Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, mengemukakan pengembangan ekosistem kedirgantaraan di Bali utara menjadi salah satu cara untuk menjadikan Bali sebagai titik/hub di Indonesia timur. Menurutnya ada sejumlah upaya yang dilakukan dalam rancangan peta jalan itu. Upaya tersebut diutarakannya di hanggar Bandara I Gusti Ngurah Rai, Sabtu, 21 September 2024.
Dikutip dari pemberitaan di berbagai media, Amalia mengungkapkan sejumlah upaya untuk merealisasikan peta jalan yaitu pengadaan armada, perawatan pesawat/maintenance repair and overhaul (MRO), pusat pelatihan dan pendidikan hingga pengembangan kawasan.
Mengenai pembiayaan, dia mengatakan pengembangan kawasan penerbangan di Bali utara tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurutnya, akan dibentuk wadah khusus yang akan menampung semua dana untuk pengembangan ekosistem penerbangan di Bali utara. Sementara terkait dengan pengelolaan akan dibentuk Bali Development Fund untuk mengelola industri kedirgantaraan di Bali.
Selain itu, peta jalan juga diharapkan akan membuka konektivitas Bali utara dengan pulau-pulau kecil di Indonesia timur yang tidak terjangkau oleh pesawat komersial berukuran besar. Menurutnya hal itu juga akan membuka lapangan kerja baru di Bali utara.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PTDI, Gita Amperiawan, menjelaskan jika pesawat N219 buatan PT DI masih menjadi andalan. Menurutnya, ada sebuah perusahaan yang telah memesan dua unit N219 untuk mengembangkan industri penerbangan di Kepulauan Riau dan diharapkan terhubung ke Bali utara. Itu semua akan mendukung program pengembangan Ekonomi Bappenas. Sebagai informasi, N219 adalah pesawat berkapasitas 19 penumpang. Pesawat dilengkapi dua mesin turbo propeller atau baling-baling di kedua sayapnya. Daya jelajahnya sejauh 389 kilometer/jam.
Cita-cita Pemerintah
Pengembangan ekosistem dirgantara di Bali Utara, khususnya di sekitar Bandara Letkol Wisnu, mencerminkan ambisi pemerintah untuk memperluas konektivitas dan meningkatkan kapabilitas penerbangan di kawasan Indonesia bagian timur. Proyek yang melibatkan berbagai aktor penting mulai dari Pemerintah Provinsi/Pemprov Bali, Bappenas, hingga PTDI, merupakan langkah strategis dalam memperkuat infrastruktur dirgantara nasional.
Pesawat N219 yang menjadi andalan PT DI memiliki karakteristik yang sangat tepat untuk beroperasi di wilayah terpencil. Kapasitas sebanyak 19 penumpang dan desain yang dirancang untuk dapat mendarat di landasan pendek dan tidak beraspal, menjadikan pesawat memiliki kemampuan untuk membuka akses ke berbagai wilayah yang masih sulit dijangkau/terisolir. Kemampuan pesawat sejalan dengan tujuan utama Bappenas untuk meningkatkan konektivitas antara Bali utara dan pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur yang belum dapat dijangkau oleh pesawat komersial besar.
Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana N219 dapat memenuhi tuntutan pasar di berbagai wilayah terpencil itu. Meskipun N219 memiliki kemampuan teknis yang memadai, daya jelajah yang terbatas yaitu 389 km/jam menimbulkan pertanyaan terkait efisiensi operasional dalam jangka panjang. Jadi pertanyaan yang harus dijawab; apakah N219 mampu bersaing dengan mempertimbangkan biaya operasional, pemeliharaan, dan ketahanan terhadap kondisi geografis dan cuaca ekstrem?
Infrastruktur dan Pemeliharaan
Pembangunan dan pengembangan ekosistem kedirgantaraan tidak hanya sekadar menyediakan pesawat, namun juga meliputi pengelolaan infrastruktur seperti Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO). MRO adalah aspek yang sangat vital untuk menjaga armada tetap berfungsi secara optimal.
Pengembangan yang tidak menggunakan dana dari APBN maupun APBD dalam proyek ini, namun menggunakan anggaran dari Bali Development Fund adalah inovasi finansial yang sangat berpotensi untuk menarik investasi swasta. Tetapi perlu dicermati dengan penuh kehati-hatian jika tanpa dukungan anggaran publik yang signifikan, ada risiko bahwa pembangunan infrastruktur penunjang, seperti fasilitas MRO yang memadai di Bali utara, dapat tertunda atau tidak dapat direalisasikan dengan optimal.
Fasilitas MRO membutuhkan investasi besar terkait teknologi, pelatihan tenaga ahli hingga regulasi. Jika Bali Utara ingin menjadi pusat MRO yang kompetitif di Indonesia Timur, maka harus dipastikan standar perawatan yang diterapkan harus setara dengan pusat-pusat MRO di berbagai belahan dunia. Jadi sangat penting untuk memperhatikan kesiapan sumber daya manusia (SDM) baik di tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, pelatihan dan sertifikasi juga sangat dibutuhkan meningkatkan kualitas SDM.
Dari uraian yang telah diutarakan, untuk sementara dapat disimpulkan jika pengembangan ekosistem dirgantara di Bali bagian utara melalui penggunaan pesawat N219 merupakan langkah strategis. Upaya tersebut sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan konektivitas di Indonesia bagian timur sekaligus memperkuat kapabilitas nasional di sektor penerbangan.
Namun, untuk menjamin kesuksesan jangka panjang, perlu ada keseimbangan antara visi pembangunan ekonomi hingga berbagai pertimbangan teknis. Keberhasilan proyek dalam jangka panjang sangat tergantung pada bagaimana koordinasi antar sektor berlangsung, serta dukungan investasi dan pengembangan infrastruktur yang memadai. Oh ya, tidak kalah penting, masih ada aspek geopolitik dan pertahanan udara yang perlu dipertimbangkan. Pada intinya penerbangan perintis yang sangat dibutuhkan untuk membuka isolasi di wilayah-wilayah terpencil memang harus segera dibuatkan titik/hub yang berfungsi sebagai penghubung. Selain itu tentu saja juga perlu dibangun infrastruktur termasuk MRO untuk pesawat-pesawat perintisnya. Pada saat ini, produksi N219 sangat cocok sebagai langkah awal untuk merealisasikan itu semua.{}