Foto: U.S. Air Force/Tech Sgt. Ben Bloker
Balon Udara Tiongkok di Langit Amerika Serikat

Date

Ketika terbang pada jarak sekitar enam mil laut di lepas pantai AS yang berada di atas Samudra Atlantik, balon berhasil ditembak jatuh.

Jet tempur Angkatan Udara Amerika Serikat/United States Air Force (USAF) menembak jatuh balon udara milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang memasuki wilayah kedaulatan udara AS pada akhir pekan lalu. Berbagai media digital yang berbasis di Amerika Serikat (AS) memberitakan jika USAF mengerahkan empat pesawat tempur (fighter aircraft) yaitu dua unit F-22 Raptor dan dua F-15 Strike Eagle untuk melakukan penyergapan. 

Setelah berhasil disergap, eksekusi atau penembakan langsung dilakukan oleh salah satu dari dua F-22 Raptor menggunakan rudal AIM-9x Sidewinder A2A.

Balon berhasil diidentifikasi memasuki wilayah udara AS pada 28 Januari. Kemudian pada 30 Januari, memasuki wilayah udara Kanada dan keesokan harinya pada 31 Januari menurut Kementerian Pertahanan/ Department of Defence (DoD) AS, balon kembali ke wilayah udara AS tepatnya di langit Idaho. 

Namun setelah terbang melintas di atas daratan AS, balon tidak kembali  ke langit yang berada di wilayah perairan terbuka. Tentu saja posisi balon yang dicurigai terbang untuk melakukan operasi mata-mata berupa pengumpulan data dari udara tersebut mempersulit USAF untuk melakukan penyergapan. Keselamatan warga sipil yang berada di daratan menjadi pertimbangan utama sebelum eksekusi dilakukan oleh F-22 Raptor yang dikawal F-15 Strike Eagle. 

Akhirnya, ketika terbang pada jarak sekitar enam mil laut di lepas pantai AS yang berada di atas Samudra Atlantik, balon berhasil ditembak jatuh.

Serpihan balon menurut seorang pejabat militer AS tersebar di permukaan laut hingga mencapai radius tujuh mil. Meskipun telah hancur lebur diterjang rudal, puing-puing balon tetap diamankan oleh para personel Angkatan Laut AS/US Navy yang tengah bertugas kapal perang agar dapat diteliti.

Presiden AS Joe Biden memahami karakteristik wilayahnya dengan sangat baik. Meskipun instruksi untuk melakukan penyergapan telah diberikan sejak Rabu, 1 Februari, namun Biden menyetujui rekomendasi dari Kementerian Pertahanan AS di Pentagon agar operasi sebaiknya dimulai pada waktu yang tepat atau ketika posisi balon berada di atas Samudra Atlantik untuk mengantisipasi jatuhnya korban dari kalangan warga sipil.

Jadi tidak berlebihan ketika penembakan berhasil dilakukan, Biden memberikan pujian sekaligus apresiasi berupa ucapan terima kasih kepada para penerbang tempur yang berhasil dengan baik menjalankan misinya.

Sinergi dan koordinasi antara USAF dengan US Navy dalam misi pengamanan udara dan laut yang menjadi wilayah kedaulatan udara tentu saja patut diapresiasi.

Tidak perlu dilakukan negosiasi atau tawar menawar dengan siapapun yang telah melanggar wilayah kedaulatan sebuah negara baik di darat, laut apalagi di udara. Itulah mengapa sebuah negara tak pernah berhenti membangun kekuatan angkatan perangnya.

Terkait dengan perang udara, satu hal yang perlu dipahami adalah sebelum kekuatan musuh berhasil menyentuh tanah atau melakukan pendaratan maupun melewati batas laut, jauh lebih baik jika dihancurkan terlebih dahulu di udara. 

Namun sebelum melakukan penembakan di udara baik menggunakan rudal maupun meriam yang ada di pesawat tempur, sebaiknya diperhitungkan terlebih dahulu kemungkinan posisi jatuhnya pesawat musuh.

Penembakan jauh lebih baik dilakukan di atas wilayah perairan apabila dibandingkan dengan di atas wilayah daratan. Jika dilakukan di atas wilayah daratan kemungkinan jatuhnya korban sipil yang tidak berdosa tentu saja jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan penembakan yang dilakukan di atas wilayah perairan. 

Bagi sebuah negara yang memiliki daratan luas seperti AS, perhitungan yang sangat teliti, detail dan penuh kehati-hatian sangat dibutuhkan sebelum mengerahkan pesawat tempur untuk melakukan penyergapan di udara. 

Setelah misi berhasil dilakukan dengan baik (mission accomplished), informasi tentang rudal pencari panas AIM-9X Sidewinder yang harganya mencapai 400 ribu dolar AS atau jet tempur generasi kelima yaitu F-22 Raptor yang berharga 216 juta dolar AS menjadi kehilangan signifikansinya.

