Beberapa negara, termasuk Indonesia, bahkan menjadikan F-16 yang dijuluki Fighting Falcon sebagai tulang punggung/backbone pertahanan udaranya.
Dilansir dari Simple Flying, seperti diberitakan kompas.com, setelah F-16, posisi kedua ditempati oleh Sukhoi (Su) dengan varian Su-27/30/35. Sekitar sembilan persen dari total armada jet tempur global atau 1.284 unit Sukhoi masih dioperasikan angkatan udara di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Setelah posisi pertama yang ditempati jet tempur buatan Amerika Serikat (AS) dan posisi kedua diraih pesawat tempur produksi Rusia, peringkat ketiga kembali ditempati jet tempur produk AS yang dijuluki negeri Paman Sam yaitu F-15. Sebanyak 919 unit pesawat tempur yang dijuluki Eagle tersebut hingga kini masih beroperasi, mewakili enam persen armada global.
Baca juga:
Posisi selanjutnya kembali ditempati negeri Paman Sam. F/A-18 Hornet yang pertama kali dioperasikan oleh Angkatan Laut AS (US Navy) berada di peringkat keempat. Sebanyak 827 unit masih aktif dioperasikan di berbagai negara seperti Kanada dan Finlandia. Bahkan 125 pesanan baru tengah diproduksi pabrikan Boeing.
Peringkat terakhir atau kelima, kembali diraih jet tempur produk negeri Beruang Merah/Rusia. Sebanyak 788 unit atau lima persen dari armada pesawat tempur global masih setia menggunakan MiG-29. Dari tiga pesawat tempur buatan AS dan dua jet tempur buatan Rusia yang termasuk dalam lima pesawat tempur terlaris di dunia, ada dua hal penting yang dapat dijadikan pelajaran bagi angkatan udara di berbagai belahan dunia termasuk Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).
Pertama, harga yang relatif rendah karena pesawat-pesawat tempur tersebut, dioperasikan oleh berbagai negara dalam jumlah yang banyak. Dampaknya harga jualnya di pasaran menjadi rendah dan dapat bersaing dengan produk-produk lain. Selain itu dukungan suku cadang juga menjadi variabel yang cukup signifikan.
Baca Juga:
Kedua, kelima pesawat tempur tersebut juga telah teruji di berbagai medan perang atau pertempuran/battle proven yang membuat Negara-negara yang menjadi operator percaya untuk mengakuisisinya. Terakhir atau ketiga sekaligus yang terpenting, reputasi pesawat-pesawat tempur di berbagai medan operasi yang dibangun dari pengalaman di medan pertempuran menjadikan pesawat memiliki daya gentar/detterent effect.
Fakta dan data yang menunjukkan jika lima pesawat tempur terlaris di dunia didominasi oleh produk dari negeri Paman Sam dan Beruang Merah, tidak hanya terkait erat dengan angka/statistik penjualan. Ada dua hal penting yang perlu ditekankan sekaligus menjadi sinyalemen/pertanda. Pertama, dominasi industri pertahanan AS dan Rusia dalam membentuk ekosistem global. Kedua, kepercayaan/trust dari negara-negara yang menjadi operator terhadap kemampuan teknis dan logistik serta reputasi dari pesawat-pesawat tempur di medan operasi.
Jika dipelajari secara mendalam/indepth, setidaknya ada dua dimensi yang cukup strategis dan sangat menarik untuk dielaborasi. Pertama, terkait dengan efisiensi; jet tempur yang diproduksi secara massal dalam jumlah ribuan unit diatas kertas jelas memperoleh keuntungan economies of scale. Jadi semakin banyak unit yang diproduksi dan dioperasikan oleh berbagai negara, semakin murah biaya perawatan, dukungan suku cadang, dan ketersediaan teknisi terlatih.
Baca Juga:
Contohnya adalah F-16 Fighting Falcon yang masih dioperasikan oleh berbagai negara hingga hari ini. Rantai pasok/supply chain suku cadangnya tersebar di berbagai belahan dunia, serta inovasi berupa pemutakhiran/upgrade terus ditawarkan tanpa henti oleh Lockheed Martin sebagai produsen. Negara-negara operator Fighting Falcon, termasuk Indonesia akan memperoleh berbagai manfaat dari ketersediaan logistik global di satu sisi. Namun di sisi lain, negara-negara operator harus tetap menerima berbagai konsekuensi akibat ketergantungan dari negara produsen. Pengalaman buruk Indonesia yang pernah diembargo oleh AS adalah salah satu contohnya.
Kedua, Battle proven. Jadi spesifikasi teknis di atas kertas bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan daya gentar. Jet tempur yang terbukti dan teruji tangguh di medan pertempuran, dapat dipastikan memiliki reputasi yang ditakuti lawan. Contohnya adalah F-15 Eagle yang reputasinya tercatat hampir sempurna dalam pertempuran udara/air to air kill ratio. Sehingga reputasi yang terbangun adalah jika ingin meraih keunggulan di udara/air supremacy, maka F-15 adalah pilihan terbaik. Begitu juga dengan Sukhoi 27/30 yang memiliki reputasi kuat dalam konflik di berbagai kawasan. Bahkan jet tempur MiG-29, yang dianggap sebagai jet tempur tua yang sudah usang, masih dioperasikan oleh berbagai negara karena reputasinya di berbagai konflik regional, terutama yang terkait erat dengan sengketa perbatasan dua negara yang bertetangga.
Pada akhirnya, daya gentar yang melekat pada lima pesawat tempur terlaris di dunia tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh faktor non-teknis; mulai dari reputasi, persepsi lawan, serta kontinuitas operasi di berbagai teater perang.
Bagi Negara-negara yang menjadi operator, termasuk Indonesia, tantangannya adalah bagaimana membangun reputasi serupa, namun tidak hanya melalui pembelian, tetapi juga dengan membangun track record operasional dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam jangka panjang.{}




