Pada awalnya, celana jeans memang didesain untuk para pekerja kasar yang dikenal dengan kerah biru/blue collar di Amerika Serikat (AS). Jeans, seperti dikutip dari Vogue France, dipatenkan oleh seorang penjahit bernama Jacob Davis dan pemilik toko kain yaitu Levi Strauss pada 1873 di San Fransisco, AS.
Ketika lulus dari Akademi Angkatan Udara (AAU) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 1976, gaji sebagai seorang Perwira Angkatan Udara (AU) berpangkat Letnan Dua (Letda) adalah Rp32ribu. Pada waktu itu, harga celana jeans merek Levi’s Rp18ribu. Tentu saja saat itu, belum ada merek jeans lain seperti Wrangler, Lea, Lee Cooper, Louis, Diesel, Edwin maupun Cardinal dan merek lain seperti sekarang. Hanya ada satu merek yaitu Levi Strauss yang dikenal dengan Levi’s.
Kalau nekat membeli Levi’s tipe standar seharga Rp18ribu, kemungkinan besar, bahkan hampir dapat dipastikan, gaji seorang perwira pertama AU berpangkat Letda tidak akan cukup untuk sebulan. Oh ya, pada waktu itu, karena masih berusia muda, kurang lebih rata-rata usia para perwira yang baru saja lulus dari AAU adalah 22 hingga 23 tahun, yang dijadikan patokan atau tolak ukur adalah harga celana jeans, bukan emas seperti orang-orang tua yang sudah berkeluarga.
Itulah sebabnya hingga hari ini saya merasa sangat beruntung sekali bisa diterima menjadi siswa Sekolah Penerbang (Sekbang) di AS.
Sebelum berangkat, saya menerima uang saku dalam bentuk mata uang dolar AS. Meskipun jumlahnya sudah agak lupa, namun yang jelas saya masih ingat apa yang saya beli setelah menerima uang saku. Saya langsung membeli koper merek Echolac ukuran 31 inchi. Ukuran itu adalah yang paling besar karena harus dapat memuat pakaian seragam untuk musim dingin/winter, dua Pakaian Dinas Upacara (PDU) yaitu PDU satu dan dua, kemudian juga Pakaian Dinas Harian (PDH). Jadi pakaian dinas yang harus dibawa dari Indonesia ke AS saja banyak sekali.
Selain itu banyak sekali keperluan yang harus dipersiapkan seperti pakaian sipil untuk pesiar ketika lepas dinas. Setelah segala sesuatu yang dibutuhkan sudah siap, tinggal menunggu waktu untuk berangkat. Pada waktu itu, tepatnya tahun 1977, penerbangan dengan rute internasional, lepas landas/take off dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Bandara Sukarno-Hatta di Tangerang, Banten, belum dibangun, sementara Bandara Kemayoran di Jakarta Pusat hanya beroperasi untuk melayani penerbangan domestik.
Baca juga:
Seleksi Ketat
Pada hari-hari terakhir di Indonesia sebelum berangkat ke AS, kembali teringat proses seleksi siswa Sekbang. Kurang lebih sekitar Februari atau Maret 1977 ada kabar gembira dari Angkatan Udara AS/United States Air Force; tersedia kuota untuk tiga orang penerbang dari AU Indonesia untuk mengikuti Sekbang di AS.
Kabar baik di atas direspons sangat antusias oleh para siswa sekbang Angkatan ‘23 yang tengah menempuh pendidikan di Yogyakarta. Sebanyak 30 siswa mendaftar untuk mengikuti seleksi. Namun hanya tiga dari 30 orang yang dinyatakan lolos seleksi; pertama adalah Letda Administrasi (Adm) Surya Dharma–beliau satu angkatan dengan saya di AAU. Tes kemampuan bahasa Inggrisnya atau American English Comprehension Level (AECL) menunjukkan hasil yang sangat baik. Perwira kedua yang dinyatakan lolos seleksi juga satu letting dengan saya dan Letda Surya Dharma yaitu Letda Ganjar Wiranegara, dan ketiga adalah saya. Namun berbeda dengan Surya Dharma, Ganjar dan saya harus kembali belajar bahasa Inggris dengan intensif karena skor AECL yang kami peroleh masih jauh di bawah angka minimum yang ditetapkan yaitu 60.