Ketika dihadapkan dengan persoalan kedaulatan di udara seperti kecurigaan terhadap operasi mata-mata, langkah-langkah preventif harus segera dilakukan. Apalagi ketika ada objek yang tidak dikenal seperti balon udara buatan negara lain terbang di langit tanpa memiliki izin dari otoritas terkait. 

Ketegangan Diplomatik

Penembakan memicu reaksi keras RRT. Kementerian Luar Negeri RRT di Beijing mengutuk keras aksi militer yang dilakukan AS. Dalam pernyataannya seperti dikutip dari Reuters yang dirilis pada Senin, 6 Februari 2023, RRT meminta AS untuk menyikapi balon udaranya dengan profesional, terkendali dan tidak berlebihan. Beijing berdalih jika balon diterbangkan untuk tujuan melakukan riset meteorologi dan penelitian ilmiah.

Tanpa perlu mempertimbangkan dengan lebih jauh dinamika bilateral kedua negara, persoalan kedaulatan di udara tentunya tidak bisa dinegosiasikan dengan argumentasi berupa riset ilmiah. Jadi keputusan RRT untuk menerbangkan balon udara di langit AS adalah sebuah provokasi yang dapat menjadikan relasi bilateral kedua negara akan semakin memanas.

Instruksi yang diberikan Presiden Joe Biden untuk melakukan aksi militer adalah sebuah tindakan yang sangat tepat bahkan perlu diacungi jempol. Bukankah tugas seorang presiden di negara manapun adalah menjaga kedaulatan wilayahnya? 

Namun apa yang dilakukan RRT sedikit banyak memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah AS termasuk kekuatan militernya untuk tidak melakukan pelanggaran di wilayah kedaulatan negara lain, seperti yang pernah dilakukan Jet Tempur F-18 US Navy yang terbang dan melakukan manuver berbahaya di langit Bawean, Gresik, Jawa Timur (Jawa Timur).

Tidak perlu penjelasan mendetail jika langit di atas Kabupaten Gresik adalah wilayah kedaulatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Sebagai pengingat, pada 3 Juli 2003, jet tempur F-16 Fighting Falcon Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU)  sempat berhadapan dengan F/A 18 Hornet Angkatan Laut AS. Insiden berawal dari dideteksinya pergerakan lima F/A 18 Hornet AL AS di wilayah udara Indonesia oleh radar TNI-AU. Kelima jet tempur AS itu lepas landas (take off) dari kapal induk yang tengah berlayar di lautan yang diklaim AS sebagai perairan internasional. Setelah take off, kelima Hornet tersebut terbang dengan formasi tempur. 

Formasi tempur dan manuver yang membahayakan penerbangan internasional yang sedang melintasi wilayah udara Indonesia itu ternyata tidak dilaporkan apalagi disetujui oleh Air Traffic Controller (ATC) setempat.

Karena dinilai membahayakan, TNI-AU menerbangkan dua unit F-16 untuk melakukan identifikasi terhadap lima unit Hornet yang setelah sempat terdeteksi kemudian menghilang dari radar.    

Dua F-16 itu diterbangkan oleh Kapten Penerbang (Pnb) Ian Fuadi, dan Kapten (Pnb) Fajar Adrianto dengan sandi Falcon-1 beserta Kapen (Pnb) Tony Heryanto dan Kapten (Pnb) Satriyo Utomo yang memiliki sandi Falcon-2.

Misi para penerbang tempur yang take off dari Pangkalan TNI-AU (Lunud) Iswahjudi, Madiun, Jatim, tersebut adalah melakukan identifikasi visual. Namun untuk menghindari provokasi, mereka diinstruksikan untuk tidak mengunci (lock on) target. Dua rudal AIM-9 P4 Sidewinder dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 milimeter dipersiapkan sebagai persenjataan di F-16 untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk jika sampai terjadi duel di udara. 

Beruntung tidak sampai terjadi pertempuran di udara, elang-elang muda TNI-AU berhasil kembali mendarat di landasan Lanud Iswahjudi dan para penerbang tempur AL AS juga kembali ke kapal induk.    

Dari dua contoh kasus yang dikemukakan, ada sebuah pelajaran berharga dapat diperoleh para pemimpin dunia dari insiden pelanggaran wilayah kedaulatan sebuah negara. 

Sekuat atau secanggih apapun kekuatan perang yang dimiliki oleh suatu negara tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara lain. Baik RRT terhadap AS maupun AS terhadap Indonesia.

Karena tidak perlu diragukan lagi jika perdamaian dunia adalah cita-cita universal umat manusia di muka bumi. 

Tetapi bukan berarti cita-cita mewujudkan perdamaian dunia menjadikan sebuah negara menomorduakan pembangunan kekuatan angkatan perangnya.

Jangan lupakan sebuah peribahasa Latin yaitu “Si vis Pacem, Para Bellum” yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia  berarti “Jika kau mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang.”{}

Foto: U.S. Air Force/Tech Sgt. Ben Bloker

Share this

Baca
Artikel Lainnya