Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto telah melantik Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Purnawirawan (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) RI. Dalam menjalankan tugasnya, Menhan akan dibantu oleh Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) yaitu Marsekal Madya (Marsdya) TNI Purn. Donny Ermawan Taufanto.
Pengangkatan Letjen TNI (Purn.) Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menhan dan Marsdya TNI (Purn.) Donny Ermawan Taufanto sebagai Wamenhan adalah sebuah langkah strategis dalam mengakselerasi modernisasi Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI. Menhan memiliki pengalaman yang amat sangat panjang di bidang militer, khususnya terkait operasi strategis dan kebijakan pertahanan.
Hal itu menjadi modal penting dalam mendorong reformasi struktural dan kebijakan alutsista. Kemudian Wamenhan yang pernah bertugas sebagai seorang penerbang tempur/fighter pilot diharapkan dapat menghadirkan keseimbangan yang antar angkatan di TNI terkait dengan aspek teknis dan operasional dalam modernisasi di tiga matra baik darat, laut maupun udara.
Kementerian Pertahanan (Kemhan) di bawah duet kepemimpinan Menhan dan Wamenhan memang akan dihadapkan pada berbagai tantangan yang cukup berat. Salah satunya adalah memastikan jika pengadaan alutsista tidak hanya sekedar memperbarui inventaris, namun juga untuk membangun postur pertahanan yang lebih tangguh dan mandiri. Tentu saja itu semua sangat berkaitan erat dengan transfer teknologi dan pembangunan industri pertahanan di dalam negeri, yang sangat krusial bahkan menentukan bagi kemandirian nasional.
Proses modernisasi Alutsista TNI tidak hanya fokus pada pembelian persenjataan dari luar negeri. Indonesia juga harus memperhatikan kerja sama strategis yang memungkinkan industri pertahanan/Inhan dalam negeri berperan lebih besar dalam rantai pasok global.
Jadi Kemhan sangat diharapkan pada masa depan mampu mewujudkan kemampuan pertahanan yang mandiri agar TNI tidak hanya menjadi pengguna tetapi Industri Pertahanan Indonesia, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta juga mampu menjadi produsen Alutsista yang berbasis teknologi mutakhir. Peran Kemhan dalam mendorong kebijakan yang proaktif di sektor Inhan akan menjadi penentu apakah Indonesia bisa mencapai kemandirian Alutsista atau hanya kembali menjadi negara pengguna.
Tantangan Modernisasi
Dari berbagai aspek mulai dari strategi, taktik hingga teknis dalam kaitannya dengan perkembangan Inhan untuk modernisasi Alutsista TNI, berikut berbagai tantangan yang akan dihadapi oleh Kemhan:
- Keterbatasan dan efisiensi anggaran
Meskipun pemerintah telah berkomitmen meningkatkan anggaran pertahanan, keterbatasan sumber daya keuangan tetap menjadi tantangan utama. Anggaran harus dikelola dengan cermat untuk memastikan bahwa setiap pembelian alutsista memberikan nilai maksimal bagi kekuatan TNI. Proses negosiasi harga, biaya perawatan, dan upgrade sistem alutsista menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan, agar tidak terjadi pemborosan anggaran atau pengadaan yang tidak tepat sasaran.
- Transfer teknologi
Salah satu tujuan modernisasi alutsista adalah meningkatkan kemampuan Inhan dalam negeri melalui transfer teknologi. Namun, hal ini sering menjadi tantangan, karena banyak negara produsen tidak bersedia memberikan akses penuh terhadap teknologi canggih yang mereka miliki. Mengamankan perjanjian transfer teknologi yang efektif dan memastikan bahwa Inhan domestik mampu menyerap dan mengembangkan teknologi tersebut adalah tugas besar yang perlu didorong melalui kebijakan yang tegas dan diplomasi yang cerdas.
- Adaptasi Sistem Senjata
Modernisasi alutsista berarti memperkenalkan teknologi baru yang memerlukan pelatihan, pemeliharaan, dan integrasi ke dalam sistem yang ada. Tantangannya adalah memastikan bahwa personel TNI dapat segera beradaptasi dengan sistem baru. Tentu saja itu semua membutuhkan investasi besar dalam pelatihan teknis dan peningkatan infrastruktur pendukung, seperti sistem logistik dan pemeliharaan.
