*Bagian Kedua dari Tiga Artikel
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia (RI), Andi Widjajanto, mengemukakan tiga hal yang bisa dijadikan patokan untuk memproyeksikan industri pertahanan (Inhan) Indonesia hingga sepuluh tahun ke depan.
Ketiga hal tersebut dikemukakan Andi ketika menjadi pembicara utama (Keynote Speaker) pada Seminar bertajuk “Klasterisasi Industri Pertahanan untuk Tingkatkan Daya Saing di Kancah Global”, yang digelar di Studio Jawa Pos Multimedia (JPM) TV, Graha Pena, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Februari 2023.
Pada seminar yang difasilitasi oleh Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) tersebut, sebelum memberikan pemaparan, Andi mengemukakan tiga pertanyaan.
Pertama, Perang apakah seperti apa yang akan dihadapi oleh Indonesia di tahun 2030? Kedua, dengan mengacu ke pertanyaan pertama, turunannya adalah membayangkan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) seperti apa yang akan digunakan pada perang di 2030. Terakhir atau yang ketiga adalah Inhan seperti apa yang harus dikembangkan mulai dari sekarang untuk bersiap menggelar Alutsista yang relevan di tahun 2030?
Di seminar yang digelar bersamaan dengan Peluncuran Majalah Inhan Edisi Perdana, Andi mengemukakan patokan pertama untuk memproyeksikan Inhan Indonesia hingga sepuluh tahun ke depan adalah pertarungan geopolitik global antar negara-negara utama di dunia. Pembahasan tentang patokan pertama telah diuraikan dalam artikel sebelumnya.
Baca juga: Perang di Masa Depan, Alutsista, dan Industri Pertahanan Indonesia
Artikel kali ini akan membahas tentang patokan kedua untuk memproyeksikan industri pertahanan (Inhan) Indonesia hingga sepuluh tahun ke depan yaitu inovasi-inovasi teknologi terkini.
Pergeseran Signifikan
Menurut Andi, teknologi-teknologi terkini selain berinovasi dalam bentuk alutsista, juga dalam sistem atau kebijakan. Termasuk dalam bentuk kebijakan doktrin pertahanan militernya. Misalnya di akhir-akhir ini, telah ditemukan terminologi baru seperti grey zone. Tak hanya terminologi, juga telah ditemukan teknologi baru seperti hybrid warfare dan multi domain operation.
Teknologi-teknologi tersebut, menurut Andi, menunjukkan sedang ada pergeseran yang cukup signifikan dari teknologi militer.
Teknologi-teknologi yang muncul untuk mengikuti hybrid warfare, grey zone ataupun multi domain operation cenderung teknologi yang canggih. Mulai dari teknologi senjata hipersonik atau yang mengandalkan siber, bahkan semakin ruwet ketika sudah mengandalkan nanotechnology yang nantinya betul-betul akan bersifat multi domain, karena mengandalkan teknologi siber, nano dan juga space.
Paduan-paduan teknologi ini yang kemungkinan akan mewarnai perang dalam waktu sepuluh tahun ke depan.
Andi menceritakan jika pada pekan, dia baru kembali dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang bertajuk: “Artificial Intelligence in Military Domain”. KTT tersebut merupakan konferensi tingkat global pertama yang mempelajari dan mengkaji penggunaan AI di ranah militer yang dihadiri oleh lebih dari 51 negara.
Di KTT tersebut, tuan rumah yaitu Belanda dan Korea Selatan (Korsel) berusaha membawa para peserta konferensi ke tahun 2027. Bahkan pada saat hadir di ruang-ruang KTT, tanggalnya tertera 14 dan 15 Februari 2027. Belanda dan Korsel berusaha membawa para delegasi melompat lima tahun ke depan dengan bayangan-bayangan bahkan simulasi perang yang mungkin terjadi di masa depan.
Pada simulasi yang dilakukan selama dua hari, yaitu di Zubikan, akan ada dua aliansi utama di Eropa yang tentunya fiktif. Pertama adalah aliansi oranye dan aliansi ungu yang sama-sama harus berhadapan untuk bergerak masuk ke zona atau wilayah abu-abu yang tidak bertuan namun di dalamnya ada kelompok Non Government Organization (NGO) yang berusaha untuk mengendalikan wilayah tersebut dengan pasukan drone yang 100 persen dikendalikan dengan AI lewat satelit low orbit yang bisa bergerak dinamis.
Dari simulasi yang digelar pada KTT AI di Belanda pada pekan lalu, Andi mengemukakan kemudian harus menawarkan satu pernyataan politik tentang kesiapan Indonesia untuk menghadapi perubahan-perubahan teknologi di bidang AI yang mungkin digunakan di bidang atau ranah militer. KTT itu menurutnya menunjukkan lompatan yang sudah sangat jauh. Bahkan negara seperti Rwanda yang hadir di konvensi tersebut sudah menunjukkan kesiapannya untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang ada ketika nanti AI betul-betul dapat dioperasikan untuk ranah militer.
Perkembangan-perkembangan teknologi seperti yang telah dikemukakan dengan panjang lebar menurut Andi harus diantisipasi. Sehingga kemungkinan akan ada beberapa Alutsista yang masih digunakan pada tahun-tahun ini, dalam lima atau sepuluh tahun ke depan akan menjadi usang (obsolete) karena sudah digantikan dengan beberapa teknologi. Terutama teknologi yang tidak lagi mengandalkan pengawakan-pengawakan manusia. Baik berupa pesawat, kapal maupun juga teknologi-teknologi penginderaan tertentu. Sebelum mengakhiri pemaparannya tentang patokan kedua, Andi kembali mengingatkan semua pihak harus mengamati dalam upaya memahami perkembangan Inhan ke depan.
Peringatan bagi Indonesia
Pemaparan yang dikemukakan Gubernur Lemhanas sudah selayaknya menjadi perhatian sekaligus peringatan (alarm) bagi Indonesia. Terutama bagi mereka yang saat ini diberi amanah untuk menyusun kebijakan pertahanan-keamanan negara.
Berbagai kajian hingga analisis harus dilakukan secara intensif mengingat perkembangan teknologi juga berlangsung secara terus-menerus tanpa henti. Jangan sampai keputusan-keputusan yang kurang tepat justru dirumuskan oleh para pengambil kebijakan.
Sebagai tangki pemikir (think thank), Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) akan selalu terbuka untuk memberikan masukan bagi institusi terkait sebelum merumuskan berbagai kebijakan, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.
Sekali lagi, kebijakan pertahanan dan keamanan negara harus disusun dengan penuh kehati-hatian di satu sisi. Namun di sisi lain, kemajuan teknologi yang terjadi tanpa henti juga harus diperhitungkan.
Berbagai kemajuan signifikan yang terjadi pada level global seperti yang telah dikemukakan oleh Gubernur Lemhanas harus dijadikan pertimbangan.
Jangan sampai sebuah negara besar Indonesia justru menjadi “katak di dalam tempurung” yang tidak mengikuti dinamika global yang sedang menjadi tren di dunia.
Sebagai anak bangsa yang sangat peduli dengan masa depan negara tercinta, tentu tidak ada yang menginginkan Indonesia ketinggalan dengan Rwanda.
Ya, Rwanda. Sebuah negara kecil di Afrika Tengah yang sudah menunjukkan kesiapannya untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang mungkin terjadi ketika nanti AI benar-benar dapat dioperasikan untuk ranah militer pada perang yang dapat terjadi sewaktu-waktu di masa depan. {}
Foto: Strategyinternational.org