defence, Kamis, 12 Juni 2025.
Dikutip dari kompas.com, Teknologi baru/emerging technology di sektor pertahanan menurutnya tidak hanya meliputi pengembangan senjata; namun juga sistem canggih yang saling terintegrasi. Ada tiga contoh yang diutarakan; pertama, Unmanned Underwater Vehicle (UUV). Kedua, Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Terakhir, sistem ruang angkasa dan Critical Undersea Infrastructure (CUI). Emerging technology menurutnya juga dapat membuka berbagai cakrawala strategi sekaligus kesempatan taktis yang bergantung tidak hanya bergantung pada satu senjata, namun sistem integrasi yang canggih.
Pada era pembangunan kekuatan udara/air power modern, industri drone merupakan salah satu indikator atau tolak ukur kemajuan teknologi suatu negara. Namun, data terbaru yang dikemukakan bahwa 72 persen proyek drone di Indonesia hanya sampai pada tahap purwarupa adalah sebuah fakta yang perlu dievaluasi oleh semua pemangku kepentingan/stakeholders.
Baca juga:
Indonesia sesungguhnya memiliki semua syarat untuk menjadi pemain utama dalam industri drone, baik untuk kebutuhan militer maupun sipil. Kondisi geografis sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia tentu membutuhkan pengawasan wilayah lautan yang terukur. Begitu juga potensi ancaman terhadap laut dalam/Critical Undersea Infrastructure (CUI), seharusnya secara perlahan namun pasti atau secara bertahap mampu mendorong Indonesia untuk tidak lagi bergantung kepada teknologi yang berasal dari negara lain/impor.
Tetapi sangat disayangkan, hingga kini fakta dan data menunjukkan pengembangan drone masih menghadapi berbagai kendala. Ego sektoral, kebijakan/policy yang tidak terkoordinasi dengan baik, hilirisasi produk penelitian/riset hingga tidak adanya otoritas/institusi yang bertanggung jawab penuh terhadap kemajuan pengembangan drone adalah berbagai kendala yang dihadapi. Banyak sekali hasil riset yang hanya berakhir di ruang penelitian/laboratorium karena tidak ada institusi yang memainkan peran sebagai penghubung/jembatan antara peneliti, industri hingga pengguna/konsumen (end user).
Padahal negara-negara lain telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Turkiye telah membuktikan diri kepada dunia jika telah mampu memproduksi drone Bayraktar. Sementara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) juga mampu memproduksi PTTA yang diberi nama Wing Loong. Terakhir, Republik Islam Iran yang kini tengah menjadi sorotan dunia karena tengah berperang dengan Israel dan Amerika Serikat, juga telah mampu memproduksi drone Shahed yang telah terbukti dan teruji di pertempuran/battle proven.
Baca juga:
Sebagai kekuatan baru dalam strategi pertempuran modern, Indonesia harus segera menunjukkan keseriusannya dalam pengembangan PTTA/drone di tanah air. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sepertiga daratan, dua pertiga wilayah lautan dan tiga pertiga wilayah udara, para pemangku kepentingan/stakeholders di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus memahami jika peran drone dalam pertahanan-keamanan (Hankam) modern, lebih dari sekadar PTTA.
Drone harus ditempatkan secara terintegrasi, baik sebagai bagian dari alat utama sistem senjata (Alutsista) maupun alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam). Tidak hanya sebagai mata dan telinga, drone juga harus dikembangkan menjadi kepanjangan tangan kekuatan militer modern di masa depan. Artinya pembangunan sistem pendukung harus direncanakan sejak dini, bukan hanya untuk Unmanned Aerial Vehicle/UAV, tetapi juga Unmanned Underwater Vehicle (UUV).
Perkembangan teknologi persenjataan seperti yang terlihat jelas secara terang benderang dalam berbagai konflik bersenjata di berbagai belahan dunia; mulai dari Rusia-Ukraina, India-Pakistan hingga Iran-Israel maupun AS, memperlihatkan jika emerging technologies seperti kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI), komunikasi maupun koordinasi melalui satelit hingga teknologi sensor paling mutakhir, telah menjadi standar baru dalam pengembagan persenjataan. Selain itu, berbagai kemajuan yang ditunjukkan di berbagai medan tempur/battlefield juga telah melahirkan paradigma sekaligus standar baru dalam era peperangan modern/modern war.
Baca juga:
Oleh sebab itu, beranjak dari uraian yang telah dikemukakan, maka tidak ada pilihan lain, NKRI harus segera mengambil langkah serius dengan menindaklanjuti pengembangan drone di tanah air, agar tidak hanya berhenti di tahap purwarupa/prototipe tanpa berlanjut ke fase produksi massal. Ketergantungan/dependensi yang tinggi bahkan total atau menyeluruh terhadap produk-produk drone impor sama dengan membuka peluang bagi negara-negara produsen atau pabrikan drone untuk mengidentifikasi kelemahan pertahanan dan keamanan NKRI.
Kebijakan yang paling tepat dan harus segera diterapkan adalah pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) mewajibkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi pengguna/end user. Komitmen dari tiga matra TNI, baik Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) hingga Angkatan Udara (AU) menjadi pengguna produk dalam negeri tentu akan menjadikan produsen drone memproduksi sekaligus mengembangkan produk-produk yang dihasilkan.
Ke depan, dinamika bahkan gejolak yang mulai terjadi di berbagai wilayah, bukan tidak mungkin akan berdampak ke teritori Indonesia. Sebagai negara berdaulat, bukankah tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan industri pertahanan di dalam negeri yang juga mampu memproduksi drone?{}