Dok. Korean Aerospace Industries
Pesawat Tempur Buatan Indonesia dan Optimisme Menteri Pertahanan

Date

Jika Indonesia terbukti mampu memproduksi pesawat tempur bersama Korsel, maka daya saing industri, baik industri dirgantara maupun pertahanan juga akan meningkat.

Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pernah mengutarakan jika sistem pertahanan Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan alat utama sistem senjata (alutsista) buatan luar negeri.

Menhan yakin jika di masa depan, Indonesia akan memiliki sejumlah peralatan tempur canggih buatan bangsa sendiri. Keyakinan itu dikemukakannya di Gedung Puri Ardhya Garini, Kompleks Pangkalan Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa, 8 November 2022.

Menhan mengungkapkan ada sejumlah alutsista buatan Indonesia yang tengah dirintis. Salah satunya adalah pengembangan jet tempur Korea Fighter eXperiment-Indonesia Fighter eXperiment (KFX-IFX) bersama Korea Selatan (Korsel).

Menurutnya jika proyek pengembangan jet tempur itu selesai, Indonesia dapat menghemat biaya belanja alutsista. Sebab, jika dihitung, pengeluaran untuk KFX-IFX itu sekitar USD 60 juta atau setengah dari harga jet tempur Dassault Rafale.

Memperkuat Daya Gentar

Tak hanya kalkulasi keuangan negara, jika Indonesia dapat memproduksi pesawat tempur bersama dengan Korsel, maka eksistensinya akan semakin diperhitungkan oleh negara-negara yang terletak di kawasan. Baik di Asia Tenggara maupun di benua Asia.

Selain itu, daya gentar (deterrent effect) Indonesia menjadi lebih tinggi terhadap negara-negara yang mungkin berseberangan. Artinya sebelum merumuskan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi hingga pertahanan-keamanan yang berkaitan dengan Indonesia, negara-negara yang berseberangan atau tidak sejalan akan lebih berhati-hati.

Jika Indonesia terbukti mampu memproduksi KFX/IFX yang kini bernama KF-21 Boramae bersama dengan Korsel, maka daya saing industri, baik industri dirgantara maupun pertahanan juga akan meningkat. Sebagai informasi, pada awal kolaborasi dilakukan oleh kedua negara, target Indonesia adalah meningkatkan level teknologi kesiapsiagaan (technology readiness level/TRL) PT. Dirgantara Indonesia (PTDI). Ketika kerja sama dimulai, technology readiness level Indonesia kurang lebih berada di angka tiga. Kemudian setelah menyelesaikan fase teknologi, readiness level bisa naik menjadi 4,5.

Setelah kerja sama pembuatan pesawat tempur dimulai, diharapkan TRL bisa mencapai angka tujuh. Target tersebut tentu harus diraih karena tidak berlebihan, bahkan sangat realistis bagi sebuah negara yang telah mampu memproduksi pesawat tempurnya sendiri. Tak hanya kenaikan TRL, Indonesia juga akan mengalami peningkatan level pembuatan/manufaktur yang dikenal dengan Manufacturing Readiness Level (MRL) pesawat tempur.

Jadi selain kemampuan memproduksi pesawat tempur maupun suku cadang/onderdil, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan operasional dan pemeliharaan (maintenance). Karena sebagai mitra, tentu Indonesia harus mengetahui agar dapat meningkatkan kemampuan operasional dan maintenance.

Sehingga ke depan atau pada tahap selanjutnya, Indonesia mampu melakukan analisa dan dapat melakukan pengembangan/upgrade. Jika itu semua telah tercapai, harapan dan keyakinan Menhan yang diutarakan pada seminar Nasional yang digelar TNI-AU bertajuk “Tantangan TNI-AU dalam Perkembangan Teknologi Elektronika Penerbangan” bahwa Indonesia akan memiliki alutsista canggih buatan dalam negeri pasti akan menjadi kenyataan.

Namun jangan mengubah optimisme menjadi pesimisme dengan mengemukakan cita-cita tersebut cepat atau lambat akan tercapai.

Mengapa demikian? Karena pada saat ini kerja sama Indonesia dengan Korsel masih terus berjalan sesuai dengan rencana (on the right track). Jadi tidak ada pilihan lain, Indonesia harus mengambil jalur cepat dan bukan jalur lambat untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain di kawasan. {}

Share this

Baca
Artikel Lainnya