Pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), digelar upacara peringatan di Pangkalan TNI-AU (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Minggu, 9 April 2023. Berbagai jenis pesawat yang menjadi bagian dari Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI-AU melakukan penerbangan seremonial atau kehormatan yang dikenal dengan istilah Flypast.
Beragam pesawat dari berbagai skadron udara, mulai dari pesawat latih, angkut ringan dan berat hingga Very Important Person/Very Very Important Person (VIP/VVIP) serta pesawat serang Antigerilya atau Counter Insurgency (COIN) melakukan Flypast. Setelah formasi gabungan dari tiga pesawat Boeing-737 dari Skadron Udara 5 dan 17 serta dua pesawat Falcon dari Skadron Udara 17 dengan Call Sign “Kencana Flight” terbang melintas dengan membentuk arrow formation, akhirnya terdengar suara gemuruh di langit Halim.
Dari kursi podium, terlihat hadirin bertepuk tangan, termasuk Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono. Di hadapan Panglima TNI yang menjadi Inspektur Upacara HUT ke-77 TNI-AU, melintas 14 unit jet tempur F-16 Fighting Falcon dari Skadron Udara 3, 14 dan 16 dengan Call Sign “Foxtrot Flight”.
14 elang tempur pemburu (Fighting Falcon) kebanggaan TNI-AU itu membentuk formasi 77 dengan flight leader Komandan Skadron Udara 3, Letkol Penerbang, Pandu Eka Prayoga. Pandu adalah Alumni AAU 2004 yang berhasil dengan sangat baik memimpin 14 unit F-16 membentuk formasi 77 yang merupakan tanda HUT ke-77 TNI-AU.
Skadron Udara 3 dan 14 adalah Satuan Tempur Buru Sergap di bawah komando Wing Udara Tempur Lanud Iswahjudi yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang merupakan jantung pertahanan
udara Indonesia dan dijuluki Rumah para Petarung (Home of Fighters). Sementara skadron Udara 16 Tempur berada di bawah komando Wing Udara 6 Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru.
F-16 TNI-AU
Ketertarikan TNI-AU mengakuisisi jet tempur legendaris buatan Amerika Serikat (AS) berawal dari ajang “Indonesia Air Show” yang digelar pada 22 Juni hingga 1 juli 1986. Dikutip dari kompas.id, Panglima TNI yang pada waktu itu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani mengemukakan Indonesia memilih F-16 karena harganya yang relatif murah dan banyak negara yang mengoperasikan untuk memperkuat pertahanan udaranya.
Pada 1987, setahun setelah “Indonesia Air Show” digelar di Bandar Udara (Bandara) Kemayoran, Jakarta Pusat, pabrikan F-16, General Dynamics menggandeng Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Keduanya menyepakati perjanjian pengadaan 12 unit Fighting Falcon secara imbal produksi.
Dalam perjanjian imbal produksi yang kini dikenal dengan offset tersebut, Indonesia melalui IPTN memperoleh kesempatan yang diberikan oleh General Dynamics untuk memproduksi komponen jet tempur beserta alih teknologi sebesar 35 persen dari total biaya pembelian.
Setelah kesepakatan kedua belah pihak tercapai, akhirnya pada penghujung 1989, tepatnya 12 Desember, dua dari 12 unit F-16 Fighting Falcon yang dipesan TNI-AU tiba di Lanud Iswahjudi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Di Lanud yang menjadi jantung pertahanan udara Indonesia tersebut, dua unit F-16 yang baru tiba dari AS langsung ditempatkan di Skadron Udara 3 Satuan Tempur Buru Sergap.
Selanjutnya, sebanyak 10 unit F-16 TNI-AU tiba di Iswahjudi dalam tiga gelombang. Pertama pada 7 Januari 1990. Kedua, 7 Mei 1990. Terakhir pada 22 September 1990. F-16 menggantikan OV-10 F Bronco yang dipindah ke Skadron Udara 1 Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur.
Sebagai salah satu penerbang tempur yang bertugas di Skadron 3, saya merasa terhormat diberi kepercayaan untuk menerbangkan salah satu unit F-16 dalam delivery tahap kedua pada 7 Mei 1990. Akuisisi 12 unit F-16 oleh TNI-AU ditindaklanjuti dengan persiapan 180 personel untuk memenuhi kebutuhan penerbang maupun kru di darat (ground crew).
