Pada awalnya kolaborasi kedua negara diberi nama Indonesia Fighter eXperiment/Korea Fighter eXperiment (IFX/KFX). Setelah berlangsung selama kurang lebih 13 tahun menjelang uji terbang, proyek IFX/KFX diberi nama KF-21 Boramae. Dalam bahasa Indonesia, Boramae berarti Elang.
Namun sangat disayangkan, seiring berjalannya waktu, setelah kolaborasi memasuki tahun ke-15 kerja sama kedua negara mengalami kendala. Salah satunya terkait dengan pembiayaan yang dalam perkembangannya juga ikut memengaruhi proses alih teknologi/Transfer of Technology (ToT).
Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar RI di Seoul, Ibu Kota Korsel, Zelda Wulan Kartika, mengemukakan jika negosiasi tentang keberlanjutan pengembangan proyek jet tempur KF-21 Boramae dilakukan langsung oleh Kementerian Pertahanan RI dan Pemerintah Korea Selatan. Hal itu diutarakan Zelda ketika berdialog dengan delegasi wartawan Indonesia peserta program “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia, Rabu, 15 Mei 2024, seperti dikutip dari ANTARA. Menurut Zelda, KBRI di Seoul tidak banyak berperan atau ikut andil dalam negosiasi maupun pelaksanaan kerja sama pengembangan pesawat tempur. Namun dia menegaskan jika Pemerintah RI berkomitmen untuk terus menjalankan program tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang komitmen Pemerintah RI dengan Korsel, pertama kali perlu disampaikan agar diketahui oleh semua pihak, termasuk seluruh warga negara Indonesia maupun Korsel jika kerja sama kedua negara diinisiasi berdasarkan aturan hukum dengan legal standing yang sangat kuat.
Legal standing dari kolaborasi Korsel dengan Indonesia terkait dengan KF-21 Boramae adalah Letter of Intent (LoI) yang disepakati oleh pada 6 Maret 2009. Penandatanganan dilakukan di Jakarta dan disaksikan oleh presiden dari kedua negara. LoI kemudian ditindaklanjuti dengan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Kementerian Pertahanan Korsel dan Indonesia pada 15 Juli 2010.
Sebelum MoU disepakati, telah dilakukan survei mengenai teknologi yang dimiliki oleh kedua negara, apakah memungkinkan (visible) untuk melakukan kerja sama. Survei dilakukan dalam rentang waktu kurang lebih 1,5 tahun. Terhitung sejak LoI disepakati pada 6 Maret 2009 hingga MoU disetujui pada 15 Juli 2010.
Setelah MoU disetujui, Korsel dan Indonesia terikat dalam sebuah komitmen bersama. Artinya kedua negara memulai kolaborasi untuk menjalankan program Korea Fighter eXpreriment (KFX)/Indonesia Fighter eXperiment (IFX) yang produknya berupa pesawat tempur diberi nama KF-21 Boramae.
Tahap pertama kolaborasi kedua negara dilakukan pada fase technical development base. Perjanjian Proyek/Project Agreement ditandatangani pada 20 April 2011 dan berjalan sejak 2011 hingga 2014. Tahap kedua atau fase selanjutnya adalah enginering manufacturing development base. Kolaborasi tahap kedua disepakati pada 6 Oktober 2014. Selanjutnya Indonesia merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 136 Tahun 2014 yang ditandatangani pada 17 Oktober 2014.
Komitmen kedua negara terbukti tidak sia-sia. Tak hanya perjanjian yang kuat dan mengikat di atas kertas, perkembangan kerja sama juga menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. KF-21 Boramae pada tahap awal telah teruji mampu melakukan pergerakan pesawat (taxiing) di landasan (runway) Bandara Sancheon, Korsel. Uji taxiing dan uji statis merupakan dua tahapan yang harus dilalui sebelum uji terbang yang juga berhasil dengan baik sesuai target pada 22 Juli 2022.
Keuntungan Indonesia
Sejak awal, Sang Elang memang didesain untuk menjawab kebutuhan dari dua negara yang telah sepakat untuk bekerja sama mengembangkan pesawat tempur. Berdasarkan kemampuan teknologi, KF-21 dapat dikategorikan sebagai pesawat tempur generasi 4,5.
Borame merupakan pesawat tempur multi peran/multirole fighter aircraft yang dilengkapi dengan weapon vision range missile dan beyond visual range. Selain itu, pesawat juga memiliki kemampuan semi stealth, smart avionic dan dilengkapi dengan sensor feature peluru kendali serta highly maneuverable aircraft. Jadi seperti itulah spesifikasi pesawat tempur yang akan diproduksi oleh kedua negara.
Pertanyaan selanjutnya adalah seperti apa manfaat yang akan diperoleh oleh Indonesia dalam kerja sama bilateral? Pertama, ada transfer pengetahuan sehingga Indonesia kelak menguasai high modern technology. Kedua, cost saving maintenance. Terakhir atau ketiga adalah pemutakhiran/upgrading pesawat.
Selama ini dalam persoalan pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) seperti pesawat tempur, Indonesia hanya sebagai negara konsumen. Artinya jika ada pesawat tempur yang ditawarkan oleh negara produsen seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Swedia hingga Rusia, maka sebagai konsumen, Indonesia hanya dapat membelinya. Jadi jika harganya mengalami kenaikan, sebagai konsumen tentu tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat ketika bernegosiasi dengan produsen.
Tak hanya pada tahap pembelian, terkait dengan pemeliharaan/maintenance hingga pengadaan suku cadang atau onderdil/spare parts, Indonesia sebagai negara konsumen juga memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap produsen. Selain itu, jika ingin melakukan pembaharuan/upgrading, misalnya terhadap sistem persenjataan pesawat, konsumen juga akan sangat tergantung kepada produsen.
Namun jika Indonesia bisa menguasai teknologi untuk memproduksi pesawat tempur untuk menjaga kedaulatan di udara maka negara dapat melakukan penghematan anggaran/cost saving). Baik dari sisi maintenance maupun upgrading. Selain itu, yang terakhir sekaligus terpenting. lapangan pekerjaan di dalam negeri juga akan bertambah, bahkan terbuka lebar jika Indonesia mampu memproduksi, melakukan maintenance sekaligus upgrading. Dampaknya tentu saja industri dirgantara nasional akan berkembang sehingga perekonomian Indonesia secara otomatis juga akan ikut bertumbuh.
Dari berbagai keuntungan yang telah dikemukakan di atas, bukankah tidak berlebihan jika diharapkan kerja sama yang sempat menghadapi kendala dapat kembali dilanjutkan?{}