*Bagian Pertama dari Tiga Artikel
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia (RI), Andi Widjajanto, mengemukakan tiga hal yang bisa dijadikan patokan untuk memproyeksikan industri pertahanan (Inhan) Indonesia hingga sepuluh tahun ke depan.
Ketiga hal tersebut dikemukakan Andi ketika menjadi pembicara utama (Keynote Speaker) pada Seminar bertajuk “Klasterisasi Industri Pertahanan untuk Tingkatkan Daya Saing di Kancah Global”, yang digelar di Studio Jawa Pos Multimedia (JPM) TV, Graha Pena, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Februari 2023.
Pada seminar yang difasilitasi oleh Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) tersebut, sebelum memberikan pemaparan, Andi mengemukakan tiga pertanyaan.
Pertama, Perang apakah seperti apa yang akan dihadapi oleh Indonesia di tahun 2030? Kedua, dengan mengacu ke pertanyaan pertama, turunannya adalah membayangkan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) seperti apa yang akan digunakan pada perang di 2030. Terakhir atau yang ketiga adalah Inhan seperti apa yang harus dikembangkan mulai dari sekarang untuk bersiap menggelar Alutsista yang relevan di tahun 2030?
Di seminar yang digelar bersamaan dengan Peluncuran Majalah Inhan Edisi Perdana, Andi mengemukakan patokan pertama untuk memproyeksikan Inhan Indonesia hingga sepuluh tahun ke depan adalah pertarungan geopolitik global antar negara-negara utama di dunia.
Pada hari ini, menurutnya publik sudah bisa melihat bahwa dunia yang unipolar yang betul-betul secara ekonomi, politik dan militer dikendalikan oleh Blok Amerika Serikat (AS).
Namun Andi mengatakan era itu sudah hampir berakhir menuju ke dunia baru yang kemungkinan besar akan lebih bersifat multipolar. Data-data yang ada menurutnya telah menunjukkan sudah terlihat transisi, misalnya dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB) dari AS ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Selain PDB, juga sudah ada transisi peningkatan anggaran militer dari AS ke RRT.
AS, menurut Andi, memang masih tetap menjadi negara dengan pengeluaran belanja militer terbesar di dunia. Namun belanja militer AS itu harus dibagi menjadi mandala-mandala militer. Mulai dari yang ada di Eropa, Timur Tengah maupun Indo Pasifik. Sementara Anggaran militer RRT pada hari ini, mungkin hanya mencapai 30 hingga 40 persen dari anggaran belanja militer AS. Namun RRT hanya fokus ke satu mandala yaitu mandala Asia Timur, Mandala Asia Tenggara yang mungkin meluas sedikit mengarah ke Mandala Pasifik, hingga mencapai titik pertahanan AS di Guam.
Indikator-indikator lain, kata Andi, juga bisa dibaca, misalnya adalah dari kepemilikan satelit militer, penguasaan teknologi nano, dan penguasaan teknologi hipersonik hingga yang terbaru pengembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelligence). Keempat indikator tersebut semuanya menunjukkan sudah mulai terjadi transisi ekonomi, politik, dan militer dunia dari AS ke RRT.
Dalam presentasinya yang disampaikan secara hybrid karena sedang berada di luar negeri, Andi juga mengingatkan biasanya terjadi dalam sejarah, transisi hegemoni selalu diawali dan kemudian diikuti dengan satu pertarungan besar yang bisa mengarah ke perang regional bahkan perang global seperti yang terjadi pada Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Menurutnya dari 17 kali transisi hegemoni yang pernah terjadi di dunia sejak tahun 0 masehi sampai hari ini, 16 kali transisi hegemoni selalu diawali dan diikuti dengan perang besar. Hanya satu yang tidak terjadi perang besar yaitu pada saat Uni Soviet runtuh digantikan oleh unipolar AS antara tahun 1989-1991. Jika sejarah berulang maka transisi hegemoni yang ada sekarang akan berpotensi memunculkan satu perang besar yang melibatkan AS dengan RRT.
