Dok. TNI AU
Kendala Perawatan Pesawat Tempur TNI Angkatan Udara

Date

Perkembangan alutsista seiring dengan kemajuan iptek dan revolusi industri 4.0 juga harus diikuti dengan kemampuan manajerial yang baik sejak dari tahap perencanaan agar tidak menjadi beban ketika memasuki level pemeliharaan

Sejak awal proses perencanaan, perlu dipersiapkan langkah antisipasi terkait persoalan ketersediaan dana pemeliharaan pesawat terbang sebagai sub sistem dari alat utama sistem persenjataan (alutsista). Hal itu dikemukakan oleh Marsekal Purnawirawan (Purn.) Chappy Hakim, dalam presentasinya ketika menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Kemandirian Komando Pemeliharaan Materiil Angkatan Udara (Koharmatau) Menghadapi Perkembangan Alustsista di Masa Mendatang”.

Seperti dikutip dari www.chappyhakim.com, pada seminar yang digelar di Markas Komando (Mako) Koharmatau, Bandung, Rabu, 19 Oktober 2022, Marsekal Chappy Hakim yang kini menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) mengingatkan jika pengalaman Indonesia selama ini, unsur pemeliharaan masih kurang memperoleh perhatian yang memadai dalam proses perencanaan pengadaan alutsista yang baru.

Selain harus dipersiapkan sejak awal atau pada tahap perencanaan, juga ada hal penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan Alutsista yaitu jangan terlalu banyak jenis dan sumbernya. Sebagai informasi, saat ini Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) memiliki pesawat tempur yang berasal dari enam negara,

Bae Hawk

Merupakan pesawat tempur ringan, berfungsi sebagai pesawat latih lanjut. Diproduksi oleh British Aerospace, Inggris pada 1977. Indonesia memiliki tiga seri yaitu seri 50,100 dan 200. Kecepatan maksimal pesawat mencapai 1028 kilometer (km) per jam dengan ketinggian maksimal 13,5 km.

Rudal dan berbagai jenis bom dari udara ke darat (air to ground)

dapat diterbangkan pesawat sebagai senjata tambahan. Sejak 2015, Hawk seri MK-53 sudah tidak diterbangkan oleh para pilot tempur TNI-AU. Namun hingga hari ini, Hawk seri 109 dan 209 masih dioperasikan.

TNI-AU mulai mengoperasikan Hawk seri MK-53, merupakan versi ekspor untuk Indonesia dari seri Hawk-50. Pembelian dilakukan sebanyak 20 unit sejak 1980 hingga 1984. Pembelian berlanjut pada 1997 ketika Indonesia kembali mendatangkan Hawk seri 100 dan 200 berkode angka 9 yang di Indonesia dikenal dengan seri 109 berkursi ganda dan 209 berkursi tunggal.

Hawk TNI-AU ditempatkan di Skadron Udara 1 Pangkalan Udara (Lanud) Supadio, Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dan Skadron Udara 12 Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau di Pulau Sumatra.

F16 Fighting Falcon

Pada awalnya, pesawat tempur legendaris buatan Amerika Serikat ini diproduksi General Dinamics. Namun pada 1993, pesawat F16 dibeli oleh produsen alutsista, Lockheed Martin. Memiliki kecepatan terbang maksimal 2120 km/jam dan dapat mencapai ketinggian maksimal 15 km.

F16 Fighting Falcon adalah pesawat multiperan (multirole). Dapat digunakan untuk serangan dari udara ke udara (air to air) maupun dari udara ke darat (air to ground).

TNI-AU sejak 1989 mengoperasikan 12 unit F16. Kemudian pada 2012, Indonesia memperoleh hibah 24 unit F16 dari Angkatan Udara Amerika Serikat/United States Air Force (USAF) sebanyak 24 unit. F16 TNI-AU ditempatkan di Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur dan Skadron Udara 16 Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau.

T 50-I Golden Eagle

Sama dengan Hawk buatan Inggris, T 50-I Golden Eagle produk Korea Selatan (Korsel) adalah pesawat tempur ringan yang merupakan pesawat tempur latih lanjut. T 50-I adalah hasil kolaborasi Korean Aerospace Industry bersama dengan Lockheed Martin pada akhir tahun 1990-an.

Kecepatan maksimal Golden Eagle adalah 2.640 km/jam dengan ketinggian maksimal 14.6 km. Total berat senjata yang dapat diangkut mencapai 3,7 ton.

Indonesia membeli T-50 I pada 2011 untuk menggantikan Hawk MK-53, yang tidak lagi dioperasikan pada 2015. Pesawat T-50 I milik AU ini ditempatkan di Skadron 15 Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur.