Tetapi kami berdua bernasib baik. Markas Besar (Mabes) TNI-AU memberi kesempatan pada kami berdua untuk belajar Bahasa Inggris agar dapat mencapai nilai yang ditargetkan yaitu di atas 60. Kami berdua bekerja keras untuk meningkatkan nilai agar dapat berangkat ke AS. Pada pagi hari kami berdua berlatih terbang, usai latihan, kami berdua belajar bahasa Inggris di Laboratorium TNI-AU yang juga terletak di Kompleks Sekbang.
Setelah berlatih dan akhirnya berhasil terbang solo dengan pesawat T-34 Alfa serta belajar bahasa Inggris secara intensif di Lab TNI-AU akhirnya tiba juga pada tenggat waktu (deadline) yaitu April atau Mei 1977, saya agak lupa – Indonesia harus mengirimkan tiga orang penerbang yang lolos seleksi untuk memenuhi slot yang diberikan oleh AS, sehingga sebelum deadline, hasil dari seleksi harus diperlihatkan dan tentu saja harus mencapai atau melampaui target yang ditetapkan.
Namun hasilnya masih kurang memuaskan, meski tidak terlalu mengecewakan. Nilai tes AECL saya hanya 58, kurang dua point dari skor minimum. Tetapi sekali lagi nasib baik masih memihak. Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Indonesia yang berada di Jakarta, berdasarkan pertimbangan yang diajukan oleh Mabes AU akhirnya memberikan toleransi. Dua orang siswa penerbang yang nilai skor bahasa Inggrisnya di atas 55 bisa diterima dan akhirnya diberangkatkan ke Sekolah Penerbang Angkatan Udara AS.
Baca juga:
Terbang ke AS
Meskipun telah dilantik sebagai seorang perwira AU, saya belum pernah terbang naik pesawat sipil yang dikelola oleh maskapai penerbangan/airline. Tak hanya itu, perjalanan udara ke AS adalah penerbangan yang pertama kalinya ke luar negeri. Namun karena keputusan telah diambil dan proses seleksi yang dilalui hingga dinyatakan lulus juga tidak mudah, saya akhirnya memberanikan diri take off dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Pesawat airline yang pertama kali saya naiki adalah Garuda Indonesia dengan tujuan Hongkong untuk transit, baru kemudian melanjutkan penerbangan ke Seattle, AS. Karena belum pernah naik pesawat sipil, dan tidak ada yang menemani menempuh perjalanan pertama naik pesawat sipil sekaligus terbang ke luar negeri untuk pertama kalinya, sejak pertama kali check-in di Halim, saya selalu melihat sekaligus memperhatikan penumpang lain dengan teliti jika ingin melakukan sesuatu seperti boarding dan menyerahkan koper kepada petugas airline untuk dimasukkan ke bagasi.
Ketika berada di dalam kabin pesawat, pada saat kru kabin menawarkan makan kepada penumpang, saya bertanya-tanya bagaimana harus membayarnya. Uang yang ada di dompet hanya dolar AS, tidak ada mata uang rupiah sama sekali, sementara saya naik maskapai Garuda Indonesia. Saya tidak mengetahui jika makan yang diberikan di pesawat itu gratis karena merupakan salah satu service yang disediakan oleh airline. Akhirnya karena ketidaktahuan, saya memutuskan untuk tidak memesan makanan yang ditawarkan dalam penerbangan Jakarta-Hongkong yang memakan waktu kurang lebih lima jam.
Setelah mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Hong Kong, sebelum pindah pesawat, harus bermalam terlebih dahulu karena pesawat yang akan terbang ke AS baru tersedia esok hari. Pihak maskapai memang memberikan voucher hotel untuk menginap, namun persoalan setelah berhasil menahan lapar di pesawat dalam penerbangan dari Jakarta ke Hongkong kembali muncul. Perjalanan dari bandara ke Hotel ternyata tidak semudah yang diduga. Permasalahan datang lagi-lagi karena uang yang ada di saku hanya dolar AS. Sementara transaksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan mata uang dolar Hongkong, termasuk ketika harus naik bus dari bandara ke hotel.
Cerita selanjutnya tentang bagaimana akhirnya berhasil tiba di hotel setelah melalui hiruk-pikuk Hongkong yang masih sangat ramai di malam hari, hingga pertolongan yang diberikan seorang pramugari, akan saya kemukakan dalam artikel berikutnya yang berjudul “Semalam di Hongkong”.{}