Tangkapan layar Debat Capres Ketiga
Kendala Kerja Sama Pembangunan Kapal Selam Indonesia dan Korea Selatan

Date

Dalam debat Calon Presiden (Capres) 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Minggu, 7 Juli 2024, terjadi perdebatan yang cukup menarik. Capres nomor urut tiga bertanya kepada nomor urut dua tentang nasib kerja sama pembuatan kapal selam antara PT. PAL dengan Korea Selatan. Menurut Capres nomor urut tiga, kerja sama tersebut dibatalkan oleh nomor urut dua yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Namun sangat disayangkan pertanyaan yang dikemukakan tidak dijawab secara memuaskan karena keterbatasan waktu. Sembilan hari usai debat capres digelar, Direktur Utama (Dirut) DEFEND.ID, Bobby Rasyidin, dalam sebuah siniar/podcast dengan tirtoID, mengutarakan penjelasan yang lebih detail tentang nasib sekaligus masa depan kerja sama Indonesia dengan Korea Selatan dalam pembuatan kapal selam.

Menurut Bobby, tidak ada pembatalan kontrak yang telah disepakati oleh kedua negara. Namun, untuk kepentingan bangsa dan negara, Bobby mengemukakan jika kontrak yang disetujui oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd. masih menggunakan skema zaman dahulu. Daewoo yang kini telah berganti nama menjadi Hanwa Ocean, ketika berkontrak dengan pemerintah RI, Indonesia sebagai negara pemesan hanya memperoleh dua hal. Pertama, produk, dan kedua adalah konten lokal.

Di kontrak yang lama, menurut Bobby, kapal selam yang akan dibangun di PT PAL adalah yang nomor enam. Padahal menurutnya sesuai dengan sisi industrial point of view yang seharusnya dibangun adalah kapal selam yang pertama atau yang nomor satu. Dalam siniar berdurasi lebih dari satu jam, Bobby menjelaskan jika menggunakan kontrak dengan skema yang lama, maka RI, dalam hal ini PT PAL akan memperoleh transfer teknologi/transfer of technology (ToT) yang sangat minim sekali. Tidak jauh berbeda, produksi komponen lokal/local content yang diperoleh Indonesia juga sangat minim. Selain itu, yang ketiga, Indonesia tidak memiliki kontrol terkait dengan teknologi dan pengirimannya. Semangat/spiritnya menurut Bobby tidak seperti itu. Jadi negosiasi ulang atau renegosiasi perlu dilakukan agar Indonesia memiliki posisi yang lebih kuat karena Indonesia jauh lebih besar dari Korea. Tak hanya lebih kuat, Indonesia juga lebih dahulu memiliki galangan kapal apabila dibandingkan dengan Korea. Potensi-potensi yang dimiliki Indonesia menurutnya harus dilihat.

Ilustrasi kapal selam. Foto: DEZALB from Pixabay

Prinsip Kontrak Pertahanan

Setelah menyaksikan dengan seksama tayangan siniar, pemikiran yang dikemukakan oleh Dirut PT. LEN memang betul. Begitu juga teori yang dikemukakan. Namun ada beberapa permasalahan yang belum dipahami dengan tepat oleh Dirut yang menjadi holding dari industri pertahanan (Inhan) di Indonesia itu. Perlu disampaikan LEN merupakan perusahaan induk/holding dari PT. Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT. PAL.

Terkait dengan kerja sama pembangunan kapal selam yang dipertanyakan dalam debat Capres, dan kemudian menurut Dirut PT LEN sedang direnegosiasi, serta Bobby berkeinginan PT. PAL ada di depan sementara perusahaan Korea berada di belakang, prinsip kontrak untuk memproduksi alat utama sistem senjata (Alutsista) tidak seperti itu. Jika sebuah perusahaan telah menandatangani sebuah kontrak pengadaan, seperti PT PAL dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd, maka kewajiban dari PT PAL adalah menyerahkan barang sesuai dengan kontrak, termasuk waktu
penyelesaian (time delivery) harus sesuai dengan kesepakatan.

Namun sangat disayangkan, PT. PAL tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi kapal selam.

Jadi prinsip yang dikehendaki yaitu PT. PAL sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mewakili Indonesia berada di depan, tidak akan bisa terjadi. Sehingga yang harus dilakukan pertama kali adalah bekerja sama, dan hal itu sudah dilakukan. Kerja sama yang telah disepakati DSME dan PT. PAL harus ditindaklanjuti dengan mengerjakan pesanan sesuai kontrak. Kedua perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama seperti yang disepakati dan tertuang dalam kontrak.

Oh ya, jangan lupa jika setiap kontrak pengadaan Alutsista, mulai dari amunisi hingga kapal selam ada jaminan dalam jumlah tertentu yang diserahkan untuk uang muka. DSME dan PT PAL sudah membayar uang muka itu, jumlahnya tidak kecil, mencapai sekian miliar jika dihitung dalam mata uang rupiah. Nah, tentu saja jika kerja sama kedua negara mengalami kendala dan proyek mengalami penundaan seperti yang terjadi pada saat ini, uang muka yang diserahkan tidak dapat dipergunakan. Tentu saja semua tahu, jika menggunakan logika bisnis, uang yang menganggur pasti tidak baik dan akan merugikan seluruh pemangku kepentingan/stakeholders yang terlibat.

Renegosiasi

Pertanyaan selanjutnya adalah terkait dengan renegosiasi yang akan dilakukan. Ada dua hal yang perlu ditegaskan. Pertama, PT. PAL tidak memiliki kemampuan, bagaimana mungkin perusahaan yang tidak memiliki kemampuan justru diberi otoritas untuk membangun kapal selam unit pertama. Kedua, perlu ditegaskan terkait dengan hak cipta, tidak mungkin perusahaan yang memiliki hak cipta memberikan izin kepada pihak lain untuk membuat produk terkait.

Kemandirian industri pertahanan Indonesia memang menjadi cita-cita seluruh anak bangsa. Namun ada proses panjang sekaligus beberapa tahap yang harus dilalui. Tidak ada jalan pintas apalagi langsung memotong kompas melalui proses yang instan.{}

Share this

Baca
Artikel Lainnya