Pilot Uji/Test Pilot TNI-AU, Kolonel Penerbang (Pnb) Ferrel Rigonald, duduk di kursi depan/front seat KF-21 Borame. Sumber: Instagram TNI-AU.
Tonggak Penting Kolaborasi Jet Tempur Semi Siluman Korsel-Indonesia

Date

Tepat pada pukul 09.45, Jumat, 27 Juni 2026 waktu setempat, pesawat  tempur KF-21, lepas landas/take off dari landasan/runway Pangkalan Udara Sancheon, Korea Selatan (Korsel).

Penerbang tempur/fighter pilot Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), Kolonel Penerbang (Pnb) Ferrel Rigonald, duduk di kursi depan/front seat didampingi pilot uji/test pilot dari Korea Aerospace Industries (KAI), Koh Hwi Seok, yang duduk di kursi belakang/back seat.

Pada ketinggian 20 ribu kaki, sejumlah manuver dilakukan selama sekitar satu jam oleh Kolonel (Pnb) Ferrel yang memiliki kode panggilan/call sign “Venom”. Seluruh rangkaian uji coba berjalan aman dan sukses. Sebagai pesawat tempur generasi 4,5, KF-21 dipastikan akan segera memperkuat alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI-AU dalam waktu dekat. Diterbangkannya KF-21 oleh pilot TNI-AU menandai Indonesia sebagai negara mitra Korsel telah berkontribusi secara aktif dalam proyek bersama pembangunan sekaligus pengembangan jet tempur semi siluman yang mampu terbang melebihi kecepatan suara/supersonik.

Akun instagram resmi/official TNI-AU mengemukakan jika keterlibatan langsung salah satu pilotnya dalam fase uji terbang kali ini mencerminkan keberhasilan program transfer teknologi, peningkatan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) pertahanan, dan sekaligus menjadi simbol nyata dari semangat kolaborasi strategis antarnegara. Program KF-21/Indonesia Fighter eXperiment (IF-X) tidak hanya sekadar memberikan manfaat secara teknis, namun juga memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra utama dalam pengembangan alutsista modern yang berbasis inovasi dan kemandirian industri pertahanan (Inhan).

Baca juga:

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI) juga menyambut baik keberhasilan uji terbang kali ini sebagai bentuk konkret dukungan terhadap modernisasi pertahanan nasional. Uji terbang membuktikan jika kerja sama internasional yang dikelola secara berkelanjutan mampu memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika kawasan, serta mendukung terwujudnya Inhan nasional yang tangguh dan mandiri.

KF-21 Boramae

Pada awalnya, proyek kerja sama kedua negara diberi nama Korea Fighter eXperiment/Indonesia Fighter eXperiment (KFX/IFX). Seiring berjalannya waktu dan kemajuan/progress pengembangan, pemerintah Korsel memberi julukan pesawat “Boramae” yang berarti “Elang” dalam bahasa Indonesia.

Sebagai negara mitra, Indonesia menunjukkan komitmennya sejak awal dengan merumuskan Peraturan Presiden/Perpres Nomor:136 Tahun 2014 Tentang Program Pengembangan Pesawat Tempur IF-X. Pada level eksekusi, Kemhan RI juga merilis Peraturan Menteri Pertahanan/Permenhan RI Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Program Pengembangan Pesawat Tempur IF-X.

Baca juga:

Korsel dan Indonesia sebagai mitra strategis telah menempuh jalan panjang yang penuh dengan lika-liku. Legal standing kolaborasi dua negara dimulai dengan Letter of Intent (LoI) yang disepakati  pada 6 Maret 2009. Penandatanganan dilakukan di Jakarta dan disaksikan oleh presiden dari kedua negara.

LoI kemudian ditindaklanjuti dengan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Kementerian Pertahanan Korsel dan Indonesia pada 15 Juli 2010. Pada 2010, saya sedang menjalankan tugas sebagai Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemhan menandatangani MoU. Salah satu isi MoU yang masih saya ingat dengan jelas adalah terkait dengan persenjataan KF-21 yang dilengkapi dengan rudal dari udara ke udara/air to air missile within visual range and beyond visual range.

Sebelum MoU disepakati, telah dilakukan survei mengenai teknologi yang dimiliki oleh kedua negara, apakah memungkinkan (visible) untuk melakukan kerja sama. Survei dilakukan dalam rentang waktu kurang lebih 1,5 tahun. Terhitung sejak LoI disepakati pada 6 Maret 2009 hingga MoU disetujui pada 15 Juli 2010.

Baca juga:

Tahap pertama kolaborasi kedua negara dilakukan pada fase technical development base. Perjanjian Proyek/Project Agreement ditandatangani pada 20 April 2011 dan berjalan sejak 2011 hingga 2014. Tahap kedua atau fase selanjutnya adalah enginering manufacturing development base. Kolaborasi tahap kedua disepakati pada 6 Oktober 2014. Selanjutnya Indonesia merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 136 Tahun 2014 yang ditandatangani pada 17 Oktober 2014. Pada 2010 hingga 2013, saya diberi amanah untuk menjalankan tugas sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemhan.

Komitmen kedua negara terbukti tidak sia-sia. Tak hanya perjanjian yang kuat dan mengikat di atas kertas, perkembangan kerja sama juga menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. KF-21 Boramae pada tahap awal telah teruji mampu melakukan pergerakan pesawat (taxiing) di landasan (runway) Bandara Sancheon, Korsel. Uji taxiing dan uji statis merupakan dua tahapan yang harus dilalui sebelum uji terbang yang juga berhasil dengan baik sesuai target pada 22 Juli 2022. Sejak awal, Sang Elang memang didesain untuk menjawab kebutuhan dari dua negara yang telah sepakat untuk bekerja sama mengembangkan pesawat tempur.

Borame merupakan pesawat tempur multi peran/multirole fighter aircraft yang dilengkapi dengan weapon vision range missile dan beyond visual range. Selain itu, pesawat juga memiliki kemampuan semi stealth, smart avionic dan dilengkapi dengan sensor feature peluru kendali serta highly maneuverable aircraft. Jadi seperti itulah spesifikasi pesawat tempur yang akan diproduksi oleh kedua negara.

Baca juga:

Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa manfaat yang akan diperoleh oleh Indonesia dalam kerja sama bilateral? Pertama, ada transfer pengetahuan sehingga Indonesia kelak menguasai high modern technology. Kedua, cost saving maintenance. Terakhir atau ketiga adalah pemutakhiran/upgrading pesawat.

Selama ini dalam persoalan pengadaan Alutsista seperti pesawat tempur, Indonesia hanya sebagai negara konsumen. Artinya jika ada pesawat tempur yang ditawarkan oleh negara produsen seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Swedia hingga Rusia, maka sebagai konsumen, Indonesia hanya dapat membelinya. Jadi jika harganya mengalami kenaikan, sebagai konsumen tentu tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat ketika bernegosiasi dengan produsen.

Tak hanya pada tahap pembelian, terkait dengan pemeliharaan/maintenance hingga pengadaan suku cadang atau onderdil/spare parts, Indonesia sebagai negara konsumen juga memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap produsen. Selain itu, jika ingin melakukan pembaharuan/upgrading, misalnya terhadap sistem persenjataan pesawat, konsumen juga akan sangat tergantung kepada produsen.

Baca juga:

Jadi, saat ini adalah waktu yang paling tepat bagi Indonesia untuk beralih dari negara konsumen ke produsen.{}

Share this

Baca
Artikel Lainnya