Dok. Dispen TNI AU
F-16 TNI-AU, Sebuah Pelajaran Berharga untuk Industri Pertahanan Indonesia

Date

Jauh sebelum Kemenhan RI merilis regulasi tentang Imbal Dagang, Kandungan Lokal dan Ofset pada 2015, pemerintah RI telah menerapkannya pada saat membeli satu skadron F-16 pada 1985 atau 30 tahun sebelum Permenhan dirilis.

Pada pertengahan 1980, tepatnya 1985, Pemerintah Republik Indonesia (RI) memutuskan untuk membeli satu skadron pesawat tempur (fighter aircraft) yang terdiri dari 12 unit pesawat F-16 untuk memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU).

Sebelum menjatuhkan pilihan kepada F-16 buatan Amerika Serikat (AS), sebenarnya pada waktu itu RI memiliki pilihan lain yaitu Mirage 2000 yang merupakan pesawat tempur produk Perancis.

Namun mengapa Indonesia justru memilih F-16 dan bukan Mirage 2000?

Dalam sebuah diskusi yang digelar Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) di sela-sela Pameran Indo Defence 2022, pada Jumat, 4 November 2022, Ketua Bidang Kajian Industri Pertahanan Forkominhan, Fajar Harry Sampurno, mengungkapkan jika pilihan tersebut diambil bukan karena kehebatan atau superioritas F16, namun disebabkan oleh ofset.

Sebagai informasi, ofset adalah pengaturan antara Pemerintah RI dan Penyedia Alpalhankam dari luar negeri untuk mengembalikan sebagian nilai kontrak kepada negara pembeli, dalam hal ini Negara Republik Indonesia sebagai salah satu persyaratan jual beli.

Pada saat ini, mekanisme ofset diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan (Menhan) RI Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Imbal Dagang, Kandungan Lokal dan Ofset dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri.

Fajar yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak 2015 hingga 2019, juga menyampaikan jika General Dynamics yang merupakan produsen F-16, memberikan Indonesia sebesar 35 persen dari nilai yang telah dibeli dalam bentuk ofset.

Made in Bandung

Ofset yang diberikan General Dynamics pada PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) yang pada 1985 masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), berupa pemberian pekerjaan pembuatan weapons pylon.

Perlu diketahui weapons pylons adalah instalasi kelengkapan pesawat tempur untuk membawa senjata atau misil hingga tangki cadangan bahan bakar pesawat tempur. Biasanya terletak di bawah perut (body) pesawat.

Hingga saat ini, menurut Fajar, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT. Barata pada 2019 hingga 2021, masih ada 1500 weapon pylon buatan IPTN yang diproduksi di Bandung, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat.

Jadi, jauh sebelum Kemenhan RI merilis regulasi tentang Imbal Dagang, Kandungan Lokal dan Ofset pada 2015, pemerintah RI telah menerapkannya pada saat membeli satu skadron F-16 pada 1985 atau 30 tahun sebelum Permenhan dirilis.

Namun perlu ditegaskan, ofset bukan berarti Indonesia akan memproduksi sendiri pesawat tempur yang dibeli dari negara lain. Misalnya F-16 Fighting Falcon “made in” Bandung. Sebesar 35 persen dari nilai pembelian yang dilakukan oleh Indonesia dapat menjadi pendapatan (revenue) bagi industri pertahanan (inhan) di dalam negeri. Contohnya adalah revenue yang berhasil diperoleh IPTN ketika dilakukan pembelian F-16 oleh Pemerintah RI pada 1985.

Pelajaran untuk Indonesia

Berdasarkan pengalaman yang telah dikemukakan di atas, jika ingin mempelajari tentang ofset di bidang Alpalhankam, Indonesia sebenarnya tidak perlu jauh-jauh untuk belajar ke negara-negara lain.

Pemerintah RI cukup mempelajari sejarahnya sendiri pada melakukan pembelian F-16 yang hingga saat ini masih dipergunakan oleh TNI-AU untuk menjaga kedaulatan negara di langit Indonesia.

Sebelum mengakhiri artikel singkat ini, sepertinya perlu kembali dikemukakan yang pernah disampaikan oleh Sang Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Karno, agar “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jas Merah)”. {}


Foto: Dok. Dispen TNI AU








Share this

Baca
Artikel Lainnya