Pembangunan industri pertahanan di Indonesia telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika Indonesia masih menjadi negara jajahan bernama Hindia Belanda, pengembangan industri pertahanan telah dilakukan di tiga matra. Mulai dari matra darat yang kini dikenal dengan PT Pindad (Persero), matra laut yang sekarang dikenal dengan PAL Indonesia (Persero) hingga matra udara yang pada saat ini diketahui sebagai PT Dirgantara Indonesia/PTDI (Persero).
Industri pertahanan di Indonesia selalu berjalan seiring dengan dinamika sejarah bangsa, termasuk pasang surutnya. Pada ahir era 1980-an, industri pertahanan mulai dari Pindad, PAL Indonesia hingga PTDI dan PT Dahana sebagai produsen bahan peledak sempat mengalami masa keemasan. Seperti dikutip dari laman Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), era terbaik tersebut terjadi pada saat seluruh industri tersebut dikonsolidasikan di bawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). BPIS dibentuk sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59 tahun 1989 agar lebih efisien dan kompetitif di pasar global.
Namun krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan akhirnya menerjang Indonesia pada 1997 menjadikan Industri Pertahanan Nasional mengalami stagnasi. Penyebabnya adalah dalam rangka melakukan upaya penyelamatan keuangan negara, Presiden Republik Indonesia Kedua, Soeharto, menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF).
Salah satu prasyarat LOI IMF adalah menghentikan pendanaan negara atas industri strategis nasional dan peningkatan nilai saham yang dilepas ke publik. Tidak adanya kontrol pemerintah akibat hilangnya saham mayoritas yang dimiliki menjadikan industri-indusri strategis tersebut melakukan diversifikasi usaha yang lebih mengarah pada produksi peralatan-peralatan sipil sebagai upaya survival akibat kondisi keuangan internal yang sangat memprihatinkan.
Salah satu upaya untuk mengembalikan kemampuan Industri pertahanan nasional dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap Alat Peralatan Pertahanan Keamanan (Alpalhankam) buatan luar negeri, pernah dilakukan oleh Kabinet Indonesia Bersatu I pada era pemerintahan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY.
Pada awal pemerintahannya, SBY mulai menjadikan industri pertahanan sebagai prioritas pembangunan. Pemerintah SBY mengakomodasi dan memberi peluang besar bagi keterlibatan pihak swasta dalam kegiatan Industri Pertahanan. Upaya tersebut dilanjutkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang menghasilkan Perpres No.42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Tak berhenti pada tataran Perpres, upaya dilanjutkan dengan disahkannya Undang-undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, dan produk-produk perundang-undangan lainnya.
Undang-undang Nomor 16 tahun 2012 membuka peluang yang sangat besar sekaligus menjadi akselerator bagi pemberdayaan dan pertumbuhan berbagai industri. Mulai dari industri padat modal, padat karya dan padat teknologi untuk bergerak di sektor Industri Pertahanan. Industri pertahanan nasional hingga saat ini masih belum mampu menopang kebutuhan Alpalhankam secara maksimal.
Namun diharapkan melalui penerapan Undang-undang Nomor 16 tahun 2012 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya secara konsisten maka cita-cita untuk memiliki Industri Pertahanan yang maju, kuat, mandiri dan berdaya saing akan dapat segera terealisasi.
Jika cita-cita itu dapat diwujudkan menjadi kenyataan, maka pada akhirnya akan bermuara pada terwujudnya kemandirian pemenuhan kebutuhan Alpalhankam. Kebutuhan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) maupun Angkatan Udara (AU) hingga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) serta seluruh Kementerian atau Lembaga-lembaga negara lainnya.{}