Para personel yang dipersiapkan direkrut melalui mekanisme yang sangat ketat dan berasal dari beragam kesatuan, mulai dari Depo, Skadron Tempur dan Teknik hingga Avionik. 67 dari 180 personel yang lolos dikirim ke AS untuk untuk menempuh pendidikan dan pelatihan sesuai kompetensinya masing-masing. Sementara sisanya dilatih di Indonesia. Namun, para personel yang memperoleh pendidikan langsung di AS maupun di Indonesia sama-sama memiliki keahlian untuk menerbangkan maupun melakukan pemeliharaan (maintenance) terhadap Fighting Falcon.
Setelah satu skadron yang terdiri dari 12 unit pesawat malang melintang menjaga kedaulatan Indonesia di udara selama 25 tahun, pada 2014, Indonesia kembali berencana untuk menambah armada F-16 untuk memperbaharui Alutsista TNI-AU. Pada awalnya Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia (DPR-RI) berencana untuk membeli enam unit F-16 blok 52 yang merupakan generasi terbaru. Dana sebesar 430 juta dolar AS yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah dialokasikan.
Namun setelah melalui perdebatan panjang, sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Sekjen Kemhan RI), saya mengemukakan beberapa usulan beserta pertimbangannya sebagai berikut:
Jika menggunakan mekanisme hibah, maka RI akan memperoleh 24 unit pesawat yang dapat dimutakhirkan (upgrade), namun jika membeli yang baru, maka hanya akan diperoleh maksimal 6 unit. Artinya tidak cukup untuk memperkuat satu skadron tempur yang berjumlah 12 unit. Sementara jika menggunakan mekanisme hibah maka dapat diperoleh 24 unit yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dua skadron.
Jam terbang yang tersisa atau masih dapat dipergunakan dari 24 unit jet tempur hibah tersebut masih bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh TNI-AU sebagai end user selama 20 tahun. Setelah masa pakai selama 20 tahun dimaksimalkan, teknologi F-16 yang merupakan jet tempur generasi keempat dapat dipastikan akan ketinggalan zaman.
Sebelumnya Indonesia sudah memiliki dan mengoperasikan F-16 sejak 1989, sehingga sumber daya manusia (SDM) baik untuk operasional seperti penerbang dan navigator maupun untuk pemeliharaan sudah ada dan selalu siap sedia.
Wilayah Indonesia yang sangat luas membentang dari Sabang sampai Merauke membutuhkan banyak pesawat tempur untuk menjaga kedaulatan negara di udara.
Setelah menyampaikan empat pertimbangan tersebut, akhirnya pemerintah RI memutuskan untuk memperkuat TNI-AU dengan 24 unit F-16 C/D yang diperoleh dari pemerintah AS dengan model hibah. Pengadaan dengan model hibah memicu kontroversi karena pesawat yang didatangkan ke Lanud Iswahjudi adalah F-16 bekas blok 25. Akhirnya setelah kembali menuai silang pendapat, dana yang dialokasikan kemudian dipergunakan untuk memutakhirkan (upgrading) dari Blok 25 ke 52.
Peace Bimasena II
Proyek upgrading yang dikenal dengan Peace Bimasena II senilai 700 juta dolar AS tersebut berhasil memutakhirkan 24 unit F-16. 12 unit F-16 blok 52 ditempatkan untuk memperkuat Skadron Udara 3 di Lanud Iswahjudi. Kemudian 12 unit yang lain ditempatkan di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru.
Penempatan 24 unit F-16 Fighting Falcon TNI-AU di dua Lanud yang berada di Pulau Sumatra dan Jawa tentu dilakukan dengan penuh perhitungan. Lokasi Lanud Roesmin Nurjadin yang terletak di Pekanbaru, Riau dan Lanud Iswahjudi yang berada di Madiun, Jawa Timur kemungkinan dijadikan salah satu pertimbangan.
Namun yang jelas, apapun pertimbangan maupun analisisnya, pesawat tempur F-16 Fighting Falcon adalah alutsista yang telah teruji di medan pertempuran udara (battle proven). Hingga hari ini bahkan pada saat artikel singkat ini dipublikasikan, sudah 26 negara di dunia yang menggunakannya untuk menjaga kedaulatan di udara.
Keputusan TNI-AU untuk menjadikan F-16 sebagai penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di udara sangat tepat. Memang ada beberapa pelajaran berharga yang harus digarisbawahi dengan cetak tebal. Antara lain terkait dengan perjanjian imbal dagang pada saat pembelian dilakukan dan embargo suku cadang yang pernah dilakukan AS akibat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. {}