Bandara yang terletak di Uptown Central San Antonio, kurang lebih berjarak 13 Kilometer (Km) di sebelah utara pusat kota, kondisinya sangat baik, terutama bagi yang baru pertama kali ke AS seperti saya. Tanpa perlu bertanya kesana kemari, dengan mudah saya menemukan perwakilan angkatan bersenjata AS, mulai dari Angkatan Darat/United States (US) Army, Angkatan Laut/US Navy hingga Angkatan Udara/US Air Force (USAF).
Sejak lepas landas/take off, surat perintah dari Kedutaan AS di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta sudah saya persiapkan. Petugas kedutaan selalu mengingatkan jika ada apa-apa dalam perjalanan menuju AS, saya diinstruksikan untuk menunjukkan surat perintah tersebut. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Hongkong yang dilanjutkan dengan penerbangan dari Hongkong ke Seattle, surat masih tersimpan rapi di sebuah tempat khusus dalam koper Echolac berukuran 22 inch yang dengan setia menemani sejak memulai penerbangan dari Jakarta.
Namun di San Antonio, akhirnya surat perintah perlu dikeluarkan kemudian ditunjukkan kepada petugas yang berjaga di kantor perwakilan USAF. Hati saya sempat berdebar sejenak sebelum akhirnya petugas yang berjaga setelah memeriksa surat yang diberikan mengatakan jika saya diminta menunggu beberapa orang lagi untuk naik bus ke pangkalan/Air Force Base. Hati saya senang sekali dan akhirnya dapat bernapas lega, saya tidak salah jalan apalagi kesasar setelah melalui perjalanan panjang yang cukup menegangkan.
Usia saya waktu itu, pada 1977 baru 22 tahun. Kemampuan berbahasa Inggris juga masih sangat minim, jadi sangatlah wajar jika saya merasa bersyukur bisa tiba dengan selamat di tempat yang diinstruksikan. Setelah menempuh perjalanan udara dari Jakarta menuju Texas, selanjutnya perjalanan dilanjutkan menggunakan transportasi darat.
Namun perjalanan darat yang harus ditempuh dari Bandara Internasional San Antonio ke Lackland Air Force Base (AFB) tidak selama penerbangan dari Jakarta. Hanya memakan waktu 20 menit menggunakan bus. Pada saat itu di tahun 1977, Lackland AFB dijadikan pusat latihan bahasa bagi para perwira yang berasal dari negara-negara di luar AS.
Tanda Tangan Sersan
Pada saat bus memasuki Air Force Base (AFB), penumpangnya yang seluruhnya warga negara non AS langsung turun dan diarahkan untuk pengambilan foto sebagai salah satu syarat pembuatan kartu identitas/identity (ID) card. Usai difoto, ID card langsung jadi dan diberikan kepada masing-masing siswa sekolah penerbang yang berasal dari berbagai negara. Kemudian kami diberi kamar serta jadwal makan.
Di dalam kamar, saya kembali mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya. Akhirnya perjalanan panjang dari Jakarta telah berakhir sesuai dengan rencana meski ada beberapa kendala yang harus dihadapi. Saya merasakan akhir dari sebuah permulaan/the end of the beginning telah dimulai.
Tetapi sebelum tidur, saya sempat terkejut ketika kembali memperhatikan ID-card yang baru saja diberikan. Ternyata yang menandatangani adalah seorang bintara berpangkat sersan. Padahal, sepengetahuan saya yang pada waktu itu sudah menjadi seorang perwira berpangkat Letnan Dua (Letda) yang baru saja lulus dari Akademi Angkatan Udara (AAU) di Daerah Istimewa Yogyakarta, para penumpang bus USAF adalah para perwira dari angkatan udara masing-masing negara yang dikirim ke AS untuk mengikuti sekolah penerbang. Saya berpikir dan kemudian menyimpulkan sungguh sangat berkuasa sekali seorang sersan yang memiliki otoritas untuk menandatangani ID-card para perwira.
Setelah tertidur lelap untuk pertama kalinya di negeri Paman Sam, keesokan harinya setelah terbangun dalam kondisi yang segar bugar, saya langsung mencari teman-teman yang berasal dari Indonesia. Tentu yang pertama kali dicari adalah orang Indonesia di dekat kamar tempat tidur semalam. Ternyata saya bertemu dengan seorang perwira berpangkat kapten dari Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD). Kebetulan sang Kapten adalah calon instruktur bahasa Inggris. Pertemuan dengannya sampai hari ini masih sangat saya syukuri karena menjadi kesempatan untuk mempelajari sekaligus memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris yang masih sangat minim.
Sejak saat itulah, saya diajak tinggal satu kamar dengan beliau dan memulai belajar percakapan dalam bahasa Inggris. Ketika berangkat dari Indonesia, nilai American English Comprehension Level (AECL) yang berhasil saya raih baru 58, kurang dua poin dari skor minimum di Angka 60. Masih kurang memuaskan meski tidak terlalu mengecewakan.
Beruntung, Kedubes AS di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, berdasarkan pertimbangan yang diajukan oleh Markas Besar Angkatan Udara (Mabes AU) masih memberikan toleransi. Akhirnya dua orang calon siswa sekolah penerbang/Sekbang yang skor bahasa Inggrisnya di atas 55 masih bisa diterima dan diberangkatkan ke AS untuk mengikuti sekbang di USAF.
Sejak bertemu sang Kapten sekaligus instruktur bahasa, selama enam bulan pertama di AS, saya belajar bahasa Inggris dengan penuh semangat dan sangat intens. Setiap hari, instruktur bahasa menyediakan waktu khusus buat saya untuk belajar, dan hasilnya sesuai dengan proses yang dijalani; Akhirnya saya bisa meraih skor AECL 82, jauh melampaui target yang ditetapkan yaitu skor minimum di angka 60. Skor minimum yang sebelumnya sangat sulit dicapai. Bagaimana meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan sangat cepat? Akan saya kemukakan dalam artikel berikutnya.{}