Foto: Bundeswehr
Defisit Neraca Perdagangan Alutsista dan Strategi Pembangunan Industri Pertahanan Indonesia

Date

Apabila tidak bisa menjadi produsen sistem senjata secara utuh, Indonesia seharusnya tetap dapat masuk dalam rantai pasok senjata dunia.

Pada 2021, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah importir alat utama sistem senjata (Alutsista) kelima terbesar di dunia. Nilai impor mencapai 67,6juta dolar Amerika Serikat (AS). Namun di sisi lain, Indonesia menjadi eksportir ke-48 dunia. Nilai ekspor sebesar 127 ribu dolar AS. Jika dikalkulasi, ada defisit perdagangan sebesar 67,4 juta dolar AS.

Dalam sebuah talkshow dengan CNBC Indonesia TV, Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa, mengemukakan Indonesia harus memiliki strategi dan melihat potensi yang dimiliki. Menurutnya apabila tidak bisa menjadi produsen sistem senjata secara utuh, Indonesia tetap dapat masuk dalam rantai pasok senjata dunia. Salah satu contohnya adalah dengan memproduksi bagian tertentu dengan material yang ada di Indonesia seperti nikel.

Pada dialog dalam segmen “Manufacture Check” di Program “Evening Up”, Kamis, 3 Agustus 2023, Andika juga memberi contoh produk microchip yang dibuat oleh Taiwan. Taiwan tidak memproduksi pesawat, tank maupun senjata, tetapi para produsen pesawat maupun tank, jika membeli microchip pasti ke Taiwan. Jadi menurutnya, Indonesia tidak perlu memproduksi senjata secara utuh sebuah sistem senjata. Tetapi kalau seluruh dunia atau pasar global membeli suku cadang/spare part yang menjadi bagian dari Alutsista, menurut Andika sama saja

Pada saat ini Indonesia adalah produsen terbesar nikel di dunia yang mencapai 37 persen. Nikel Indonesia dengan kualitas yang paling rendah (low grade) bisa dibuat menjadi stainless steel. Kemudian yang higher grade untuk battery. Karena stock yang dimiliki banyak, Indonesia pasti bisa menekan harga. Selain itu di pasar global juga pasti kompetitif dalam harga penjualan dibandingkan dengan negara-negara produsen nikel yang lain. Jadi Indonesia pasti bisa menjual dengan harga yang lebih murah. Sehingga pada fase selanjutnya, industri pertahanan dari AS atau Eropa yang memproduksi stainless steel atau peralatan yang membutuhkan battery, termasuk juga mobil, seharusnya mengambil nikel sebagai bahan baku baterai jika Indonesia bisa menekan harga seefisien mungkin. Itu adalah sebuah contoh yang dikemukakan bagaimana Indonesia tidak perlu harus membuat sistem senjata yang utuh. Namun negara manapun di dunia yang memproduksi senjata dan membutuhkan stainless steel dan battery, seharusnya mengambil dari Indonesia.

Andika, dengan menggunakan kacamata sebagai pengguna akhir (end user), TNI pasti harus mengikuti perkembangan teknologi. Misalnya, TNI memiliki konsep Alutsista yang dalam konsep Minimum Essential Force (MEF) harus dibeli. Salah satu contohnya adalah tank untuk TNI-Angkatan Darat (AD). Tank sebagai salah satu Alutsista yang digunakan untuk pertempuran di darat, misalnya yang berjenis Main Battle Tank (MBT) seperti Leopard, jarak tembak terjauhnya mencapai empat koma sekian kilometer (Km). Sementara tank-tank jenis lain jarak tembaknya pasti jauh lebih pendek. Jadi sudah agak ketinggalan. Jadi disimpulkan oleh Andika, jika Indonesia ingin memasuki industri pertahanan dunia atau menjadi bagian dari ekosistem dapat menjadi supplier komponen strategis seperti microchip.

Kemandirian Industri Pertahanan

Pada 17 Agustus 2023, Republik Indonesia (RI) telah genap berusia 78 tahun. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, RI juga diharapkan mampu membangun industri pertahanan (Inhan) di dalam negeri agar tidak terlalu bergantung dengan produk-produk Alutsista, baik untuk matra darat, laut maupun udara hingga Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Di belahan bumi manapun, Inhan di suatu suatu negara, tentunya termasuk RI akan dapat berkembang apabila produknya dioperasikan oleh pengguna (end user). Contohnya tank dan panser produksi PT Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) dipergunakan oleh TNI-Angkatan Darat (AD), kapal selam buatan PT. PAL dioperasikan oleh TNI-Angkatan Laut (AL) dan pesawat angkut ringan produk PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dioperasikan oleh TNI-Angkatan Udara (AU).

Karena jumlah end user produk-produk sangat sedikit bahkan terbatas, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong kemajuan ekosistem inhan di RI. Hidup matinya inhan di suatu negara sangat ditentukan oleh dukungan pemerintah terkait. Negara-negara seperti AS, Rusia hingga Turki dapat dijadikan contoh yang baik seperti apa dukungan yang diberikan oleh pemerintah untuk memajukan inhan di dalam negeri.

Pada intinya, komitmen dari pengguna di dalam negeri sangat penting sekaligus dibutuhkan. Mengapa demikian? Karena sebelum produksi dilakukan, tentu saja pertama kali dilakukan kalkulasi bisnis terlebih dahulu. Baru kemudian setelah kalkulasi bisnis dinilai menguntungkan, produksi akan dimulai. Mulai dari senjata ringan seperti pistol, tank, panser, kapal selam hingga pesawat angkut maupun tempur, baru akan diproduksi jika kalkulasi bisnis dinilai menguntungkan.

Masih dari perspektif pengguna, sebagian besar atau bahkan seluruhnya selalu menginginkan Alutsista maupun Alpalhankam yang dioperasikan tidak terlalu tergantung pemeliharaan (maintenance) kepada pihak-pihak luar, apalagi pihak ketiga di luar produsen produk terkait. Kemandirian dalam aspek pemeliharaan dalam proses jual beli atau transaksi selalu menjadi tuntutan pertama sekaligus yang pertama dari end user.

Jadi posisi tawar (bargaining position) dari end user sangat kuat. Oleh sebab itu, pemerintah harus menggunakan wewenang atau otoritasnya untuk memaksa institusi-institusi terkait seperti TNI-Polri hingga kementerian dan lembaga untuk menjadi pengguna produk inhan yang dapat diproduksi di dalam negeri oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Hal itu harus dilakukan oleh pemerintah yang kini dijalankan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).

Sebagai komite yang diketuai langsung oleh Presiden RI, KKIP dibentuk agar dapat memajukan inhan di dalam negeri, salah satunya adalah dengan mengoordinasikan bagaimana produk-produk yang dihasilkan mampu diserap oleh pasar. Pertama pada tingkat domestik, baru kemudian pada level global. Terakhir, perlu kembali diingatkan jika KKIP juga memiliki otoritas untuk menekan sekaligus memaksakan agar para pengguna di dalam negeri bersedia menggunakan produk-produk yang dihasilkan inhan di RI.

Demikian salah satu cara yang dapat dilakukan di dalam negeri agar defisit neraca perdagangan tidak terus menerus terjadi, selain ide yang dikemukakan agar Indonesia menjadi bagian dari pasokan mata rantai industri perdagangan Alutsista dunia.{}


Foto: Bundeswehr



Share this

Baca
Artikel Lainnya