Sumber: Pixabay/Wekillmages
Pentingnya Menguasai Bahasa Inggris bagi Penerbang Pesawat Tempur F-16

Date

Lebih dari 600 hari perang antara Rusia versus Ukraina berkecamuk sejak pertama kali pecah pada 24 Februari 2022. Tak hanya di darat yang melibatkan berbagai jenis tank, kavaleri hingga pasukan infanteri, pertempuran juga terjadi di udara mempergunakan pesawat tempur, bomber strategis hingga pesawat tanpa awak (drone).

Seiring berjalannya waktu, sengketa tidak hanya melibatkan kedua negara yang sedang berperang. Negara-negara lain seperti yang tergabung di dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara/ North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang dimotori oleh Amerika Serikat, secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada Ukraina. Menurut negara adidaya yang didukung oleh para sekutunya itu, Ukraina adalah sebuah negara kecil yang menjadi korban dari invasi Rusia sehingga harus didukung oleh dunia internasional.

Dukungan yang diberikan negara yang dijuluki “Paman Sam” itu terlihat jelas ketika dua pesawat bomber B-1B Angkatan Udara AS/United States Air Force (USAF) yang dapat mengangkut bom nuklir di atas Laut Baltik, dekat perbatasan Rusia pada Rabu, 25 Oktober 2023, pekan lalu. Meskipun akhirnya kedua bomber strategis itu berputar balik (turn around) setelah dihadang (intercept) oleh pesawat tempur Su-27 Rusia, ketegangan kedua negara yang pernah berhadapan pada era perang dingin tersebut semakin meningkat.

Selain mengerahkan bomber strategis, USAF juga melatih para penerbang tempur (fighter pilot) Angkatan Udara Ukraina untuk menerbangkan pesawat tempur legendaris F-16 yang dijuluki Fighting Falcon. Departemen Pertahanan/Department of Defense (DoD) Amerika Serikat yang bermarkas di Pentagon telah bersepakat dengan beberapa negara NATO di Eropa untuk memberikan pelatihan menerbangkan jet tempur generasi keempat itu.

Wakil Sekretaris Pers Pentagon, Sabrina Singh, dikutip dari Yahoo News mengonfirmasi pelatihan bahasa Inggris telah mulai diberikan kepada para penerbang tempur Ukraina yang telah tiba di AS. Menurutnya pelatihan bahasa Inggris diberikan secara bervariasi kepada masing-masing penerbang tergantung pada kemahiran dan keterampilan (skill) para pilot yang menjadi peserta. Setelah dinilai menguasai bahasa Inggris dengan cukup mumpuni, baru kemudian para pilot dapat memulai pelatihan untuk menerbangkan F-16.

Belajar Bahasa Inggris demi Lanjut ke AS

Ketika membaca berbagai berita di beberapa media digital seperti yang telah dirangkum di atas, ingatan saya kembali ketika masih duduk sebagai taruna di Akademi Angkatan Udara (AAU) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sekitar Juli hingga Agustus 1976, para taruna AAU mulai mengikuti tes sekolah penerbang (Sekbang). Pengumuman lolos atau tidaknya seorang taruna yang mengikuti tes Sekbang sudah disampaikan menjelang kelulusan di AAU. Setelah dinyatakan lulus AAU dan lolos seleksi Sekbang, para taruna yang terpilih langsung dikirim ke Pangkalan TNI-AU (Lanud) Adisutjipto, DIY, untuk memulai pendidikan sebagai siswa. Sementara para taruna AAU yang tidak lolos seleksi Sekbang akan meneruskan pendidikan ke berbagai kecabangan yang ada di AU seperti Teknik Pesawat, Elektro, Administrasi hingga Logistik atau perbekalan.

Pada awal 1977, ada kabar baik datang dari AS. Para siswa Sekbang di Yogyakarta diberitahu jika ada tiga slot yang disediakan untuk siswa dari Indonesia oleh USAF. Dari 30 orang siswa Sekbang AU, ternyata hanya satu orang yang lulus tes bahasa Inggris, dia adalah teman seangkatan saya di AAU yang juga lulus pada 1976. Namanya adalah Surya Dharma. Ketika itu kami berdua yang baru saja lulus dari AAU berpangkat Letnan Dua. Dia berhasil lulus tes American English Comprehension Level (AECL) yang minimum skornya 60. Sementara saya sendiri yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih sangat minim hanya berhasil mencapai skor jauh di bawah 60.

