Tentu saja hati saya sangat gembira setelah dinyatakan lulus sekolah Bahasa Inggris di Lackland Air Force Base (AFB), San Antonio, Texas, yang memang diperuntukkan bagi para perwira calon kadet Sekbang.
Sekolah Bahasa Inggris adalah tahap pertama yang harus dilalui para perwira terutama yang berasal dari Negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO)/Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Selain anggota NATO, sekolah juga didirikan untuk para perwira yang berasal dari negara Non NATO namun memiliki hubungan baik dengan AS. Salah satunya adalah saya yang berasal dari Indonesia. Setelah menerima surat perintah dari USAF, saya diinstruksikan untuk pindah dan mulai memasuki Sekbang sebagai seorang kadet.
Sekbang yang akan menjadi tempat belajar ilmu aviasi sekaligus menerbangkan pesawat terletak di Sheppard AFB, bagian utara Texas, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Wichita Falls di perbatasan Texas-Oklahoma. Sebelum menempuh perjalanan panjang, sejak malam saya sudah mempersiapkan diri dengan beristirahat dan tidur yang cukup.
Di Sheppard AFB, saya akan memasuki fase terpenting yang sangat menentukan perjalanan hidup pada tahap selanjutnya; menjadi siswa Sekbang dan memilih karier sebagai seorang penerbang yang memang menjadi cita-cita saya sejak menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Kudus, Jawa Tengah. Koper Echolac berukuran 31 inch yang menemani dengan setia sejak pertama kali naik pesawat terbang dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur sudah penuh terisi dengan barang-barang yang dibutuhkan di Sekbang seperti Pakaian Dinas Lapangan (PDL), Pakaian Dinas Harian (PDH) hingga Pakaian Dinas Upacara (PDU).
Sementara barang-barang lain yang kira-kira tidak akan dibutuhkan selama di perjalanan, saya masukkan ke dalam bagasi/trunk, sehingga di dalam mobil tidak ada barang yang berceceran. Persiapan harus dilakukan sebaik mungkin karena jarak yang akan ditempuh cukup jauh, kurang lebih 600 kilometer (Km).
Sebelum terlelap, saya kembali mengingat kota-kota yang pernah disinggahi selama hidup, mulai dari Bogor di Jawa Barat yang merupakan kota kelahiran, Kudus di Jawa Tengah (Jateng), Magelang yang juga berada Jateng di ketika diterima masuk di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) hingga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ketika belajar di Akademi Angkatan Udara (AAU), yang ketika saya masih menjadi taruna hingga dinyatakan lulus pada 1976 masih disebut dengan Akabri Udara.
Ketika bangun di pagi hari, koper Echolac cokelat langsung saya masukkan ke dalam bagasi Pontiac yang juga berwarna cokelat. Bersama sahabat setia yang setia menemani sejak dari Jakarta yaitu koper, saya akan menempuh perjalanan bersama kawan baru yaitu mobil Pontiac buatan tahun 1970 menuju ke sebuah tempat yang akan sangat menentukan masa depan saya. Oh ya, pada 4 Februari 1978, saya baru saja kurang dari sebulan genap berusia 23 tahun.
Sangat disayangkan, ketika bangun pagi, cuaca tidak secerah yang diprediksi. Di luar hujan gerimis. Jadi mau tidak mau, Pontiac, mobil pertama kebanggaan yang saya beli di AS tidak dapat dipacu dengan kecepatan tinggi. Sambil berjalan perlahan dengan kecepatan minimum/slow speed, lagu-lagu yang diputar di radio menemani perjalanan.
Namun karena fokus menyetir sambil mendengarkan lagu-lagu yang diputar di radio, saya sama sekali saya tidak mendengarkan berita tentang potensi terjadinya badai petir/thunderstorm bahkan badai salju/snowstorm di bagian utara. Memang lebih baik berita itu tidak saya dengar karena jika mengetahui tentang kabar itu, kemungkinan besar perjalanan terpenting dalam hidup bisa tertunda. Padahal keesokan harinya pada 5 Februari 1978, saya harus tiba dan melapor untuk pertama kalinya sebagai kadet sebelum memasuki Sheppard AFB.

Setelah segala sesuatunya siap, perjalanan dimulai kurang lebih pada pukul 06.00 pagi. Sebelum menempuh perjalanan darat, tentu saja saya menyempatkan diri berhenti sejenak di toko kelontong/grocery store untuk membeli makanan kecil seperti roti hingga snack dan minuman untuk bekal di jalan. Semua makanan dan minuman saya taruh di jok depan agar lebih mudah diraih sambil menyetir. Sambil tersenyum saya membayangkan seperti apa proses adaptasi yang harus dilakukan ketika kembali ke Indonesia. Saya belajar mengemudikan mobil dengan setir di sebelah kiri, sementara di tanah air, setir mobil berada di sisi kanan.
Di malam hari sebelum berangkat, saya sudah mempelajari peta yang saya beli beberapa hari lalu. Saya mempelajari sekaligus menghafalkan rute yang akan ditempuh pada perjalanan darat/road trip pertama. Jalan utama/highway yang harus dilalui juga sudah saya haal di luar kepala. Maklum, pada waktu itu belum ada google maps seperti sekarang, jadi segala sesuatu termasuk menghapal jalan harus dilakukan dengan mengandalkan ingatan di kepala.
Sampai hari ini saya masih mengingat dengan baik jika highway yang terletak di bagian utara dan selatan AS itu akan keluar di nomor ganjil. Seingat saya di highway yang berfungsi sebagai jalan utama yang menghubungkan kota-kota kecil antar negara bagian, saya keluar di nomor lima atau 15. Tentu saja ingatan akan menjadi lebih akurat kalau kembali melihat peta.
Selama perjalanan, sambil mengemudi ditemani lagu-lagu indah yang menemani masa muda, saya terus memantau highway yang dilalui agar tidak tersesat ke kota atau bahkan negara bagian lain. Sistem penomoran jalan raya interstate dari utara ke selatan maupun dari selatan utara selalu bernomor ganjil. Baik satu maupun dua digit. Sedangkan jalan raya interstate dari timur ke barat atau sebaliknya dari barat ke timur pasti bernomor genap. Jalan yang lebih kecil biasanya menghubungkan dari kota ke kota dalam negara bagian diberi nomor sebanyak tiga digit dan menjadi tanggung jawab negara bagian terkait untuk mengelolanya.
Banyak sekali cerita yang ingin saya bagikan, mulai dari wiper mobil yang rusak akibat percikan salju tipis yang turun bersama hujan gerimis, pertama kali melihat salju di gurun yang tertutup es hingga akhirnya berhasil tiba dengan selamat di Sheppard AFB. Dalam waktu dekat, itu semua akan saya ceritakan pada artikel berikutnya.{}