Pepatah yang diutarakan oleh Lao Tzu dalam salah satu tulisannya itu sangat tepat untuk mewakili salah satu fase terpenting dalam perjalanan hidup saya yang kini telah berusia 69 tahun.
Setelah menempuh perjalanan panjang naik pesawat terbang dari Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma, Jakarta, transit semalam di Hongkong, saya akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Amerika Serikat (AS), tepatnya di Seattle. Dari Seattle, saya yang pada 1977 baru berumur 22 tahun, kembali naik pesawat untuk terbang ke Bandara San Antonio yang terletak di negara bagian Texas.
Di Bandara yang terletak tidak jauh dari Uptown Central San Antonio, kurang lebih berjarak 13 Kilometer (Km) di sebelah utara pusat kota, kondisinya sangat baik, terutama bagi yang baru pertama kali ke AS seperti saya. Tanpa perlu bertanya-tanya kesana kemari, dengan mudah saya menemukan perwakilan angkatan bersenjata AS, mulai dari Angkatan Darat/United States (US) Army, Angkatan Laut/US Navy hingga Angkatan Udara/US Air Force (USAF).
Dari Bandara San Antonio, setelah menunjukkan surat perintah dari Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada petugas dari Angkatan Udara AS/United States Air Force (USAF), akhirnya datang juga instruksi untuk naik bus ke Lackland Air Force Base (AFB). Selama menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, di dalam bus, saya merasa bahwa pada saat itulah titik balik yang terpenting dalam hidup, meminjam istilah William Shakespeare dalam salah satu naskah dramanya berjudul “The Tragedy of Hamlet, Prince of Denmark”; saya merasa sedang berada pada fase ”To be or not to be”.
Dalam pikiran, di satu sisi hanya ada satu hal yang harus dilakukan setelah mendarat dengan selamat di negeri Paman Sam yaitu meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris agar dapat masuk Sekolah Penerbang(Sekbang). Namun di sisi lain muncul ketakutan atau pikiran negatif/negative thinking kalau tidak berhasil menguasai kemampuan berbahasa Inggris dengan baik, maka tidak akan mungkin masuk Sekbang. Tentu saja jika gagal, pasti akan dipulangkan ke Indonesia. Jika dipulangkan, maka tidak akan bisa masuk Sekbang di Yogyakarta karena sudah ketinggalan pelajaran.
Pikiran negatif semakin menjadi-jadi ketika teringat pada perkataan teman-teman seangkatan di Akademi Angkatan Udara (AAU) lulusan 1976. Mereka pernah mengingatkan agar tidak mempertaruhkan nasib dengan mencoba masuk Sekbang di AS. Peringatan dini/early warning dari teman-teman seangkatan yang bagi saya pribadi menjadi seperti intimidasi bahkan teror berubah menjadi pemicu semangat yang begitu hebat ketika berhasil tiba dan mendarat dengan selamat di AS sesuai tujuan. Artinya tidak tersesat walaupun kemampuan bahasa Inggris masih sangat minim.
Padahal di Yogya, ada salah satu teman seangkatan yang mengingatkan jika dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim, seorang siswa Sekbang seperti saya akan kesulitan belajar menerbangkan pesawat. Kemungkinan gagal di Sekbang menjadi sangat besar bagi seorang siswa seperti saya. Ketika mengetik artikel ini, saya tersenyum ketika mengingat jika ada salah satu teman di AAU yang mengingatkan kalau gagal Sekbang di AS, saya bisa pulang kemudian mencari rumput untuk makanan sapi yang dikenal dengan ngarit di kampung halaman.
Namun early warning justru berubah menjadi tantangan yang harus dihadapi ketika bus yang saya tumpangi tiba di pintu gerbang Lackland AFB. Pada waktu itu, di tahun 1977, Lackland AFB adalah pusat pelatihan bahasa bagi para perwira yang berasal dari negara-negara di luar AS.
