Space Needle (Jarum Angkasa) adalah sebuah menara di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Menara ini merupakan sebuah lambang yang terkenal di Amerika Serikat dan Barat Laut Pasifik dan merupakan simbol kebanggaan kota Seattle. Terdapat di kompleks Seattle Center, menara ini dibangun untuk festival Pameran Dunia 1962. FOTO: Pexels.com/Josh Fields
Mendarat di Seattle, Nyaris Ketinggalan Pesawat di Dallas Fort Worth International Airport

Date

Di dalam kabin Boeing 747 yang dioperasikan oleh Northwest Airlines, saya sudah mulai memahami jika penumpang pesawat terbang diberi service berupa makan oleh maskapai.

Lega sekali rasanya menyantap makanan yang disajikan oleh kru kabin. Sehari sebelumnya, dalam penerbangan dari Jakarta ke Hongkong, saya tidak tahu jika pihak maskapai menyediakan makanan untuk penumpang. 

Jadi ketika pramugari pesawat yang saya tumpangi yaitu Garuda Indonesia menawari makanan, saya tolak karena tidak tahu jika makanan yang disajikan gratis. Maklum, baru pertama kali naik pesawat sipil sekaligus terbang ke luar negeri. Tapi penolakan itu bukan karena tidak punya uang sehingga takut tidak mampu membayar. Masalah yang saya antisipasi adalah uang di kantong maupun di dompet semuanya dalam bentuk Dolar Amerika Serikat (AS).  

Selama kurang lebih 14 hingga 15 jam di dalam pesawat yang dikelola maskapai asal AS itu, rasanya seperti pertama kali masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) dan mengikuti orientasi awal di AKABRI yang berada di Magelang, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Di tempat duduk, saya membaca majalah berbahasa Inggris. Hal itu saya lakukan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris yang kurang memadai.

Baca juga:

Selain itu, saya juga mendengarkan musik, salah satu lagu grup musik asal Inggris “Bee Gees” berjudul “Words”. Banyak sekali lagu-lagu “Bee Gees” yang menemani masa remaja saya – mulai dari “I Started A Joke”, “How Deep is Your Love” hingga yang kemudian liriknya saya hafal di luar kepala seiring dengan kemampuan bahasa Inggris saya yang semakin membaik ketika menempuh Sekolah Penerbangan (Sekbang) di AS selama lebih dari satu tahun. Lagu itu berjudul “Massachusetts”.

Feel I’m goin’ back to Massachusetts

Something’s telling me I must go home

And the lights all went out in Massachusetts

The day I left her standing on her own”

Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 14 jam, akhirnya roda pesawat menyentuh landasan/runway bandara. Namun roda Boeing 747 yang saya tumpangi dari Hongkong tidak menyentuh landasan di Massachusetts, melainkan di Bandara Seattle. Tidak seperti ketika mendarat untuk pertama kalinya di Bandara Internasional Kai Tak, Hongkong, di Seattle-Tacoma International Airport, kepercayaan diri sudah mulai meningkat. Saya tidak lagi kebingungan ketika harus mengambil bagasi. Saya juga sama sekali tidak mengalami jet lag, meski perbedaan waktu antara Seattle dengan Hong Kong mencapai 15 jam, dimana waktu Hongkong lebih cepat 15 jam dibanding Seattle. Badan tetap terasa segar seperti biasa, atau mungkin karena tidak tahu apa itu Jet Lag, jadi saya sama sekali tidak merasakannya.

Baca juga:

Dari Seattle, saya harus kembali melanjutkan penerbangan ke San Antonio, Texas. Petugas di bandara memberi tahu jika harus masuk subway dan menuju ke gerbang/gate sekian setelah saya menunjukkan tiket pesawat untuk terbang di dalam negeri AS yang juga sudah dibuatkan boarding pass-nya sejak pertama kali take off dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.  

