Pengibaran Sang Saka Marah Putih di Benua Antartika. Foto: Koleksi pribadi
Penjelajahan di Kutub Selatan

Date

Bersama para penumpang lainnya, saya diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki dan mulai menjelajahi benua terakhir yang ditemukan umat manusia di muka bumi.  

Pemandangan Santiago de Chile, Ibu Kota Chili, dari jendela pesawat terhalang kabut tipis, Minggu, 26 Oktober 2025. Puncak pegunungan Andes di sisi timur kota terbesar di Chili itu mulai terlihat meskipun samar-samar ketika pesawat lepas landas/take off dari Bandar Udara Internasional Arturo Merino Benitez.

Dari salah satu kota terpadat di kawasan Amerika Latin itu, pesawat akan terbang selama kurang lebih empat jam menuju ke Puerto Williams. Menghadap ke Selat Beagle, Puerto Williams adalah sebuah kota pelabuhan yang juga memiliki pangkalan angkatan laut. Kota yang terletak di Pulau Navarino, Chili, itu merupakan kota yang berada di ujung selatan di belahan bumi bagian selatan.

Ketika roda pesawat menyentuh landasan Bandara Guardiamarina Zanartu, Puerto Williams; para penumpang yang diakomodir oleh Perusahaan Pelayaran Silversea Expedition, langsung menuju titik keberangkatan/embarkasi; dan selanjutnya berlayar ke selatan. Sebanyak 198 penumpang yang berasal dari 23 negara, yang terdiri dari 106 wanita dan 92 pria beserta 240 kru yang dipimpin Kapten Ulf Pieter Hansen Lindstroem berlayar menuju Antartika.

Kepemimpinan dan profesionalitas Kapten Ulf benar-benar diuji ketika kapal pesiar melewati Drake Passage yang arusnya sangat deras. Selat Drake atau Drake Passage terkenal dengan arus lautnya yang ekstrem, suhu yang beku, dan tiupan angin yang kencang, beserta ombak yang sangat diwaspadai oleh para pelaut. Tingginya bisa mencapai lebih dari 20 meter.

Di kalangan kapten kapal, Drake Passage, yang membentang di antara Tanjung Horn, Amerika Selatan dan Kepulauan Shetland Selatan menjadi salah satu area pelayaran yang sangat menantang. Tak hanya itu, selat yang memiliki lebar kira-kira 800 kilometer dan panjang 1.000 kilometer tersebut menjadi salah satu tantangan untuk mengeksplorasi Antartika. Meskipun jalur lautnya relatif pendek, namun kondisi perairan yang ekstrem menyebabkan manusia baru berhasil mencapai daratan Antartika pada awal abad ke-19.

Kapal Silversea Expedition di Antartika.
Foto: Koleksi Pribadi.

Berlabuh di Halfmoon, Antartika

Setelah menempuh perjalanan sejauh 580 mil yang memakan waktu kurang lebih 38 jam, kapal yang kami tumpangi akhirnya berlabuh di Pulau Halfmoon, Benua Antartika pada Selasa, 28 Oktober. Bersama para penumpang lainnya, saya dan istri tercinta diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki dan mulai menjelajahi benua terakhir yang ditemukan umat manusia di muka bumi.  

Kesempatan berharga yang diberikan tentu tidak kami sia-siakan. Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 yang jatuh pada 28 Oktober 2025, saya mengibarkan Bendera Merah Putih. Sang Saka terbentang di tengah area yang seluruhnya tertutup salju. Ketika mengecek suhu udara/temperatur di jam tangan menunjukkan angka -2 derajat Celcius. Sementara angin gutsy yang berhembus keras, ternyata kecepatannya mencapai 25 Knots. Setelah beristirahat, keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Spert Island dan kemudian menuju ke Mikkelsen Harbour. Keajaiban koloni penguin dan anjing laut memanjakan pandangan mata para pengunjung pada Kamis, 30 Oktober.

Di Brown Station dan Damoy Point, pada hari yang sama, para peserta perjalanan memulai eksplorasi ke benua Antartika. Keajaiban seolah datang dan pergi begitu saja di atas lapisan es yang membeku. Setelah menyaksikan penguin dan anjing laut, dengan dibekali dua buah tongkat pendakian/trekking pole, saya dan istri berjalan beriringan menyusuri hamparan es yang putih membeku sejauh mata memandang. 

