Senior Manager & Chief KFX Joint Development Management Team, Lee Sung-il, mengemukakan jika mengacu pada rencana awal, pemerintah Korsel akan membeli 128 unit jet tempur KFX/IFX yang kini diberi nama KF-21 Boramae. Sementara pemerintah RI akan membeli sebanyak 48 unit. Menurutnya, Indonesia juga dapat menghemat biaya operasi pembuatan jet tempur generasi 4,5 tersebut sekitar 45-63 persen per jam.
Hal itu diutarakan Lee ketika menerima kunjungan 13 jurnalis peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di kantor Korea Aerospace Industries (KAI), Sacheon, Korsel, Jumat, 2 Juni 2023, seperti dikutip dari bisnis.com.
Dalam kerja sama produksi (joint production) yang dilakukan oleh kedua negara, Indonesia diperkirakan dapat meraih keuntungan hingga 10miliar dolar Amerika Serikat (AS), dengan mengacu pada perhitungan kurs pada saat ini mencapai Rp149triliun jika turut serta dalam proses produksi KF-21 Boramae.
Selain keuntungan finansial, berdasarkan riset yang dilakukan Jane’s Market Forecasting, Indonesia juga diperkirakan akan meraih keuntungan bisnis lain yaitu terciptanya 27 ribu lapangan pekerjaan. Perkiraan itu diperoleh setelah dilakukan kalkulasi terhadap production inducement yang kira-kira menyentuh angka US$3,3 miliar. Sehingga indonesia diprediksi mampu memperoleh keuntungan sekitar US$10 miliar atau Rp149 triliun sekaligus dapat membuka 27 ribu lapangan pekerjaan.
Pembiayaan KF-21 Boramae sejak tahap riset hingga produksi, sesuai dengan kesepakatan kedua negara ditanggung oleh tiga pihak. 60 persen pemerintah Korsel, 20 persen pemerintah Indonesia, dan 20 persen dari KAI. Pemerintah Indonesia pada saat ini baru membayar 17 persen cost share, sehingga masih harus melunasi 83 persen dari total tagihan. Sebagai negara mitra, Indonesia memiliki kewajiban menanggung sebesar Rp24,8triliun yang pembayarannya dapat dilakukan secara bertahap.
Pada fase joint development, Indonesia memiliki kewajiban untuk melunasi pembayaran sebesar Rp100miliar. Selanjutnya pada tahap Engineering Manufacture Development (EMD) sebesar Rp20triliun. Kemudian pada fase ketiga yaitu technology readiness, nominal yang menjadi kewajiban Indonesia mencapai Rp700miliar. Terakhir atau pada fase keempat yaitu operasional dan infrastruktur adalah sebesar Rp4 triliun.
Permasalahan muncul karena Pemerintah RI menunda pembayaran share cost pada fase EMD yang telah disepakati oleh kedua negara. Pemerintah RI telah mengevaluasi jalannya proyek pada 2018 hingga 2019, sementara Korsel tetap menjalankan program. Proyek kerja sama kedua negara dijadwalkan berlangsung pada tiga tahap. Pertama tahap pengembangan teknologi sejak 2011 hingga 2016. Kedua, tahap pengembangan purwarupa/prototipe (Engineering Manufacture Development/EMD) pada 2016 hingga 2026. Terakhir atau ketiga adalah tahap produksi yang akan dimulai pada 2026.
![](https://erisherryanto.com/wp-content/uploads/2023/06/Jet-tempur-KF-21-hasil-kolaborasi-Korea-Selatan-dengan-Indonesia.jpg)
Keuntungan Bagi Indonesia
Tak sekadar keuntungan finansial yang terlihat jelas di depan mata. Masih ada banyak keuntungan lain bagi Indonesia jika kerja sama kedua negara dapat terus dilanjutkan hingga memasuki fase produksi seperti yang telah direncanakan. Bendera nasional Korsel, Taegeukgi, dan Sang Saka Merah Putih, bendera kebangsaan Indonesia yang berada di body pesawat yang berada tepat di bawah kokpit KF-21 menunjukkan jika kedua negara adalah mitra strategis dalam proyek pengembangan pesawat tempur. Kata “Boramae” dalam Bahasa Korea jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti elang.
Oleh sebab itu, jika Indonesia terbukti mampu memproduksi KF-21 bersama dengan Korsel, maka daya saing industri, baik industri dirgantara maupun pertahanan juga akan meningkat. Pada awal kolaborasi dilakukan oleh kedua negara, target Indonesia adalah meningkatkan level teknologi kesiapsiagaan (technology readiness level/TRL) Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).
Ketika kerja sama dimulai, technology readiness level Indonesia kurang lebih berada di angka tiga. Kemudian setelah menyelesaikan fase teknologi, readiness level bisa naik menjadi 4,5. Diharapkan setelah kerja sama pembuatan pesawat tempur dimulai, bisa mencapai angka tujuh. Target tersebut tentu harus diraih karena tidak berlebihan, bahkan sangat realistis bagi sebuah negara yang telah mampu memproduksi pesawat tempurnya sendiri. Tak hanya kenaikan TRL, Indonesia juga akan mengalami peningkatan level pembuatan/manufaktur Manufacturing Readiness Level ( MRL ) pesawat tempur.
Jadi selain kemampuan memproduksi pesawat tempur maupun suku cadang/onderdil, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan operasional dan pemeliharaan (maintenance). Karena sebagai mitra, tentu Indonesia harus mengetahui agar dapat meningkatkan kemampuan operasional dan maintenance. Sehingga ke depan atau pada tahap selanjutnya, Indonesia mampu melakukan analisa dan dapat melakukan pengembangan/upgrade. Eksistensi Indonesia juga semakin diperhitungkan, baik di wilayah Asia Tenggara, Benua Asia maupun dunia.
Namun, yang jauh lebih penting selain menjadi negara yang disegani, daya gentar (deterrent effect) Indonesia menjadi lebih tinggi terhadap negara-negara yang mungkin berseberangan. Artinya sebelum merumuskan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi hingga pertahanan-keamanan yang berkaitan dengan Indonesia, negara-negara yang berseberangan atau tidak sejalan akan lebih berhati-hati.
Bukankah tidak berlebihan jika sebuah negara besar yang memiliki wilayah luas seperti Indonesia diperhitungkan oleh negara-negara lain di dunia? {}