Sebelum mengakhiri pemaparan tentang tren pertama yang telah dijelaskan dengan panjang lebar di atas, Andi mengemukakan jika dinamika yang terjadi harus diperhatikan. Perhatian harus diberikan untuk melihat arah industri pertahanan dan pengembangan alutsista ke depan yang akan betul-betul diwarnai oleh pertarungan pengembangan inovasi teknologi antara AS dan RRT.
Posisi Indonesia
Di tengah pertarungan dua raksasa dunia yaitu AS dan RRT seperti yang telah dikemukakan dengan sangat baik oleh Gubernur Lemhanas, Indonesia sebagai sebuah negara terbesar di Asia Tenggara harus memposisikan diri dengan sangat berhati-hati.
Kepentingan nasional Indonesia harus menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan strategi untuk menempatkan diri di tengah pertarungan di ranah politik, ekonomi hingga militer. Pertarungan yang terjadi seiring dan sejalan dengan perkembangan teknologi yang terjadi secara terus menerus tanpa henti, baik di AS maupun RRT.
Sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah yang luas dan letak yang strategis, Indonesia harus segera mempersiapkan diri di berbagai bidang untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari kompetisi yang terjadi antara AS dengan RRT.
Namun ada sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Sesuai dengan prinsip politik luar negeri “bebas aktif”, Indonesia di satu sisi dapat mempererat hubungan bilateral dengan AS. Sementara di sisi lain, juga perlu mendekatkan diri secara bilateral dengan RRT. Begitulah seharusnya strategi politik luar negeri Indonesia diterapkan di tengah persaingan dua negara di bidang politik, ekonomi hingga militer yang melibatkan teknologi tinggi.
Di masa lalu, Presiden Pertama RI, Bung Karno pernah membangun Gerakan Non Blok (GNB) sebagai sebuah blok independen yang tidak terlibat atau berusaha menjauhkan diri dari pertarungan yang terjadi pada era perang dingin. Seperti diketahui, setelah Perang Dunia Kedua berakhir, terjadi pertarungan antara Blok Barat yang dimotori oleh AS dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization (NATO) berhadapan dengan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dengan Pakta Warsawa. Di tengah konflik berkepanjangan yang terjadi selama lebih dari lima dekade, Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno memainkan peran yang sangat disegani secara internasional. Sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka, Indonesia tampil dengan penuh percaya diri sebagai pemimpin negara-negara yang baru saja membebaskan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa.
Satu hal yang perlu dipelajari agar tidak terjebak dalam romantisme masa lalu adalah kemampuan Indonesia membangun posisi tawar (bargaining position) baik secara bilateral, trilateral maupun multilateral. Jika membahas tentang posisi tawar, maka elaborasi yang dilakukan tidak akan pernah berakhir. Karena bargaining position sebuah negara-bangsa (nation-state) harus terus menerus diperkuat dan pembangunan kekuatan harus terus menerus dilakukan secara terus menerus tanpa henti.
Seluruh potensi yang dimiliki oleh Indonesia harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Mulai dari potensi sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Konsolidasi harus dilakukan di semua lini, selain itu juga dibutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat sekaligus visioner.
Dengan mempertimbangan dua patokan lain yang juga disampaikan oleh Gubernur Lemhanas terkait dengan persiapan Alutsista dan masa depan industri pertahanan di Indonesia, maka tulisan singkat ini sepertinya harus diakhiri di sini. Dua patokan yang lain akan dianalisis pada dua artikel berikutnya.
Sebelum mengakhiri, perlu kembali diingatkan jika Pemerintah Indonesia pada era perang dingin, berkat kelihaian berdiplomasi para pemimpin nasional, dicatat oleh sejarah pernah memiliki Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI)-AU yang terkuat di belahan bumi selatan. Angkatan Udara yang memiliki pesawat angkut berat tercanggih pada masanya seperti Hercules buatan AS dan jet-jet tempur mutakhir yaitu MiG buatan Uni Soviet yang sangat ditakuti dalam pertarungan di udara.
Jadi setelah sejenak mempelajari sejarah, sepertinya tidak perlu lagi dijelaskan dengan panjang lebar apa yang harus dilakukan Indonesia di tengah pertarungan dua raksasa yang berada di belahan barat dan bagian timur dunia. {}
Foto: Tangkapan layar Press TV