Super Tucano

Selain pesawat tempur bermesin jet, Indonesia juga memiliki EMB-314 yang dikenal dengan A29 atau Super Tucano. Pesawat dengan alat penggerak baling-baling tersebut adalah buatan Brasil. Mulai diproduksi masal pada 2003, Super Tucano dapat dipergunakan untuk melakukan pengintaian dan melakukan serangan darat (air to ground) atau anti gerilya. Namun tidak dapat digunakan untuk melakukan serangan dari udara ke udara (air to air)

Super Tocano memiliki kecepatan maskimal 590 km/jam dan ketinggian maksimum 10 km. Dapat mengangkut beragam jenis persenjataan, mulai dari bom cluster, rocket pod FFAR, hingga berbagai jenis rudal. Berat senjata yang dapat diterbangkan adalah 1,5 ton.

Super Tucano TNI-AU ditempatkan di Skadron Udara 1, Lanud Abdurrahman Saleh, Malang, Jawa Timur.

Sukhoi

Pesawat tempur produk Rusia, didesain untuk merebut keunggulan di udara (air superiority). Namun sebagai pesawat multi peran (multi role), Sukhoi juga dapat dioperasikan untuk melakukan serangan darat. Dilengkapi dengan beragam persenjataan, dapat mengangkut bom dan rudal seberat 8,2 ton.

Mulai dilirik oleh Indonesia sejak dioperasikan oleh Angkatan Udara Uni Soviet pada 1985. Namun karena berbagai kendala seperti krisis moneter pada awal 1998, empat unit Sukhoi yang terdiri dari dua unit SU27 Sk dan dua unit SU 30 Mk baru bisa didatangkan pada 2003.

Mulanya, Indonesia telah lama menaksir jenis pesawat yang sebelumnya dipergunakan Angkatan Udara Uni Soviet pada tahun 1985 ini. Namun, masa krisis moneter menyebabkan Indonesia baru bisa mendatangkan 4 Sukhoi pada tahun 2003, masing-masing dua unit SU-27 Sk yang hanya memiliki satu tempat duduk dan dua unit SU-30 Mk yang memiliki dua tempat duduk. Kemudian pada 2014, Indonesia kembali membeli enam unit pesawat Sukhoi berjenis SU 30 Mk2.

Jadi pesawat tempur yang oleh Negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization (NATO) diberi julukan Flanker, yang dioperasikan TNI-AU totalnya berjumlah 16 unit. Home base Flanker berada di Skadron Udara 11 Lanud Hasanuddin, Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).

Rafale

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia (RI) memesan 42 unit Dassault Rafale dari Prancis. Sebanyak 30 varian memiliki kursi tunggal dan 12 varian berkursi ganda. Penandatanganan kesepakatan dilakukan pada awal Februari 2022. Enam unit pesawat produk negara Anggur itu akan tiba di Indonesia kurang lebih dalam rentang waktu 4,5 tahun sejak penandatanganan kesepakatan dilakukan oleh kedua negara.

Armada pesawat tempur dari enam negara berbeda seperti yang telah dikemukakan, tentu mempersulit dukungan terkait dengan pemeliharaan, apalagi anggaran yang dimiliki terbatas. Jadi sebaiknya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, maka ke depan sebaiknya yang menentukan pesawat tempur jenis apa yang akan dibeli sebaiknya diserahkan kepada TNI-AU sebagai pengguna pada level hilir atau terakhir (end user) dan bukan kepada Kemenhan.

Tidak hanya di TNI-AU, Kemenhan sebaiknya juga menyerahkan proses pengadaan Alutsisa matra laut kepada TNI-Angkatan Laut (AL). Begitu juga pengadaan alutsista di matra darat yang idealnya juga dipercayakan kepada TNI-Angkatan Darat (AD). Jadi memang seharusnya Kemenhan cukup berperan sebagai kementerian yang mengoordinasikan pengadaan alutsista pada masing-masing matra sebagai end user.

Kembali ke matra udara, menjadi menarik untuk mengutarakan pernyataan Komandan Koharmatau, Marsekal Muda (Marsda) TNI Eddy Supriyono ketika membuka seminar yang digelar untuk memperingati ulang tahun ke-59 Koharmatau. Eddy mengemukakan seiring dengan perkembangan lingkungan strategis, ilmu pengetahuan dan terknologi (iptek) serta tantangan di era revolusi industri 4.0, perkembangan alutsista akan semakin canggih.

Menurutnya, Koharmatau sebagai leading sector di bidang pemeliharaan memiliki peran strategis serta memikul tanggung jawab yang semakin berat. Eddy mengatakan itu tanggung jawab itu harus dikerjakan sebaik mungkin karena Koharmatau adalah satu-satunya Komando Utama (Kotama) di lingkungan TNI yang memiliki kemampuan pemeliharaan alutsista sampai dengan pemeliharaan tingkat berat.

Jadi perkembangan alutsista seiring dengan kemajuan iptek dan revolusi industri 4.0 juga harus diikuti dengan kemampuan manajerial yang baik sejak dari tahap perencanaan agar tidak menjadi beban ketika memasuki level pemeliharaan. {}

Foto: Dok. TNI AU

Share this

Baca
Artikel Lainnya