Ilustrasi Soto Kudus. (Foto: Qraved..com)
Semangkuk Soto Kudus di Kota Bogor

Date

Semangkuk soto kudus yang saya santap di Bogor mengingatkan pada kenangan atas dua kota tersebut.

Pada akhir pekan lalu, kebetulan saya berkunjung ke Kota Bogor, Jawa Barat. Menjelang jam makan siang, entah mengapa, tiba-tiba ingin sekali menyantap soto kudus. Mungkin karena saat itu saya melihat sebuah warung soto kudus ketika keluar dari Jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi), dalam perjalanan dari rumah di Jakarta Timur menuju Ciawi. 

Setelah tiba di warung, saya memesan semangkuk soto dengan nasi terpisah. Beragam lauk pauk dihidangkan di meja, seperti perkedel kentang, tahu dan tempe baik yang digoreng maupun dibacem, berbagai macam sate mulai dari telur puyuh, usus, hingga ampela, serta tak ketinggalan kerupuk udang dan emping. Selain itu, irisan jeruk nipis, kecap manis dan sambal yang disajikan sebagai pelengkap  semakin menambah selera santap siang. 

Semangkuk soto kudus yang saya santap di Bogor itu mengingatkan pada kenangan atas dua kota tersebut. Bogor adalah kota kelahiran saya. Ibu melahirkan saya di Kota Hujan pada 5 Januari 1955. Ayah adalah anggota Corps Polisi Militer (CPM) Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD). Kemungkinan besar pada saat kami sekeluarga tinggal di kota yang terletak di sebelah selatan ibu kota Jakarta itu, ayah bertugas sebagai pasukan pengamanan di Istana Kepresidenan yang terletak di Bogor. 

Meski sampai kini saya tidak dapat memastikan penugasan ayah di masa itu, yang jelas saya hanya numpang lahir di kota yang juga dijuluki sebagai kota petir. Julukan yang diberikan karena dalam satu hari sambaran petir bisa mencapai 322 kali. Hal itu menjadikan Bogor tercatat dalam Guinness Book of World Record, karena normalnya sambaran petir hanya terjadi 80 kali dalam sehari. 

Saya adalah anak kedua dari tujuh bersaudara yang terdiri dari tiga laki-laki dan empat perempuan. Jika saya numpang lahir di Bogor, kakak saya, seorang perempuan yang menjadi anak sulung di keluarga kami juga numpang lahir, namun di Jakarta. Begitu juga dengan adik saya yang merupakan anak ketiga juga lahir di Jakarta. Usia saya dengan kakak kurang lebih hanya berbeda dua tahun. Kurang lebih 1,5 tahun setelah kelahiran adik, orang tua saya kembali dianugerahi seorang anak  perempuan. Ketika berlanjut dengan anak kelima, keenam hingga yang bungsu atau ketujuh, kurang lebih selisih waktu kelahirannya hanya berbeda 1,5 tahun. 

Sampai saat ini saya masih bingung sekaligus mengagumi kedua orang tua. Betapa hebatnya mereka berdua mengurus tujuh orang anak dengan usia yang tidak terlalu jauh berbeda atau hanya terpaut 1,5 tahun. Saya masih mengingat sekilas meskipun samar-samar betapa ramainya rumah keluarga ketika kami semua berkumpul. Kakak saya sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu, sementara adik-adik saya sebagian besar memilih untuk tinggal di Yogyakarta. Hanya tinggal saya sendiri yang memutuskan untuk tinggal di Jakarta setelah berdinas selama kurang lebih 37 tahun sejak 1976 hingga 2013 di Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).

Ketika baru berumur lima tahun, kurang lebih pada awal tahun 1960-an, kami sekeluarga pindah ke Ambarawa, Jawa Tengah (Jateng). Setelah dari Ambarawa, karena penugasan ayah yang seringkali berpindah kota, kami sekeluarga pindah ke Blora yang masih terletak di Jateng. Dari Blora, kami pindah ke Kudus, sebuah kota di Jateng yang terkenal dengan banyak hal. Mulai dari pabrik kretek hingga Menara kudus yang monumental sampai wisata kuliner. Di kota yang juga terkenal dengan masakan khas berupa soto hingga sate dan nasi pindang itulah saya menempuh pendidikan hingga lulus SMA pada 1973.