Namun karena baru satu dari tiga siswa yang memenuhi syarat untuk belajar terbang di AS, TNI-AU masih memberikan kesempatan kepada beberapa pendaftar, salah satunya adalah saya dan seorang teman untuk belajar bahasa Inggris. Nama teman saya adalah Ganjar, beliau kini sudah almarhum. Kami berdua dengan penuh semangat untuk melanjutkan studi ke AS berlatih terus menerus tanpa henti dan tak kenal lelah. Di pagi hari, kami belajar sekaligus berlatih terbang. Seusai latihan terbang, pada siang hari, kami belajar bahasa Inggris di Laboratorium bahasa. Meskipun harus berlatih dengan sangat keras, kami ketika itu merasa sangat bersyukur karena Lab. Bahasa masih berada di kompleks Sekbang. Selama tiga bulan, kami secara intensif berlatih terbang dan belajar bahasa Inggris.

Pada bulan keempat, sekitar April 1977, setelah kursus bahasa Inggris secara intensif sambil menjalani jadwal pendidikan di Sekbang, para pendaftar yang ingin menjadi siswa di AS kembali dites. Hasilnya, meski telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, namun skor yang saya peroleh belum mencapai angka minimal yang ditetapkan yaitu 60. Meskipun skor AECL saya telah mencapai 58, dan hanya kurang 2 poin, namun syarat minimum yang telah ditetapkan tetap harus dipenuhi.

Karena pada bulan selanjutnya yaitu Mei 1977, para siswa yang telah ditetapkan untuk memenuhi kuota harus berangkat, akhirnya pihak Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta mulai melunak. Persyaratan skor AECL diturunkan dari 60 menjadi diatas 55. Akhirnya saya yang terakhir kali berhasil meraih nilai 58 dapat berangkat dan belajar terbang ke AS.

Namun ada catatan lain, selama enam minggu pertama di negeri yang ketika itu dipimpin Presiden Jimmy Carter, saya harus menjalani kelas tambahan pelajaran bahasa Inggris agar dapat meraih nilai AECL sebesar 80. Jauh di atas nilai minimum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu 60. Tentu saja itu sangat berat sekali bagi saya. Namun tidak ada kata menyerah, karena jika gagal di AS, tidak ada peluang karena sudah terlambat untuk kembali ke Yogyakarta dan mengikuti Sekbang AU bersama teman-teman. Sampai hari ini, saya masih bersyukur kepada Sang Pencipta dapat lolos ketika menghadapi berbagai kendala seperti kemampuan berbahasa yang harus dihadapi sekaligus diatasi.

Foto: Pexels.com/Dilara Haziroglu

Belajar Bahasa Sesuai Pesawat

Terlepas dari perang yang sedang berkecamuk di Ukraina, melalui artikel singkat ini, saya ingin berbagi tentang pentingnya seorang penerbang tempur mempelajari bahasa dari pesawat yang diterbangkannya. Jika ditugaskan untuk menerbangkan pesawat jet tempur F-16, maka sang pilot harus menguasai bahasa Inggris dengan baik mengingat produsen Fighting Falcon adalah Lockheed Martin yang berbasis di AS.

Namun apabila seorang pilot ditugaskan menerbangkan Rafale, maka dia perlu mempelajari bahasa Prancis karena produsennya adalah Dassault Aviation yang berkantor pusat di Paris, Ibu Kota Prancis. Namun berdasarkan pengalaman saya yang juga pernah menerbangkan Rafale, semua pilot berkebangsaan Prancis juga dapat berbahasa Inggris. Terakhir yang dapat dikemukakan sebagai contoh ketika pilot ditugaskan untuk menerbangkan Jet Tempur Sukhoi, maka yang bersangkutan harus belajar bahasa Rusia sebelum menerbangkan pesawat yang oleh negara-negara NATO diberi julukan Flanker.{}

Share this

Baca
Artikel Lainnya