Sambil menggendong ransel di pundak, dengan tubuh berbalut jaket parka berwarna merah menyala untuk menahan dingin yang menusuk kulit, kami berjalan perlahan dengan langkah yang konsisten. Memulai berjalan dengan perlahan dan seiring berjalannya langkah menambah kecepatan sambil menikmati hamparan salju yang membentang di sekeliling. Perjalanan di hari yang sama diakhiri dengan mendaratnya kapal di Portal Point dan Wilhelmina Bay. Sebelum mengakhiri hari, di dalam hati, saya mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pencipta masih diberi kesempatan untuk mengagumi ciptaannya di usia yang telah memasuki kepala Tujuh bersama ibu dari ketiga anak-anak lelaki saya.

Bersama istri. Foto: Koleksi pribadi.

Keesokan harinya, Sabtu, 1 November, kapal kembali mendarat di Neko Harbour dan Orne Harbour. Para penumpang kembali turun di kedua pelabuhan dan diberi kesempatan untuk kembali melihat dari dekat binatang-binatang yang hidup di Antartika; mulai dari penguin dan anjing laut hingga paus bungkuk yang sesekali menampakkan diri di permukaan laut. Di langit, berbagai jenis burung juga terbang melayang seakan memberi ucapan selamat datang bagi para pengunjung. 

Penjelajahan diakhiri pada Minggu, 2 November. George’s Point dan Cuverville sepertinya menjadi tempat terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada benua yang selalu tertutup salju sepanjang waktu. Benua yang baru berhasil dieksplorasi oleh manusia pada 1820 tersebut memang sangat berat apabila dijadikan tempat untuk hidup. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak ada satu negara pun di muka bumi yang memiliki hak untuk menduduki Antartika. Segala jenis perjalanan ke benua terdingin di dunia tersebut harus dilakukan melalui Asosiasi Internasional Operator Tur Antartika/International Association of Antarctica Tour Operator (IAATO).

Asosiasi menetapkan standar operasional yang sangat selektif untuk melindungi keberlanjutan Antartika. Meski lebih dari 100 perusahaan tur terkemuka dari berbagai belahan dunia beroperasi di bawah naungan IAATO, perjalanan hingga penjelajahan/eksplorasi yang cermat dan bijaksana/prudent selalu diprioritaskan. Prosedur yang sangat ketat diberlakukan bagi para pelancong/traveller yang bertujuan mengeksplorasi. Itu semua dilakukan untuk menjaga keaslian dan mempertahankan habitat seperti fauna yang tumbuh dan berkembang dari penyakit atau potensi berbagai virus yang kemungkinan besar dibawa para pengunjung. Oleh sebab itu IATO memberlakukan aturan yang sangat ketat; hingga kini baru 214 ribu orang yang dapat menginjakkan kaki di Antartika. 

Eksplorasi Antartika.
Foto: Koleksi pribadi.

Itulah sebabnya pada saat saya diberi kesempatan menjejakkan kaki, benua seluas 13,66 juta kilometer persegi itu masih sangat terjaga kelestariannya. Daratan yang di wilayah pesisir suhunya rata-rata berkisar antara -10 derajat celcius hingga -30 derajat celcius di musim dingin, dan baru mendekati titik beku/0 derajat celcius pada musim panas itu, dikelilingi laut dan samudra. Daratan terdekatnya adalah Afrika Selatan, Amerika Selatan dan Australia.

Beberapa jenis flora dan fauna dapat hidup dan menjadi penghuni tetap di Antartika; mulai dari penguin dan anjing laut berbulu yang sempat saya dokumentasikan menggunakan kamera yang selalu dikalungkan di leher; paus, gajah laut selatan, burung fulmar selatan, burung laut, bintang laut bulu, hingga sisir jeli dan kepiting holf. Seluruh habitat flora maupun fauna sangat terjaga kelestariannya pada saat saya bersama 197 pengunjung dari 23 negara menginjakkan kaki di dataran yang seluruhnya terdiri dari lapisan salju yang beku dan memutih.

Mungkin keajaiban serta pesona di atas es itulah yang menyebabkan pada saat mengibarkan Sang Saka Merah Putih -yang saya bawa di dalam ransel sejak memulai perjalanan dari rumah di Jakarta- di pikiran saya terlintas; “Betapa indahnya eksplorasi tanpa eksploitasi. {}

Share this

Baca
Artikel Lainnya