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang koper Echolac yang berisi barang bawaan harus diapakan? Petugas bandara dengan akses American English mengatakan jika koper langsung saja dimasukkan ke dalam lubang yang ditunjukkan. Saya sempat tidak yakin, mengingat ketika mengurus bagasi di Jakarta maupun di Hongkong, bagasi selalu diurus, dalam artian ditimbang terlebih dahulu sebelum diletakkan di rel oleh petugas di bandara. Namun petugas di Bandara Seattle meyakinkan saya jika koper akan terdeteksi secara otomatis. Akhirnya saya masukkan saja Echolac cokelat kemudian naik subway tanpa membawa barang apapun. 

Di dalam subway, terminal yang dituju, petunjuknya menggunakan warna seperti biru, hijau dan kuning. Di terminal berwarna kuning, saya berhenti dan kemudian berjalan menuju gate untuk pesawat ke San Antonio. Setelah menunggu sebentar, akhirnya penumpang diminta untuk boarding ke dalam pesawat. Di dalam kabin pesawat, setelah duduk di kursi sesuai nomor, saya merasa lega sekali. Bagi orang asing yang baru pertama kali berkunjung ke AS, petunjuk-petunjuk di bandara cukup jelas bagi para pengunjung yang transit sebelum melanjutkan penerbangan.

Ilustrasi pesawat di bandara ketika matahari terbenam. FOTO: Pexels.com/Zachary DeBottis

Shortstop di Dallas

Mungkin karena perasaan nyaman gembira yang berlebihan/euforia setelah berhasil memasuki kabin pesawat dengan selamat dan tanpa kebingungan berlebihan seperti penerbangan-penerbangan sebelumnya, saya menjadi terlena. Pengumuman-pengumuman yang disampaikan oleh kapten yang menerbangkan pesawat dari kokpit yang kemudian diulangi oleh kru kabin kurang saya perhatikan. 

Selain itu, ketika pertama kali berangkat ke AS pada 1977, kemampuan bahasa Inggris saya juga masih sangat minim sehingga berbagai pengumuman yang disampaikan tidak paham betul maksud dan artinya. Ternyata, pesawat yang saya tumpangi akan berhenti sejenak di  Dallas Fort Worth International Airport.

Meski kemampuan berbahasa Inggris kurang memadai, namun saya memberanikan diri untuk ngobrol sejenak dengan penumpang yang duduk di samping kursi saya di dalam kabin. Pertama kali dia bertanya ke mana tujuan saya? Saya jawab ke San Antonio. Kemudian dia kembali bertanya apakah saya pertama kalinya ke AS? Tentu saja saya mengiyakan sambil menjelaskan itulah sebabnya tidak tahu apa-apa. Beruntung sekali, penumpang itu tujuannya sama dengan saya.

Baca juga:

Nah, ketika pesawat mendarat di Dallas Fort Worth, saya pikir sudah tiba di San Antonio, saya bersiap-siap untuk keluar. Ketika saya keluar, penumpang yang duduk di samping dan sempat ngobrol sejenak tadi mengira jika saya hanya keluar untuk berjalan-jalan sebentar karena pesawat hanya transit sekitar 20 menit. Ketika pintu pesawat hendak ditutup oleh kru kabin, penumpang yang baik hati itu kaget ketika saya tidak duduk di sampingnya. 

Kemudian dia mengejar sambil berteriak;”Sir, Sir, ini baru Dallas fort Worth, San Antonio masih sekali lagi. Beruntung saya mendengar teriakannya yang cukup keras sehingga akhirnya kembali masuk ke kabin dan duduk di kursi pesawat. Kejadian itu memotivasi saya agar mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional sekaligus bahasa ibu yang dipergunakan oleh warga AS, negara tempat saya akan belajar terbang seperti cita-cita saya sejak kecil ketika pertama kali melihat pesawat yang terbang di langit Kota Kudus, Jawa Tengah. Kota dimana saya menghabiskan masa remaja sebelum akhirnya memutuskan untuk mengejar cita-cita menjadi penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia.{} 

Share this

Baca
Artikel Lainnya