Kudus di awal 70-an hanyalah sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang digerakkan oleh industri rokok kretek. Tidak banyak informasi yang dimiliki para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di masa itu, termasuk referensi cita-cita. Banyak siswa SMA yang masih kebingungan ini melanjutkan sekolah apa, atau bekerja sebagai apa. Di kota kretek yang terletak di timur laut Semarang itu, cita-cita yang tergolong tinggi pun serupa. Apabila tak jadi dokter, ya jadi insinyur.
Suatu hari, sebuah pesawat terbang di langit Kudus. Terlihat kecil dari darat namun sanggup memaku perhatian para siswa SMA yang menatap ke langit tersebut. Tebersit keinginan untuk dapat menerbangkan pesawat dan akhirnya bercita-cita menjadi seorang pilot. Ya, mereka adalah saya dan teman-teman.
Tanpa perlu menunggu lama, kami segera pontang-panting mencari informasi kesana-kemari. Rupanya ada dua jalur yang dapat ditempuh jika ingin menjadi pilot di masa itu. Pertama, jika ingin menjadi pilot atau penerbang sipil dapat mendaftar di Yogyakarta dengan persyaratan harus menguasai Bahasa Inggris dengan baik. Kedua menjadi pilot angkatan udara melalui jalur pendidikan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Udara.
Persyaratan mahir berbahasa Inggris untuk menjadi penerbang sipil di masa itu masih menjadi tantangan tak mudah bagi kebanyakan lulusan SMA di masa itu. Sementara jika memutuskan untuk menjadi penerbang militer juga tidak berarti menjadi lebih mudah karena harus melalui berbagai jenis ujian/tes sebelum akhirnya dapat diterima di Akabri Udara dan menjadi penerbang.
Akhirnya kami sepakat mendaftar menjadi taruna di Akabri Udara. Bersama beberapa teman satu sekolah di SMA Negeri (SMAN) Kudus, kami mulai mengurus surat-surat untuk memenuhi persyaratan pendaftaran. Setelah mendaftar, dimulailah proses seleksi, mulai dari tes kesehatan, fisik hingga psikologi (psikotes).
Pada saat menjalani tes, teman-teman mulai berguguran satu per satu. Pada akhirnya tinggal saya dan seorang teman yang berhasil melalui seluruh tes yang dilakukan. Kami berdua mulai menempuh pendidikan di Akabri Umum yang berada di Magelang, Jawa Tengah.
Puluhan tahun kemudian, ketika berkesempatan menelusuri kembali jalan panjang dari Kudus menuju ke Magelang sejauh kurang lebih 135 kilometer, ingatan tentang masa-masa SMA sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke Akabri Udara kembali hadir dalam pikiran.
Pikiran yang pada akhirnya menghasilkan pertanyaan; apa yang dapat dilakukan, agar generasi mendatang di Kudus tidak bernasib sama seperti generasi terdahulu?
Beberapa jawaban dapat dikemukakan terkait dengan pertanyaan di atas.
Pertama, untuk memberi informasi kepada generasi penerus, para taruna di Akabri dapat memanfaatkan kunjungan-kunjungan ke berbagai sekolah pada saat cuti selama menjalani pendidikan. Ketika diberi cuti itulah, kami berbagi pengalaman mulai dari bagaimana proses pendaftaran di Akabri hingga seperti apa latihan-latihan yang harus dijalani setelah diterima. Upaya tersebut dilakukan karena keterbatasan informasi di daerah-daerah tertentu seperti di kota-kota kecil mengenai apa yang harus dipersiapkan ketika ingin mendaftar ke Akabri Udara bagi mereka yang bercita-cita menjadi penerbang.
Kedua, perlu dijelaskan kepada para siswa SMA jika setelah diputuskan lolos seleksi dan diterima sebagai taruna Akabri, maka harus segera harus masuk asrama. Jadi taruna tidak diizinkan untuk pulang atau keluar pada waktu menjalani latihan dasar kemiliteran selama enam bulan. Kebijakan tersebut ternyata sangat baik karena bertujuan agar para taruna saling mengenal satu sama lain karena cepat atau lambat akan menjadi partner ketika menjalankan tugas. {}
Foto: Dokumen Pribadi