Foto: TNI AU
Embargo Suku Cadang Pesawat TNI-AU, Sebuah Pelajaran Bagi Indonesia

Date

Sebagai sebuah negara besar yang berdaulat, sudah waktunya Indonesia menghentikan ketergantungan alat utama sistem senjata (Alutsista).

Roda pesawat tempur F-16 menyentuh landasan Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, pada 12 Desember 1990.

Tiga unit Fighting Falcon mendarat dengan mulus di Pangkalan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) yang menjadi jantung pertahanan udara nasional Indonesia setelah melakukan penerbangan ferry dari Fort Worth, Dallas, Amerika Serikat (AS) 

Tiga elang tempur TNI-AU itu diterbangkan oleh tiga orang pilot dari Angkatan Udara AS/United States Air Force (USAF) dan seorang penerbang TNI-AU yaitu Mayor Penerbang (Pnb) Rody Suprasojo.

Penerbangan ferry dilakukan dari Forth Worth, Dallas ke Honolulu selama delapan jam dan delapan kali pengisian bahan bakar (air refueling). Setelah mendarat di Honolulu, sama seperti sebelumnya, penerbangan ke Guam dilakukan selama delapan jam dengan delapan kali air refueling.

Pada tahap terakhir, penerbangan menuju Lanud Iswahjudi dilakukan dalam waktu 5,5 jam dan melakukan lima kali pengisian bahan bakar.   

Sebanyak 12 pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dibeli Indonesia dari General Dynamics/Lockheed Martin Aircraft System yang berbasis di Kota Fort Worth,Texas, AS. Pembelian diketuai oleh Marsekal Pertama (Marsma) Sudjatio Adi melalui proyek “Bima Sena”.

Pada 13 Desember 1989, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Oetomo meresmikan F-16 sebagai pesawat yang memperkuat Skadron Udara 3 yang berada di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. 

F-16 datang ke Indonesia dalam tiga gelombang. Pertama pada 12 Desember 1989, kedua pada 7 Januari 1990 dan terakhir atau ketiga pada 22 September 1990.

Sejak 1988, Angkatan Udara telah mempersiapkan 180 personel untuk operasional Fighting Falcon. Mulai dari penerbang hingga teknisi. Empat penerbang yang telah mengantongi lebih dari seribu jam terbang dengan pesawat F-5 Tiger II diberangkatkan ke AS untuk menempuh pendidikan dan latihan.

Selain itu sebanyak 63 teknisi juga menyusul para penerbang ke AS setelah menjalani seleksi yang sangat ketat. Dikutip dari laman instagram TNI-AU, para teknisi berasal dari skadron teknik, tempur, avionic dan depo. 

Dimulainya Embargo 

Pada 12 November 1991, terjadi insiden berdarah di Dili, Timor Timur (Timtim), yang ketika itu masih menjadi bagian dari Indonesia. AS menuduh Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada tragedi yang menewaskan sekitar 250 pengunjuk rasa pro kemerdekaan Timtim.

Tanpa perlu menunggu lama, empat tahun kemudian, tepatnya pada 1995 dimulailah sanksi embargo AS terhadap Indonesia. 

Sejumlah armada TNI AU, mulai dari beberapa pesawat angkut berat C-130 Hercules, pesawat tempur F-5 Tiger buatan AS, hingga enam unit F-16 Fighting Falcon yang baru dibeli selama kurang lebih enam tahun tidak dapat diterbangkan karena embargo suku cadang.  Akibatnya kedaulatan negara di udara tentu saja terancam karena tidak dapat dilakukan penjagaan secara maksimal oleh TNI-AU. 

Tak hanya pesawat buatan AS, pesawat tempur Hawk milik TNI-AU buatan Inggris juga mengalami kendala operasional. Inggris yang merupakan produsen pesawat tempur taktis Hawk sekaligus negara sekutu AS juga turut melakukan embargo.

Tidak perlu lagi dijelaskan dengan panjang lebar dalam artikel singkat ini betapa mengenaskan kondisi TNI-AU ketika itu. Embargo baru berakhir setelah sepuluh tahun berjalan, tepatnya pada 2005. 

Namun perlu diketahui, pada 24 Desember 2004 ketika terjadi bencana gempa bumi yang disusul gelombang tsunami di Aceh, TNI-AU tidak dapat berbuat banyak untuk memberikan dukungan dalam upaya tanggap darurat bencana.

Penyebabnya adalah pesawat angkut berat yaitu C-130 Hercules yang dapat diterbangkan pada saat itu hanya tinggal satu unit akibat embargo AS yang telah memasuki tahun kesembilan. Akhirnya pada 2005 embargo non lethal equipment dicabut.

Selain itu, sebelum embargo berakhir, Indonesia juga telah melakukan sebuah langkah strategis yang sama sekali tidak diduga oleh negara-negara barat yaitu membeli pesawat tempur sergap jenis Sukhoi dari Rusia. 

Pelajaran Bagi Indonesia

Dari uraian singkat yang telah dikemukakan, maka sepertinya  tidak berlebihan jika Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat harus berani mengambil keputusan untuk membangun angkatan perangnya menggunakan kekuatannya sendiri. Baik di matra darat, laut maupun udara.

Kerja sama yang dilakukan dengan Korea Selatan (Korsel) dalam mengembangkan pesawat jet tempur siluman generasi 4,5 yang dikenal dengan KF-21 Boramae adalah sebuah langkah awal yang harus dilanjutkan.

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono telah memulai kerja sama tersebut. Selanjutnya Presiden ketujuh Joko Widodo juga melanjutkan yang telah dilakukan pendahulunya. Semoga Presiden RI kedelapan yang akan terpilih pada 2024 nanti dapat merumuskan kebijakan serupa.

Karena sebagai sebuah negara besar yang berdaulat, sudah waktunya Indonesia menghentikan ketergantungan alat utama sistem senjata (Alutsista). Baik kepada negara-negara blok barat  yang didominasi oleh AS dan sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization (NATO) maupun Rusia dan sekutunya yang tengah membentuk poros baru usai berakhirnya perang dingin pada akhir abad lalu. {}       

Foto: TNI AU

Share this

Baca
Artikel Lainnya