Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Wamenhan RI), Muhammad Herindra, mengatakan kepada Menteri Pertahanan Korea Selatan (Korsel), Yang Mulia Lee Jong-Sup, dan Menteri Defense Acquisition Program Administration, Mr Eom Dong Hwan, jika kesuksesan uji terbang (flight test) dari KF-21 Boramae merupakan bentuk nyata keberhasilan pengembangan pesawat tempur, dan merupakan sebuah progres yang sudah lama ditunggu.
Seperti dikutip dari laman Facebook Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, pernyataan tersebut dikemukakan oleh Wamenhan RI ketika menghadiri Ceremony of Celebration of Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX) di Sacheon Air Base, Korea Selatan, Rabu, 28 September 2022.
Wamenhan juga menilai jika Program Pengembangan KFX/IFX merupakan salah satu program nasional yang memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia, karena bertujuan memenuhi kebutuhan pesawat tempur TNI AU untuk periode 2025 – 2040.
Oleh karena itu, terkait proses alih teknologi yang telah disepakati bersama, Wamenhan mengharapkan agar dapat berjalan selaras dengan syarat operasional sebuah alat utama sistem persenjataan (alutsista), untuk mendukung cita-cita Indonesia dalam mengembangkan dan memanfaatkan Industri Pertahanan Nasional.
Indonesian menargetkan mengirim 100 personel engineer, yang secara rotasi akan mengikuti program di Korsel. Program tersebut menurut Wamenhan telah dimulai sejak September 2021 dan diharapkan selesai pada pertengahan 2026.
Bertempat di Kantor Pusat PT KAI di Sacheon Air Base, Korea Selatan, Wamehan juga sempat bertemu dan memberikan arahan serta semangat kepada 37 personel engineer dari Indonesia ini. Menurutnya
Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan program Pengembangan Bersama Pesawat Tempur KFX/IFX, dan meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan antara pemerintah RI dengan Republic of Korean (ROK).
Komitmen Indonesia
Dari berita yang disadur dan telah dikutip oleh berbagai media digital di Indonesia tersebut, terlihat jelas jika Indonesia kembali menegaskan komitmennya sebagai mitra strategis Korsel untuk mengembangkan KF-21 Boramae. Bendera nasional Korsel, Taegeukgi, dan Sang Saka Merah Putih, bendera kebangsaan Indonesia yang terletak tepat di bawah kokpit KF-21 menunjukkan jika kedua negara adalah mitra strategis.
Satu hal penting yang perlu dikemukakan sekaligus dapat ditetapkan sebagai tujuan nasional, jika terbukti dapat memproduksi pesawat tempur bersama dengan Korsel, maka eksistensi Indonesia akan semakin diperhitungkan. Baik di kawasan Asia Tenggara maupun benua Asia hingga dunia.
Namun yang jauh lebih penting, daya gentar (deterrent effect) Indonesia sebagai negara yang terdiri dari sepertiga kawasan daratan, dua pertiga wilayah lautan dan tiga per tiga area dirgantara akan menjadi lebih tinggi terhadap negara-negara yang mungkin berseberangan. Baik negara-negara tetangga yang berada dalam satu kawasan maupun negara-negara lain yang berada jauh di luar kawasan.
Artinya sebelum merumuskan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi hingga pertahanan-keamanan yang berkaitan dengan Indonesia, negara-negara yang berseberangan atau tidak sejalan tentu akan lebih berhati-hati sekaligus mempertimbangkan berbagai keuntungan hingga kerugian yang akan diperolehnya.
Tak hanya memperkuat daya gentar, jika Indonesia terbukti mampu memproduksi KF-21 bersama dengan Korsel, maka daya saing industri, baik industri dirgantara maupun pertahanan juga akan meningkat.
Pada awal kolaborasi dilakukan oleh kedua negara, target Indonesia adalah meningkatkan level teknologi kesiapsiagaan (technology readiness level/TRL) terkait dengan penguasaan teknologi dari PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Ketika kerja sama dimulai, TRL Indonesia kurang lebih berada di angka tiga. Kemudian setelah menyelesaikan fase teknologi, readiness level bisa naik menjadi 4,5.
Diharapkan setelah kerja sama pembuatan pesawat tempur dimulai, TRL bisa mencapai angka tujuh. Target tersebut tentu harus diraih karena tidak berlebihan, bahkan sangat realistis bagi sebuah negara yang telah mampu memproduksi pesawat tempurnya sendiri. Tak hanya kenaikan TRL, Indonesia juga akan mengalami peningkatan level pembuatan/manufaktur Manufacturing Readiness Level ( MRL ) pesawat tempur.
Jadi selain kemampuan memproduksi pesawat tempur maupun suku cadang/onderdil, Indonesia juga harus meningkatkan kemampuan operasional dan pemeliharaan (maintenance). Karena sebagai mitra, tentu Indonesia harus mengetahui agar dapat meningkatkan kemampuan operasional dan maintenance. Sehingga ke depan atau pada tahap selanjutnya, Indonesia mampu melakukan analisa dan dapat melakukan pengembangan/upgrade.
Semoga kerja sama kedua negara di masa depan dapat terus dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan awal. Karena sudah tidak perlu dijelaskan dengan panjang lebar lagi seperti apa keuntungan yang akan diperoleh kedua negara.
Sebagai sebuah negara berdaulat yang wilayahnya terdiri dari sepertiga daratan, dua pertiga lautan dan tiga per tiga udara, tentu saja Indonesia sebagai negara mitra strategis harus memperoleh transfer pengetahuan (transfer of knowledge) agar kelak di masa depan dapat menjadi negara maju yang menguasai teknologi tinggi yang modern (high modern technology). Karena jika sudah memiliki pengetahuan dan menguasai teknologi, maka selanjutnya Indonesia dapat secara mandiri melakukan pemeliharaan sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk menjaga kesiapsiagaan pesawat tempurnya lebih efisien (cost saving maintenance).
Kemudian yang terakhir dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki 100 engineer yang terlibat aktif dalam program kerja sama di Korea Selatan, diharapkan nantinya Indonesia dapat melakukan pemutakhiran (upgrading) KF-21 Boramae secara mandiri.
Semoga semua harapan tersebut dapat terealisasikan. Karena masa depan Indonesia Raya ada di dunia dirgantara dan hanya dapat diraih apabila semua pemangku kepentingan (stakeholder) dapat bersinergi dan berkolaborasi satu sama lain. {}
Foto: Korea Aerospace Industries