Serangan udara yang dimulai pada Jumat dini hari waktu setempat menargetkan situs nuklir yang terletak di Ibu Kota Iran, Teheran. Dilaporkan oleh media Iran, serangan juga membunuh komandan Garda Revolusi Iran, Hossein Salami.
Selain komandan Garda Revolusi, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengungkapkan beberapa komandan militer dan ilmuwan negara yang dipimpinnya juga tewas dalam serangan tersebut. Tanpa perlu menunggu lama, Iran langsung melakukan serangan balasan ke Israel pada hari yang sama. Di siang hari, 100 rudal Iran ditembakkan ke wilayah Israel. Sirine peringatan serangan udara meraung-raung di Yerusalem hingga Ibu Kota Israel, Tel Aviv, sejak serangan dimulai hingga malam hari. Angkatan Bersenjata Israel/Israel Defence Force (IDF), mengemukakan jika telah berhasil mendeteksi proyektil yang diluncurkan dari Yaman.
Kolega saya di Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) yang juga seorang Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menduga jika di belakang serangan Israel ke Iran ada peran Amerika Serikat (AS). Melalui keterangan tertulis, Sabtu, 14 Juni 2025, menurutnya ada tiga alasan dari dugaan itu.
Baca juga:
Pertama, sebelum menjabat, Presiden AS, Donald Trump, mengutarakan penyelesaian masalah di Gaza adalah dengan melakukan serangan ke Iran. Kedua, Trump juga menyatakan akan ada konflik masif di Timur Tengah (Timteng) bila negosiasi antara AS dan Iran terkait pengembangan senjata nuklir Iran di Oman gagal. Terakhir, Trump juga ingin memberi pelajaran bagi negara-negara di Timteng agar mau tunduk dengan keinginannya. Bila tidak, maka mereka akan menerima konsekuensi seperti Iran.
Jika mencermati eskalasi yang sedang terjadi, serangan udara Israel ke wilayah/teritori Iran lebih dari sekadar respons terhadap ancaman nuklir Iran seperti yang dikemukakan Trump sekaligus diwaspadai AS sebagai sekutu tradisional Israel. Serangan udara/air strike merupakan taktik yang menjadi bagian dari strategi jangka panjang Israel untuk mempertahankan superioritas militer terutama di udara/air superiority,
Sejarah konflik di kawasan yang selalu bergolak itu mencatat doktrin militer Israel yang dikenal sebagai Doktrin Begin. Doktrin yang dirumuskan oleh Mantan Perdana Menteri (PM) Israel, Menachem Begin, tersebut mengamanatkan kebijakan preventif untuk menggagalkan setiap upaya negara-negara yang diidentifikasi sebagai musuh negara Yahudi itu untuk mengembangkan senjata pemusnah massal.
Baca juga:
Dalam perkembangannya, seiring berjalannya waktu, berdasarkan doktrin tersebut, Israel menggelar serangan terhadap reaktor nuklir Irak pada 1981. Pada serangan yang dikenal dengan Operasi Opera itu, Angkatan Udara Israel/Israeli Air Force (IAF) mengerahkan pesawat tempur F-15 Strike Eagle dan F-16 Fighting Falcon untuk membom reaktor nuklir Irak di yang terletak di Osirak. Oleh sebab itu, serangan udara ke Iran dapat dicermati sebagai tindak lanjut dari kebijakan Israel yang dirumuskan berdasarkan Doktrin Begin.
Namun Iran bukanlah Irak. Negeri para Mullah yang sebelumnya dikenal dengan nama Persia itu memiliki jaringan sekaligus aliansi yang kuat di kawasan Timteng yang selalu bergolak. Mulai dari Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, kelompok milisi di Irak hingga aliansi strategis dengan Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ada di belakang Iran yang tengah berseteru dengan Israel. Jadi dengan demikian, konfrontasi bersenjata yang dimulai oleh Israel telah memicu risiko konflik regional dalam skala besar.
Peran negara-negara teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) juga perlu diperhatikan dengan seksama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri AS terhadap kedua negara yang tengah berkonfrontasi. Bukan tidak mungkin, keterlibatan negara-negara besar di belakang Iran maupun yang mendukung Israel, hingga negara-negara teluk akan memicu atau justru mencegah terjadinya perang dunia ketiga.
Baca juga:
Serangan balasan Iran yang mengerahkan Pesawat Tempur Tanpa Awak/PTTA/drone hingga rudal jarak jauh, menunjukkan jika Iran adalah negara dengan kekuatan militer yang harus diwaspadai oleh Israel maupun negara-negara pendukungnya seperti AS, Inggris, Prancis hingga Jerman. Kemampuan Iran dalam mengintegrasikan serangan rudal dengan operasi proxy di Yaman, Irak, dan Lebanon menunjukkan konsep peperangan asimetris yang teruji. Bahkan deteksi peluncuran rudal dari Yaman memperlihatkan bagaimana konflik di satu titik dengan cepat menjalar ke berbagai lokasi strategis lainnya.
Respons militer dari Arab Saudi/Kingdom of Saudi Arabia (KSA) juga perlu dicermati dengan seksama. Kedua negara yaitu KSA dan Iran dalam sejarahnya selalu berebut pengaruh di kawasan. Perebutan pengaruh baik di sektor energi/minyak hingga keagamaan dalam kaitannya konflik antara pengikut syiah di Irak dengan Sunni di Saudi sangat berpotensi untuk pecah menjadi konflik sektarian yang akan mendorong instabilitas atau kekacauan di Timur Tengah.{}