Boramae, Sang Penjaga Kedaulatan Udara Indonesia

Date

Kerja sama dalam ranah pengembangan teknologi tinggi juga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional karena dapat membuka lapangan pekerjaan di Indonesia.

Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU), Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah, mengemukakan ke depan, TNI-AU akan mendatangkan pesawat tempur generasi 4,5 seperti Rafale dan Prancis, F-15 dari Amerika Serikat dan juga KFX.

Rencana strategis tersebut dikemukakan Indan dalam wawancara eksklusif dengan Majalah Berita Mingguan Gatra untuk Edisi Khusus yang bertajuk “Jalan Panjang Industri Pertahanan”.

Khusus tentang KFX, Indan memberi catatan khusus jika pesawat tempur tersebut adalah hasil kerja sama dengan pemerintah Korea Selatan (Korsel).

Pada awalnya kerja sama kedua negara yaitu Korsel dengan Republik Indonesia (RI) memang ditujukan untuk menjawab kebutuhan pesawat tempur bagi Republic of Korean Air Force dan Tentara Nasional Indonesia. Jadi sejak awal pesawat memang didesain untuk kebutuhan pertahanan udara kedua negara.

Bagi Indonesia, kerja sama sangat bermanfaat karena dapat menjadi sebuah langkah awal bahkan lompatan besar untuk menguasai teknologi tinggi.

Terkait dengan kebutuhan pesawat tempur untuk menjaga kedaulatan negara di udara, selama ini, Indonesia hanya mampu berperan sebagai konsumen.

Tidak jauh berbeda dengan konsumen produk-produk lain, Indonesia hanya bisa membeli pesawat-pesawat tempur yang ditawarkan oleh negara-negara produsen. Sehingga jika harga naik, mau tidak mau sebagai konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membeli.

Begitu juga untuk perawatan (maintenance). Negara yang menjadi konsumen pesawat tempur seperti Indonesia juga sangat tergantung kepada negara-negara produsen.

Artinya, jika membeli pesawat tempur Rafale, maka selanjutnya Indonesia akan memiliki ketergantungan terhadap Prancis sebagai negara produsen. Begitu juga dengan F-15 yang merupakan pesawat tempur produk AS.

Namun ketergantungan semacam itu secara serta merta akan berubah menjadi kolaborasi terkait dengan kerja sama dengan Korsel dalam produksi KF-21 yang dalam Bahasa Korea dijuluki “Boramae” atau “Elang” dalam Bahasa Indonesia.

Jika kerja sama berjalan dengan baik sesuai dengan skema yang telah disepakati oleh kedua negara, maka dipastikan Indonesia dapat menghemat anggaran untuk pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista). Baik dari sisi perawatan (maintenance) maupun pemutakhiran (upgrading) pesawat tempur.

Selain itu kerja sama dalam ranah pengembangan teknologi tinggi juga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional karena dapat membuka lapangan pekerjaan di Indonesia.

Pesawat tempur yang merupakan produk teknologi tinggi juga memiliki potensi pendapatan (revenue) yang sangat besar bagi Indonesia.

Mengapa demikian? Karena Indonesia akan menjadi bagian penting dari rantai suplai dunia (global supply chain) bagi pesawat tempur generasi mendatang.

Terakhir, sekaligus yang terpenting, jika menguasai teknologi untuk memproduksi pesawat tempur secara mandiri, maka Indonesia sebagai sebuah negara besar di kawasan Asia Tenggara maupun Asia akan memiliki efek daya gentar yang cukup tinggi.

Daya gentar itulah yang akan menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih atau bahkan semakin diperhitungkan di kawasan.{}

Foto: Korea Aerospace Industries 

Share this

Baca
Artikel Lainnya