Uji coba terakhir jet tempur KF-21 Boramae, Sumber: Republic of Korean Air Force (ROKAF).
Uji Terbang Terakhir Jet Tempur Kolaborasi Indonesia-Korea Selatan

Date

Di langit pantai Selatan Republik Korea, pada ketinggian 4500 meter di atas permukaan laut, pesawat tempur KF-21 yang dijuluki “Borame” melaju dengan kecepatan lebih dari 1.000 kilometer/jam.

Jet tempur kolaborasi Indonesia-Korea Selatan (Korsel) versi tempat duduk tandem/double seat itu melakukan uji terbang terakhirnya pada Rabu, 19 Februari 2025.

Kepala Staf Angkatan Udara Republik Korea/Republic Of Korea Air Force (ROKAF), Jenderal Lee Young su, turut mengudara di kursi belakang dalam uji terbang terakhir jet tempur generasi 4,5 itu. Uji terbang pesawat yang lepas landas/take off dari Pangkalan Udara Sacheon, Korsel itu difokuskan terhadap karakteristik kemampuan manuver dan evaluasi kinerja. Selain itu, jet tempur yang diterbangkan test pilot, Mayor Woo Hong-gyun, itu juga melakukan penilaian khusus pada karakteristik kontrol dan akurasi avionik.

Jadi selama uji terbang dilakukan, Mayor Woo yang duduk di kursi depan bersama dengan Jenderal Lee menilai karakteristik kendali dan sistem avionik pesawat. Radar Active Electronically Scanned Array (AESA) juga diuji keandalannya dalam penerbangan. Diproduksi oleh industri pertahanan di dalam negeri Korsel yaitu Hanwa Systems, radar AESA juga ikut dikembangkan oleh Agency for Defense Development. 

Baca juga:

Purwarupa/prototipe KF-21-004 yang sukses melakukan uji terbang terakhir, dua tahun lalu atau pada 20 Februari 2023 juga berhasil terbang untuk pertama kalinya. Sementara prototipe KF-21-006 berkursi tandem kedua berhasil terbang untuk pertama kalinya pada 28 Juni 2023.

Kedua purwarupa berkursi ganda itu akan dikembangan untuk pengoperasian sistem elektronik pesawat tempur semi siluman/semi stealth tersebut. Ke depan, penerbang di kursi belakang juga direncanakan dapat  mengoperasikan Pesawat Tempur Tanpa Awak/PTTA (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) atau yang populer disebut drone dalam perang udara dengan menggunakan perangkat elektronik/electronic warfare.

Keberhasilan uji terbang terakhir pesawat tempur yang dalam bahasa Indonesia dijuluki “Elang” itu sekaligus menandai jet tempur siap memasuki jalur produksi/line production. Setelah diproduksi, KF-21 ditargetkan akan mulai dioperasikan oleh Angkatan Udara Korea Selatan pada 2026. Pada saat mulai dioperasikan, Korsel bersama dengan Indonesia sebagai negara mitra akan masuk ke dalam jajaran Negara-negara elite produsen pesawat tempur.

Baca juga:

Pada waktu menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) pada 2016 lalu, dalam sebuah wawancara dengan cnnindonesia.com, saya pernah mengemukakan jika tidak banyak negara yang bisa membuat pesawat tempur. Saya juga menegaskan jika tidak lebih dari sepuluh negara yang bisa membuat pesawat tempur.

Negara-negara itu adalah Amerika Serikat, Brasil, Prancis, Rusia, Swedia, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang bekerja sama dengan Pakistan, serta konsosium Eropa yang terdiri dari empat negara. Keempat negara yang bergabung dalam konsorsium tersebut adalah Jerman, Inggris, Italia dan Spanyol. Selanjutnya, Jepang dan Turkiye kemudian menyusul sebagai negara produsen pesawat tempur.   

Kolaborasi Indonesia-Korsel

Sang Elang/KF-21 Borame, sejak awal didesain untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Udara Republik Indonesia (RI) dan Republic of Korea (RoK). Ketika masih pada tahap penjajakan, disepakati oleh kedua negara jika untuk memperkuat pertahanan udaranya, dibutuhkan pesawat tempur multi peran/multirole fighter aircraft. Tak hanya multirole, jet tempur semi stealth juga didesain untuk dilengkapi dengan weapon vision range missile dan beyond visual range. Jet tempur juga memiliki smart avionic yang dilengkapi dengan sensor feature peluru kendali serta highly maneuverable aircraft.

Baca juga:

Sebagai negara yang menjadi mitra, ada tiga keuntungan yang diperoleh RI;

  1. Transfer pengetahuan sehingga Indonesia kelak menguasai high modern technology.
  2. Cost saving maintenance.
  3. Pemutakhiran/upgrading pesawat.

Sepanjang sejarah RI sebagai negara-bangsa/nation-state sejak pertama kali memproklamirkan kemerdekaan, dalam perkara pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) seperti pesawat tempur, Indonesia hanya menjadi negara konsumen. Artinya jika ada pesawat tempur yang ditawarkan oleh negara produsen seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Swedia hingga Rusia, maka sebagai konsumen, Indonesia hanya dapat membelinya. Oleh sebab itu, jika harganya mengalami kenaikan, sebagai konsumen tentu tidak akan memiliki posisi tawar/bargaining position yang kuat ketika bernegosiasi dengan produsen.

Tidak hanya pada tahap pembelian, terkait dengan pemeliharaan/maintenance hingga pengadaan suku cadang atau onderdil/spare parts, RI sebagai negara konsumen juga memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap produsen. Selain itu, jika ingin melakukan pembaharuan/upgrading, misalnya terhadap sistem persenjataan hingga aviasi pesawat, konsumen juga akan sangat tergantung kepada produsen.

Baca juga:

Tetapi jika RI di masa depan dapat menguasai teknologi untuk memproduksi pesawat tempur untuk menjaga kedaulatan Negara di udara maka pemerintah dapat melakukan penghematan anggaran/cost saving). Baik dari sisi maintenance maupun upgrading.

Selain itu, yang terakhir sekaligus terpenting. lapangan pekerjaan di dalam negeri juga akan bertambah, bahkan terbuka lebar jika Indonesia mampu memproduksi, melakukan maintenance sekaligus upgrading. Dampaknya tentu saja industri dirgantara nasional akan berkembang sehingga perekonomian Indonesia secara otomatis juga akan ikut tumbuh.

Dari berbagai keuntungan yang telah dikemukakan, tentu diharapkan jika kerja sama yang telah dimulai sejak 6 Maret 2009, meskipun sempat menghadapi kendala, akan kembali dilanjutkan. Masa depan industri dirgantara nasional dan pembangunan kekuatan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) akan sangat ditentukan oleh negosiasi RI dan RoK.{}

Share this

Baca
Artikel Lainnya