Saya bersama teman-teman saat mengikuti kegiatan Pramuka saat sekolah. (Foto: Dok. Pribadi)

Masa sekolah di Kudus 

Saya mulai bersekolah di Kudus pada pengujung pendidikan dasar. Ketika kelas enam, saya mulai memasuki sebuah Sekolah Dasar (SD) Katolik. Pada tahun berikutnya, ketika lulus SD dan menjadi murid Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya bersekolah di SMP Negeri 1 Kudus. Setelah lulus SMP, saya melanjutkan ke SMA Negeri yang kini bernama SMA Negeri 1 Kudus. Namun pada saat masih bersekolah disana, itulah satu-satunya SMA negeri di kota tempat kami tinggal, sehingga cukup disebut SMA Negeri Kudus saja.

Oh ya, letak sekolah tempat saya belajar sejak SD, SMP hingga SMA itu berdempetan. Itu yang menyebabkan saya hafal sekali rute yang harus dilewati dari rumah ke sekolah, termasuk warung-warung apa saja yang menjajakan makanan enak di sepanjang jalan. Tentang makanan sekaligus wisata kuliner di Kudus akan saya ceritakan dalam artikel tersendiri. Tentunya perlu koordinasi untuk menggali informasi terlebih dahulu dengan teman-teman dari Forum Komunikasi Masyarakat Kudus. 

Pengalaman sekolah sejak SD, SMP, hingga SMA di Kudus terasa biasa saja, tanpa kesan mendalam yang berarti. Ketika bersekolah, saya adalah murid yang tidak terlalu mengejar prestasi. Saya merasa potensi akademis saya tidak terlalu baik. Beruntung sekali sebagai murid yang rata-rata, masih bisa mengikuti berbagai pelajaran yang diberikan oleh para guru.

Tapi sebagai siswa yang memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), saya masih ingat benar mata pelajaran yang rata-rata hasilnya lumayan pada waktu itu, yaitu Ilmu Ukur Ruang. Mungkin sekarang nama pelajarannya adalah Geometri, yang masuk ke dalam mata pelajaran Matematika. Mata pelajaran itu saja yang mudah saya pahami sehingga saya tidak perlu belajar terlalu keras untuk memahaminya. 

Di luar urusan pelajaran sekolah, ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya dan sejumlah teman. Ketertarikan kami waktu itu bukan kepada salah satu atau mata pelajaran tertentu. Kami justru tertarik untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di luar sekolah yaitu Praja Muda Karana (Pramuka). Sejak SMP saya sudah terlibat aktif dalam kegiatan pramuka. Ajakan dari seorang senior menjadikan saya aktif sebagai Pramuka Siaga. 

Setelah mengikuti level Siaga, meski hanya sebentar, saya melanjutkannya ke tingkat Penggalang. Sejak masih menjadi siswa SMP hingga kelas dua SMA, saya bersama dengan teman-teman, baik yang satu kelas, satu sekolah maupun berbeda sekolah selalu rajin dan bersemangat untuk mengikuti latihan pramuka yang digelar sekali dalam sepekan. 

Namun ketika naik dari kelas dua ke kelas tiga mendekati waktu ujian nasional, kami semua harus berkonsentrasi penuh untuk menghadapinya sehingga harus non aktif untuk sementara waktu dari kegiatan yang sangat menarik dan sangat kami sukai pada waktu itu. 

Kenangan tersebut mendadak terputus ketika semangkuk soto kudus yang dihidangkan dengan nasi terpisah itu sudah habis saya santap.   

Semoga suatu saat, jika diberi kesempatan, saya ingin juga menyantap semangkuk Soto Bogor di Kota Kudus. {}

Foto Ilustrasi Soto Kudus. (Sumber: Qraved..com)

Share this

Baca
Artikel Lainnya