Terkait dengan adanya keluhan dari Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), terkait keberadaan Bandara yang akan menjadikan area latihan pesawat tempur F-16 TNI-AU menjadi terbatas, Juru Bicara (Jubir) Kemenhub, Adita Irawati, mengemukakan siap berkomunikasi langsung dengan TNI-AU.
Menurut Adita, dikutip dari republika.co.id, Senin, 28 Agustus 2023, seperti halnya dengan bandara-bandara lain yang berdekatan atau jadi satu dengan bandara milik TNI, dipastikan Kemenhub akan duduk bersama untuk membahasnya.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, kata Adita, kemungkinan telah berkomunikasi langsung dengan TNI-AU. Sementara pertemuan bersama antara Kemenhub bersama dengan Gudang Garam dan TNI-AU kemungkinan akan digelar pada pekan ini.
Hingga Juli 2023, proyek Bandara yang masih terus berlanjut, realisasi pembangunan terminal serta jalur pacu pesawat telah mencapai 70 persen. Selanjutnya, operasional bandara secara terbatas tinggal menunggu hasil pembicaraan antara TNI-AU, Kemenhub, dan PT Gudang Garam.
Diberitakan sebelumnya, Komandan Wing Udara 3 Pangkalan TNI-AU Iswahjudi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Kolonel Penerbang I Gusti Made Yoga Ambara, mengutarakan wilayah udara Bandara Kediri selama ini telah menjadi area latihan manuver pesawat tempur yang diterbangkan dari Lanud Iswahjudi. Menurutnya, jika bandara beroperasi maka pesawat tempur TNI-AU seperti F-16 Fighting Falcon dan T-50 Golden Eagle tidak bisa lagi terbang di langit Kediri.
Dampak dari operasi bandara, ruang udara yang selama ini dijadikan area latihan TNI-AU harus dipindahkan. Konsekuensi dari pemindahan akan mengakibatkan biaya operasional latihan akan membengkak menjadi tiga kali lipat. Dalam pemaparan pada “Media Tour Dirgantara” di Lanud Iswahjudi, Kamis, 24 Agustus 2023, Kolonel Yoga, mengatakan jika Bandara Dhoho di Kediri mulai beroperasi, maka latihan harus berpindah ke ruang udara di wilayah selatan Lanud. Setelah dikalkulasi, biaya latihan yang pada awalnya sebesar 10ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp152juta per jam, akan membengkak menjadi 30 ribu dolar AS atau Rp457juta.
Bandara Kediri yang terletak kurang lebih 25 hingga 30 mil dari Lanud Iswahjudi, menurut Kolonel Yoga terlalu dekat. Hal itu mengakibatkan para penerbang tempur TNI-AU akan kehilangan seperempat area latihan di timur Iswahjudi, tidak bisa dipergunakan sebagai training area. Jadi jika Bandara yang terletak di Kabupaten Kediri itu beroperasi, maka TNI-AU harus mengalah dan mencari area latihan yang lebih jauh.
Lokasi Bandara Dhoho terletak di barat laut kota Kediri. Tepatnya di Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Merupakan satu-satunya bandara di Indonesia yang dibangun bukan oleh Pemerintah RI, namun perusahaan swasta. Dikutip dari berbagai sumber, landas pacu atau runway berukuran 3300x60meter, apron komersial seluas 58x141meter, dan apron Very Important Person (VIP) seluas 221x97meter, dilengkapi tempat parkir seluas 37.108 meter persegi akan menunjang operasional bandara. Selain itu, bandara juga didesain memiliki empat taxiway dan terminal penumpang seluas 18 ribu meter persegi yang dapat menampung 1,5 juta penumpang setiap tahun.
Bandara di Kediri
Pembangunan bandara di Kediri yang merupakan kota terbesar ketiga di Jawa Timur setelah Surabaya dan Malang, dilakukan oleh PT Surya Dhoho Investama. Sebesar 99,99 persen sahamnya dimiliki oleh Gudang Garam, perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Sementara sisanya dimiliki oleh PT Surya Duta Investama.
Gudang Garam menanamkan modal sebesar Rp10,8triliun untuk pembangunan bandara yang dilakukan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Melalui Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Kemaritiman dan Investasi Nomor 21 Tahun 2022, pemerintah menjadikan Bandara Dhoho sebagai Proyek Strategis Nasional.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dalam suatu kesempatan pernah mengemukakan jika proyek pembangunan bandara dapat dijadikan pilot project bagi pihak-pihak swasta lain yang ingin membangun konektivitas di darat, laut dan udara. Pemerintah menurutnya menyambut baik partisipasi swasta dan berjanji akan memberikan regulasi yang mendukung.
Namun tentu saja dukungan yang diberikan pemerintah harus mempertimbangkan berbagai faktor. Salah satunya adalah kepentingan pertahanan udara nasional. Sejak bertugas sebagai Penerbang Wing Buru Sergap Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) di Lanud Iswahjudi pada 1976, saya sudah berlatih di langit Kediri menerbangkan pesawat tempur (fighter aircraft) F-86 Sabre. Bahkan jauh sebelum itu, langit Kediri sudah dijadikan TNI-AU sebagai training area. Jadi pembangunan Bandara Dhoho jelas mengganggu wilayah yang selama ini menjadi area para penerbang tempur (fighter pilot) TNI-AU.
Namun bila pembangunan tetap dilanjutkan, bahkan dalam waktu dekat bandara akan dioperasikan, meskipun secara terbatas, maka sebagai penerbang tempur yang berlatih selama 19 tahun di Training Area Lanud Iswahjudi, saya mengajukan empat solusi sebagai berikut:
Pertama, dengan mengatur penggunaan ruang udara di langit Kediri. Caranya adalah dengan mengatur timeline dan ruang udara sendiri pesawat sipil komersial yang dijadwalkan akan mendarat di Bandara Kediri. Misalnya pesawat terbang rendah pada ketinggian tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pengelola bandara, dalam hal ini Air Traffic Controller (ATC) dan TNI-AU.
Kedua, menggunakan sistem blok waktu terhadap pesawat yang akan lepas landas (take off) maupun mendarat (landing) dari dan ke bandara.
Ketiga, Kemenhub harus melakukan pengadaan atau memfasilitasi instalasi radar yang akan mengcover seluruh wilayah udara di langit wilayah Kediri.
Keempat atau yang terakhir, Kemenhub perlu membuat rute udara (air route) untuk kedatangan (coming) dan keberangkatan (going) dari dan ke bandara yang tidak mengganggu prosedur penerbangan TNI-AU.
Semoga keempat saran yang dikemukakan dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga dapat menghasilkan win-win solution ketika negosiasi dilakukan. {}
Foto:
Pesawat tempur F-16 TNI-AU.
Sumber: TNI-AU