Dok. TNI-AU
Kualifikasi Penerbang Tempur TNI-AU

Date

Veronica, penerbang tempur perempuan pertama di Indonesia baru saja diwisuda. Dia akan bertugas menjadi penerbang pesawat angkut taktis menengah CN-295.

Air mata Letnan Dua (Letda) Veronika Sidabutar menetes ketika orang tuanya menyematkan lencana penerbang di seragam berwarna biru langit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), pada Rabu, 11 Januari 2023. Perempuan asal Malang, Jawa Timur itu merasa bangga dirinya dapat menjadi perempuan penerbang tempur pertama di Indonesia.

Menurutnya seperti dikutip dari pemberitaan di berbagai media, selama ini belum ada pilot perempuan di Indonesia yang menjadi penerbang tempur. Hal itu disampaikannya pada saat Upacara Wingday Sekolah Penerbang TNI-AU Angkatan ke-101 dan Sekolah Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Angkatan keempat di Lapangan Jupiter, Pangkalan TNI-AU (Lanud) Adisutjipto, Yogyakarta. Setelah diwisuda, dia akan bertugas menjadi penerbang pesawat angkut taktis menengah CN-295.

Selain Veronica, Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU), Marsekal Fajar Prasetyo, juga mewisuda 36 penerbang lainnya. KASAU mengingatkan jika Wingday merupakan awal pengabdian seorang penerbang. Menurutnya untuk menjadi penerbang profesional pasti akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks di depan. Sehingga para penerbang diharapkan KASAU, seperti dikutip dari akun media sosial TNI-AU, perlu terus mengasah kemampuan dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Penerbang Tempur

Diwisudanya Veronica sebagai penerbang tempur perempuan pertama adalah sebuah kabar baik untuk dunia penerbangan di Indonesia terutama bagi TNI-AU. Penugasan Veronica sebagai pilot pesawat angkut taktis menengah CN-295 memang sempat menimbulkan pertanyaan mengingat kualifikasinya sebagai penerbang tempur. Namun pertanyaan yang muncul terkait dengan penugasannya pasti akan segera dijelaskan oleh TNI-AU.

Tulisan singkat ini hanya akan berupaya menjelaskan kualifikasi yang harus dimiliki penerbang tempur TNI-AU. Namun perlu juga disampaikan jika kemampuan para penerbang pesawat tempur di TNI-AU tidak jauh berbeda dengan pilot pesawat tempur di negara lain. Mengapa demikian? Karena jenis pesawat yang diterbangkan juga sama, sehingga keahlian sekaligus standar operasi untuk menerbangkannya tentu berlaku secara universal.

Persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh seorang penerbang tempur di TNI-AU tentu saja adalah kondisi fisik. Fisiknya harus berada dalam kondisi prima karena harus mampu menahan gaya gravitasi yang berat ketika menerbangkan pesawat tempur.

Seorang Taruna AU yang bercita-cita menjadi pilot militer dituntut mampu mengikuti pelajaran di Sekolah Penerbang (Sekbang) sesuai silabus yang kurang lebih dapat dipelajari dalam waktu sekitar 180 jam.

Pada fase selanjutnya, lulusan terbaik dari Sekbang akan dipilih untuk mengikuti Operational Conversion Unit (OCU). Sebagai informasi, OCU adalah sebuah unit dalam AU di suatu negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mendukung persiapan misi operasional pesawat terbang tertentu dengan menyediakan personel yang memiliki kompetensi.

Di TNI-AU, OCU dilaksanakan oleh Skadron Udara 15 Wing 3 Lanud Iswahjudi, Jawa Timur. Latihan di Lanud yang merupakan jantung pertahanan udara nasional tersebut diarahkan agar penerbang dapat mengenal berbagai manuver yang dapat dilakukan menggunakan pesawat tempur. Pada tahap inilah, instruktur mulai memberikan penilaian apakah para siswa mampu memenuhi persyaratan sebagai penerbang tempur. Penilaian yang diberikan terkait dengan performa fisik dan keterampilan (skill).

Performa fisik

Kondisi fisik seorang pilot tempur memang harus selalu diperhatikan karena sangat menentukan keterampilannya ketika terbang. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dapat melakukan manuver hingga mencapai sembilan kali gaya gravitasi bumi (9G). Artinya pilot yang menerbangkannya harus memiliki kemampuan untuk menahan berat yang mencapai sembilan kali lipat dari berat badannya sendiri.

Jadi misalnya jika kepala seorang penerbang F-16 beratnya mencapai dua Kilogram (Kg) ditambah helmet tempur dengan berat 1 Kg, maka pada saat melakukan manuver 9G, lehernya harus mampu menahan berat sekitar 3×9=27 Kg. Tidak hanya menahan berat, penerbang juga harus terus berpikir jika melihat musuh, baik sesama pesawat tempur di udara maupun artileri pertahanan udara (Arhanud) yang berada di darat.

Selain menahan berat badan dan terus menerus berpikir, jantung seorang penerbang tempur juga harus selalu memompa darah ke seluruh tubuh terutama ke bagian otak. Sebagai organ tubuh yang paling vital, otak harus tetap dalam kondisi sadar ketika seorang pilot sedang menerbangkan pesawat tempur. Itulah mengapa selain keterampilan dan kecerdasan, kondisi fisik sangat menentukan sekaligus diperhitungkan pada fase seleksi penerbang tempur.

Jadi tidak berlebihan jika KASAU pada saat Upacara Wingday mengharapkan sekaligus mengingatkan jika seorang penerbang harus mampu memenuhi berbagai kualifikasi ilmu maupun kemampuan. Sebagai seorang purnawirawan, saya yakin para penerbang yang baru diwisuda akan mampu menjadi elang-elang muda Angkatan Udara yang selalu siap siaga menjaga kedaulatan negara di langit Indonesia tercinta.{}

FOTO: TNI-AU





Share this

Baca
Artikel Lainnya