Pentingnya informasi yang disampaikan oleh intel memang tak terbantahkan. Semua pemimpin negara di dunia sangat membutuhkan info intel yang akurat. Di komunitas intel, akurasi informasi tertinggi dikenal dengan istilah A1.
Pada awal tahun, Pada Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan (Rapim Kemhan) 2023, Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi, melalui keterangan tertulis dari Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Rabu, 18 Januari 2023, meminta Kemhan menyampaikan informasi intelijen dengan cepat agar bisa digunakan untuk menentukan langkah mitigasi atas kejadian yang sudah diketahui sebelumnya.
Selain itu, Jokowi juga menekankan jika informasi intel merupakan sebuah kunci untuk menentukan langkah preventif di tengah situasi global yang tidak stabil. Oleh sebab itu, Jokowi meminta Kemhan mengorkestrasi informasi intelijen pertahanan dan keamanan (Hankam).
Di hadapan Menteri Pertahanan, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) beserta kepala staf dari tiga angkatan yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), Kapolri serta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Presiden yang didampingi Menteri Sekretaris Kabinet (Menseskab), mengatakan Indonesia memiliki sejumlah sumber informasi intelijen Hankam. Mulai dari TNI, Polri, BIN hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Tanpa perlu menunggu terlalu lama, instruksi Presiden Jokowi mengenai orkestrasi info intel Hankam langsung menuai kontroversi. Pro dan kontra langsung mengemuka.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia (DPR-RI), Mayor Jenderal Purnawirawan (Mayjen Purn) TB Hasanuddin seperti dikutip dari kompas.com mengemukakan jika tidak ada istilah atau peran orkestrator dalam dunia intelijen.
Menurutnya peran yang ada adalah koordinator sesuai dengan aturan pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Dalam pasal tersebut, BIN berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Amanat yang diberikan kepada BIN, katanya, diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara. Jadi menurutnya sudah jelas sesuai UU, BIN adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk melakukan koordinasi penyelenggara intelijen negara dan memadukan atau mensinkronisasi produk-produk intelijen penyelenggara intelijen negara di instansi lain untuk selanjutnya dilaporkan kepada presiden.
Namun mantan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan, Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan (Komjen Pol. Purn) Gories Mere mengatakan Kemhan memang perlu untuk memperoleh informasi intelijen.
Selain pendapat yang diutarakan oleh TB Hasanuddin yang kontra, maupun Gories Mere yang mendukung pernyataan Presiden Jokowi, masih banyak opini-opini lain yang dikemukakan oleh para pakar hingga aktivis terkait usulan orkestrasi info intel. Di sebuah negara demokratis seperti Indonesia, silang pendapat mulai dari yang mendukung hingga menyampaikan kritik merupakan bagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dihormati oleh semua pihak.
Namun agar pro-kontra yang mengemuka dapat menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menjadikan kehidupan berbangsa lebih maju, memang sebaiknya instruksi yang disampaikan presiden perlu dipertimbangkan. Tentu saja dengan tetap dengan menjadikan UU yang berlaku sebagai pijakan untuk melakukan perbaikan.
Bukankah revisi UU bukan sesuatu yang dilarang dalam konstitusi Indonesia? Bahkan Undang-undang Dasar 1945 juga mengalami amandemen seiring dengan dinamika dunia yang terjadi tanpa henti.
Terkait fungsi pertahanan yang sejak era reformasi bergulir dipisahkan dengan keamanan, berbagai dinamika memang terjadi mengikuti perjalanan sejarah Indonesia. Pemisahan Polri dari TNI yang sebelumnya menjadi satu institusi yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memang masih menyisakan berbagai permasalahan, salah satunya adalah persoalan intelijen. Bahkan jika mempelajari sejarah, persoalan yang terkait dengan dunia intelijen memang telah terjadi sejak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Permasalahan yang dihadapi memang belum selesai sepenuhnya hingga hari ini. Namun bukan berarti itu membuat bangsa Indonesia berkecil hati, karena di negara sebesar Amerika Serikat (AS) yang telah merdeka sejak 1776, persoalan yang dihadapi komunitas intelijen di negara adidaya tersebut ternyata tidak jauh berbeda. Ego sektoral antara Federal Bureau of Investigation (FBI) dengan Central Intelligence Agency (CIA) maupun National Security Agency (NSA) maupun dengan institusi-institusi intel lainnya di negeri Paman Sam hingga hari ini masih sering terjadi. Persoalan yang muncul biasanya terkait dengan pertukaran informasi hingga koordinasi apalagi menyangkut operasi bersama (joint operation).
Berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara-negara lain tentu saja sangat disayangkan apabila tidak dijadikan pelajaran oleh Indonesia. Namun jangan lupa juga untuk mempelajari permasalahan yang juga pernah dihadapi oleh komunitas intel di dalam negeri. Satu hal yang perlu segera diprioritaskan terkait institusi intel di tanah air mulai dari BIN, BSSN, TNI hingga Polri adalah koordinasi.
Karena hanya dengan koordinasi yang terus-menerus sekaligus intensif berbagai persoalan yang dihadapi cepat atau lambat akan terselesaikan. Mungkin yang dimaksud oleh Presiden dengan dengan mengorkestrasi adalah berkoordinasi sehingga informasi beserta analisa yang menjadi produk-produk intelijen dari berbagai institusi dapat disinergikan satu sama lain. {}
Foto: bin.go.id