Perang antara Israel melawan Iran berakhir setelah kedua negara saling serang selama 12 hari. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengumumkan berakhirnya “Perang 12 Hari” melalui sebuah pidato kepada rakyatnya, yang disiarkan IRNA, kantor berita resmi Republik Islam Iran, Rabu, 25 Juni 2025.
Presiden Masoud, dilansir dari Agence France-Presse (AFP), mengemukakan jika perang 12 hari dipaksakan oleh petualangan dan provokasi Israel; dan rakyat Iran telah memberikan perlawanan heroik yang hebat serta bersejarah hingga pada akhirnya gencatan senjata disepakati oleh kedua negara.
Setelah gencatan senjata/ceasefire disepakati, Iran menyatakan kesiapannya untuk kembali berunding dengan Amerika Serikat (AS) terkait fasilitas nuklir. Perundingan/negosiasi Iran-AS sempat terhenti akibat serangan udara Israel yang digelar pada Jumat, 13 Juni 2025, dini hari. Secara implisit, Presiden Masoud menyatakan kesediaannya untuk meninjau kembali perundingan nuklir. Namun dia mengemukakan jika Iran tidak akan berhenti menegaskan haknya untuk menggunakan tenaga atom untuk tujuan damai.
Baca juga:
Catatan Pertama
Artikel berikut adalah bagian pertama dari 12 tulisan. Tanpa bermaksud menggurui, perang 12 hari memberikan banyak sekali pelajaran berharga kepada umat manusia di seluruh dunia. Negara-negara di berbagai belahan dunia dapat dipastikan akan mengamati dengan seksama pertikaian bersenjata yang melibatkan Israel dan Iran. Keterlibatan AS sebagai sekutu abadi Israel juga perlu dipelajari dengan teliti dalam sengketa bersenjata kedua negara.
Argumentasi, atau bisa dikatakan sebagai apologi Israel yang selanjutnya disusul oleh AS pada saat menggelar operasi serangan udara terhadap Iran adalah fasilitas nuklir. Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, dalam pidatonya yang disiarkan televisi kepada rakyat Israel menegaskan jika Iran Tidak akan pernah memiliki senjata nuklir. Netanyahu yang juga mengklaim jika Israel telah meraih kemenangan bersejarah atas Iran dalam perang 12 hari, dilansir AFP, Rabu, 25 Juni 2025, berjanji akan terus mencegah Teheran membangun kembali fasilitas nuklirnya.
Dalam pidato selama sepuluh menit, Netanyahu mengutarakan jika telah menggagalkan proyek nuklir Iran. Menurutnya jika Iran berupaya untuk membangun kembali, Israel akan kembali bertindak dengan intensitas yang sama untuk menggagalkannya.
Baca juga:
Keterlibatan AS
Perang dua negara pada akhirnya turut melibatkan negara adidaya yaitu AS. Presiden AS, Donald Trump, memerintahkan pengeboman terhadap tiga lokasi yang dicurigai oleh negara yang dijuluki “Paman Sam” sebagai fasilitas nuklir di Iran. Presiden Trump melalui platform Truth Social, mengungkapkan pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, serangan AS telah menghancurkan fasilitas nuklir Iran di Fordow, Isfahan dan Natanz.
Pesawat bomber siluman Angkatan Udara AS/United States Air Force (UASF) B-2 dikerahkan dalam serangan udara ke Fordow. Sedangkan Natanz dan Isfahan diserang dengan menggunakan 30 rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam Angkatan Laut AS/United States Navy (US Navy).
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Israel dan AS ke situs-situs nuklir Iran menimbulkan berbagai pertanyaan sekaligus dukungan maupun kecaman dari dunia internasional. Apalagi jika mengingat kembali serangan yang pernah dilancarkan AS ke negara tetangga Iran yaitu Irak. Pada 2003, 22 tahun lalu, AS menyerang Irak dengan tuduhan negeri 1001 malam yang pada waktu itu berada di bawah kepemimpinan Saddam Hussein, memiliki senjata nuklir/pemusnah massal. Namun tuduhan itu hingga hari ini tidak terbukti. Presiden AS pada waktu itu, George W. Bush Junior, justru dituduh berbohong tentang kepemilikan senjata pemusnah massal di Irak oleh warga negaranya sendiri. Namun Donald Trump bukan Bush Junior, bisa jadi dia lebih baik atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan pendahulunya.
Baca juga:
Seruan Perdamaian IAEA
Kembali ke Iran, Negeri para Mullah, sebelum perang 12 hari berkecamuk, justru telah membuka diri terhadap inspeksi yang dilakukan oleh Badan Energi Atom Internasional/International Atomic Energy Agency (IAEA). Setelah serangan AS, Direktur Jenderal (Dirjen) IAEA, Rafael Grossi, mengonfirmasi jika telah terjadi serangan di tiga situs nuklir Iran yaitu Fordow, Natanz dan Isfahan.
Serangan terhadap situs nuklir Iran di Fordow menurutnya memberikan dampak langsung, namun tingkat kerusakan masih belum bisa dipastikan. Dikutip dari Xinhua, kantor berita resmi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), otoritas Iran menurut Rafael telah memberi tahu IAEA jika tidak ada kenaikan tingkat radiasi di luar lokasi situs nuklir/off-site pasca serangan AS.
Berdasarkan analisis IAEA; situs Natanz, yang sebelum diserang rudal Tomahawk AS, telah dibom oleh pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Israel/Israeli Air Force (IAF) mengalami kerusakan parah. Pada serangan selanjutnya, rudal Tomahawk AS berhasil menembus ke bawah tanah situs Natanz.
Baca juga:
Kerusakan serupa juga menimpa situs Esfahan yang sebelumnya juga telah diserang berulang kali oleh IAF yang mengerahkan pesawat tempur siluman F-35 Lightning II. Tak hanya jet tempur siluman generasi kelima, IAF juga mengerahkan jet tempur generasi keempat legendaris yaitu F-15 Strike Eagle dan juga F-16 Fighting Falcon pada serangan perdana ke Iran.
Dampak dari perang sangat mengkhawatirkan banyak pihak, terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Jadi, sangat wajar jika warga dunia yang mencintai perdamaian memberikan dukungan penuh kepada IAEA yang mengajak Iran dan Israel serta AS untuk segera mengakhiri perang dan kembali ke meja perundingan.
Sesulit dan serumit apapun, jalan diplomasi adalah rute terbaik yang harus ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa. Selain itu, verifikasi yang dilakukan terhadap fasilitas nuklir yang dimiliki Iran juga perlu diteruskan oleh IAEA. Para inspektur IAEA harus diberi akses seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya di Iran dan juga di negara-negara lain yang memiliki fasilitas nuklir atau sedang melakukan pengayaan uranium.
Baca juga:
Sebelum mengakhiri artikel singkat ini, saya merasa perlu untuk menuliskan kembali pernyataan Andrei Andreyevich Gromyko, mantan Duta Besar Uni Soviet di Inggris; “Lebih baik bernegosiasi sepuluh tahun daripada perang satu hari.” {}