- Ketergantungan pada luar negeri
Pada saat ini, sebagian besar komponen alutsista TNI masih diimpor. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap perubahan kebijakan politik dan ekonomi di negara produsen. Misalnya, embargo senjata atau keterlambatan dalam pengiriman suku cadang bisa berdampak signifikan pada kesiapan tempur. Upaya untuk mengurangi ketergantungan ini memerlukan perencanaan strategis jangka panjang yang melibatkan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri.
- Koordinasi dan Kebijakan
Proses modernisasi Alutsista melibatkan berbagai lembaga, baik dari sektor militer, sipil, maupun industri. Kurangnya koordinasi antara Kementerian Pertahanan, TNI, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis dapat menghambat progres modernisasi. Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten antara satu periode pemerintahan dengan yang lain dapat menjadikan rencana modernisasi tidak berjalan optimal. Dibutuhkan koordinasi yang lebih terstruktur dan berkesinambungan untuk menjaga kontinuitas program modernisasi.
- Pengelolaan Teknologi
Banyak teknologi militer yang juga memiliki aplikasi di sektor sipil, dikenal sebagai teknologi “dual-use”. Tantangannya adalah bagaimana mengoptimalkan teknologi agar dapat meningkatkan ketahanan ekonomi sekaligus memperkuat pertahanan. Kemhan perlu bekerja sama erat dengan industri untuk memastikan bahwa teknologi dual-use ini dikelola secara tepat, sehingga menghasilkan nilai tambah baik untuk sektor pertahanan maupun sipil.
- Dinamika Regional
Kawasan Asia Tenggara, termasuk pengaruh kekuatan besar seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat, terus berubah. Kemhan harus bisa menyesuaikan kebijakan modernisasi alutsista dengan perubahan dinamika regional. TNI perlu memiliki kemampuan alutsista yang mampu menyeimbangkan potensi ancaman dan menjaga kepentingan nasional di perairan dan udara Indonesia, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Laut Natuna Utara.
- Kebutuhan Alutsista yang komprehensif
Modernisasi tidak hanya berarti pembaruan alat utama seperti pesawat tempur, kapal selam, dan tank, tetapi juga meliputi pengembangan sistem pendukung seperti komunikasi, radar, pesawat tanpa awak/drone, hingga kemampuan siber. Tantangannya adalah memastikan bahwa modernisasi ini dilakukan secara komprehensif, di mana semua aspek operasional TNI saling terintegrasi untuk meningkatkan efektivitas tempur secara keseluruhan.
- Pemeliharaan dan siklus
Modernisasi bukan hanya tentang pengadaan alutsista baru, tetapi juga mempertimbangkan biaya pemeliharaan jangka panjang. Seringkali, biaya pemeliharaan bisa lebih besar daripada biaya pengadaan awal. Oleh karena itu, kemampuan untuk merawat dan memperpanjang masa hidup alutsista yang ada, serta mengurangi downtime karena kerusakan, menjadi tantangan signifikan yang harus dihadapi.
Modernisasi Alutsista TNI di bawah kepemimpinan Presiden RI yang akan dibantu oleh Menhan dan Wamenhan akan menghadapi berbagai tantangan. Namun, dengan manajemen strategis yang baik, fokus pada peningkatan kemampuan Inhan di dalam negeri, serta diplomasi pertahanan yang elegan, Indonesia dapat mengatasi hambatan-hambatan ini dan mencapai kekuatan militer yang lebih tangguh dan mandiri.
Di masa depan, terlihat peluang besar untuk memperkuat sinergi antara pemerintah, TNI, dan Inhan di dalam negeri untuk memastikan keberhasilan program modernisasi Alutsista yang menjadi cita-cita bersama seluruh anak bangsa Indonesia. Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, perlu ditekankan jika pengadaan Alutsista harus terintegrasi operasionalnya antara matra darat, laut hingga udara.{}