Belajar Intensif
Sampai hari ini, saya masih merasa sangat beruntung jika mengingat orang Indonesia yang pertama kali saya temui di Lackland. Dia adalah seorang perwira berpangkat Kapten dari Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) yang kebetulan adalah seorang calon instruktur bahasa Inggris. Ketakutan dan peringatan dari teman-teman seangkatan di Yogya seakan sirna dan hilang begitu saja dari pikiran ketika saya diberi kehormatan untuk tinggal sekamar dengan sang Kapten.
Selama enam bulan, setiap hari, sebagai instruktur bahasa, beliau menyediakan waktu khusus buat saya untuk belajar bahasa Inggris menggunakan metode mendengarkan/listening, berbicara/speaking, hingga pada akhirnya memasuki tahap membaca/reading dan menulis/writing.
Setelah belajar intensif selama satu semester, hasilnya skor American English Comprehension Level (AECL) yang berhasil saya raih adalah 82. Pada akhirnya, saya berhasil memenuhi persyaratan untuk masuk ke Sekbang. Ketika masih berada di Indonesia dan belum menemukan instruktur bahasa Inggris yang tepat, skor yang berhasil diperoleh sangat sulit dicapai, bahkan mustahil diraih.
Sebelum mencapai angka 82, skor AECL saya hanya 58, masih kurang dari batas minimum yang ditetapkan bagi siswa yang ingin masuk Sekbang di AS. Namun saya bernasib baik karena Kedubes AS di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, berdasarkan pertimbangan yang diajukan oleh Markas Besar Angkatan Udara (Mabes AU) masih memberikan toleransi. Akhirnya dua orang calon siswa sekolah penerbang/Sekbang yang skor bahasa Inggrisnya di atas 55 masih bisa diterima dan diberangkatkan ke AS untuk mengikuti sekbang di USAF.
Skor 82 yang berhasil diraih tentu saja meningkatkan kepercayaan diri saya. Pesimisme hingga rasa takut yang sebelumnya berkecamuk di dalam pikiran dan perasaan berubah menjadi optimisme serta keberanian. Perkataan dari teman-teman seangkatan di AAU yang satu pun tidak ada yang memberikan dukungan bagi untuk belajar terbang di AS sudah saya anggap tidak lebih dari kelakar teman-teman dekat yang menghabiskan waktu empat tahun bersama sejak di AKABRI Magelang hingga AAU Yogyakarta.
Ternyata belajar bahasa Inggris tidak sesulit yang dibayangkan. Kesulitan itu hanya ada di dalam pikiran. Ketika bertemu dengan instruktur yang tepat, semua permasalahan yang muncul pasti ada solusinya. Bagi saya, percakapan intensif sehari-hari dengan Sang Kapten di kamar tidur adalah pelajaran terbaik.
Setelah mampu mendengarkan dengan baik, seseorang pasti pada akhirnya berani mengucapkan kata-kata yang pernah dia dengarkan. Tidak jauh berbeda dengan seorang bayi yang pertama kali mendengarkan bahasa ibunya kemudian belajar berbicara. Seperti keterampilan berbahasa apapun, setelah lancar berbicara, pada fase selanjutnya seorang penutur idealnya adalah membaca kemudian menulis.
Sekali lagi, penutur bahasa Inggris yang bukan penutur asli/native speaker seperti instruktur saya pada tahap awal jauh lebih mudah dimengerti aksennya. Kemudahan itulah yang menjadikan belajar bahasa Inggris menjadi lebih menyenangkan, apalagi jika bisa belajar langsung di negara yang menggunakannya sebagai bahasa nasional seperti AS.
Entah mengapa, sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, saya memiliki ide untuk mengajar bahasa Inggris jika masih memiliki waktu luang. Mungkin akan saya mulai dari Gugus Depan (Gudep) Mantri Wira, tempat saya menjadi pembina Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka).{}